Showing posts with label Pernik. Show all posts
Showing posts with label Pernik. Show all posts

Saturday, March 7, 2009

DapatkanThe Tales of Beedle The Bard Gratis!

Kepingin mendapatkan The Tales of Beedle the Bard - JK. Rowling GRATIS?

Caranya gampang banget!
Gramedia Pustaka Utama menyediakan 30 buku The Tales of Beedle the Bard buat kamu.

Buat kamu yang punya blog atau website, pasang banner The Tales of Beedle the Bard di blog kamu. Copy lalu pasang banner yang bisa kamu pilih di header atau bagian kanan blog ini. Ada tiga pilihan banner yang bisa kamu sesuaikan dengan blog/situs web kamu.

Syaratnya:
1. Blog bukanlah blog spam atau blog yang mengandung unsur pornografi atau SARA.
2. Blogger harus tinggal di Indonesia.
3. Banner minimal harus dipasang sampai tanggal 10 April 2009.
4. Setelah banner dipasang, kirim link situs atau blog kamu ke hetih@gramedia.com dan yola@gramedia.com
5. GPU akan memilih 30 blog/situs web pertama yang masuk. Keputusan juri dalam penentuan pemenang adalah mutlak.

Jadi tunggu apa lagi? Siapa cepat dia dapat!

(Disebarkan oleh Hetih. Maret 2009)

Tuesday, February 24, 2009

Memorable Opening Sentences from Novels

Namaku Salmon, seperti nama ikan, dan nama depanku Susie. Umurku empat belas saat dibunuh pada tanggal 6 Desember 1973. Alice Sebold, The Lovely Bones

Where's Papa going with that ax? E.B. White. Charlotte's Web

Every summer Lin Kong returned to Goose Village to divorce his wife, Shuyu. Ha Jin, Waiting

Aku tak pernah terlalu memikirkan bagaimana aku akan mati---meskipun aku punya cukup alasan beberapa bulan terakhir ini---tapi kalaupun memiliki alasan, aku tak pernah membayangkan akan seperti ini. Stephenie Meyer, Twilight

I was born twice: first, as a baby girl, on a remarkably smogless Detroit day in January of 1960; and then again, as a teenage boy, in an emergency room near Petoskey, Michigan, in August of 1974. Jeffrey Eugenides, Middlesex

What can you say about a twenty-year old girl who died? Erich Segal, Love Story

If you really want to hear about it, the first thing you'll probably want to know is where I was born, and what my lousy childhood was like, and how my parents were occupied and all before they had me, and all that David Copperfield kind of crap, but I don't feel like going into it, if you want to know the truth. J. D. Salinger, The Catcher in the Rye

It was a nice day. Terry Pratchett and Neil Gaiman, Good Omens

He was an old man who fished alone in a skiff in the Gulf Stream and he had gone eighty-four days now without taking a fish. Ernest Hemingway, The Old Man and the Sea

Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon yang tak pernah kita tahu namanya atau umurnya. Ayu Utami, Saman

(Disebarkan oleh Hetih. Februari 2009)

Wednesday, February 11, 2009

Foto-Foto Pindahan

Di Gedung Lama Sebelum Pindahan



Tumpengan di Gedung Baru

Ceritanya ini Resepsionis
Ruang Rapat
Ruang Kerja


Ruang Kerja (Ada Orangnya)
Foto Dulu di Gedung Baru

Monday, January 26, 2009

Resmi Pindah Ke Kantor Baru. Yay!

Hari ini kami resmi berkantor di tempat baru. Kalau dilihat dari luar, kantor yang masih berwilayah di Palmerah ini tampak mentereng dan mewah dibanding gedung kami sebelumnya. Kalau dulu partisi kantor berwarna biru-abu-abu, di gedung ini partisinya berwarna hijau-putih. Eniwei, nggak penting deh menceritakan deskripsi kantor baru ini.

Mari kita bicara soal perasaan, cieee...

Hari pertama masuk di kantor baru sudah diwarnai dengan hujan. Basah kuyup sampai kantor. Salah masuk pintu. Tapi nggak sempat bete karena girang mau lihat kantor baru, hihihi. Telat 12 menit, hiks gara-gara muter-muter kampungan cari mesin absen. Kalau nggak muter telatnya paling 10 menit, hahaha.

Sejujurnya saya merindukan kantor lama, yang lebih memberi privasi dibanding kantor sekarang yang bersistem “terbuka”. Untung kantor ini menganut prinsip, blogging is a must. Jadi ya enak-enak aja blogging pas jam kerja. Meja kerjanya juga lebih sempit, tapi yang menyenangkan adalah jendela-jendela besar di dekat kami. Kalau lagi bete atau suntuk bisa jadi tempat mencari ilham atau kenalan sama penghuni gedung seberang. :p
Yang fun lagi, ada sofa di dekat tembok bagian pracetak, entah apa maksudnya, mungkin bisa buat buka pijat refleksi atau ngopi sore-sore.

Tidak enaknya dari ruangan bersistem terbuka adalah kita nggak bisa terlalu berisik dengan menggumamkan lagu Nidji atau Letto keras-keras, tanpa didengar teman lain atau nanti dikomplain disuruh ikut audisi Indonesian Idol. Terus susah kalau telat atau makan siang kelamaan, huhuhu, pasti setengah mata akan melirik kedatangan kita di luar jam lazim. Gawat deh... masa kalau mau makan siang ke PS mesti berombongan seperti akhir tahun kemarin? Huahaha... gimana kalau ada Metro Big Sale?

Jangan komplain melulu ah, hayo bersyukur. Hm, apa ya? Oh, saya suka dengan terangnya ruangan ini, bersihnya, jendelanya (oh, udah nyebut jendela ya?). Oh, karena saya duduk di dekat editor senior senangnya mereka suka membagikan makanan. Tadi pagi aja udah sarapan lasagna dan kue imlekan, hihihi. Bakal sehat dan gemuk nih. Dan yang jelas saya (mungkin) akan (tampak) lebih rajin karena saya duduk di antara bos dan bos. =))

(Disebarkan oleh Hetih)

Tuesday, December 30, 2008

I Love You, Edward

oleh: Ucu Agustin
*Kisah jatuh cinta massal saya yang kesekian,
kali ini: terhadap Edward Cullen si vampire keren nan kelam*


Wajahnya pucat, kulitnya dingin, giginya putih sempurna menyembunyikan taring beracun yang setajam silet, senyum separo-nya membuat dada berdebar, matanya berwarna topaz dan gaya serta tingkahnya yang campuran antara lelaki pemikir abad klasik dan cowok remaja introvert resah cemas yang misterius serta galau melulu, bikin hati saya deg-degan dan malam-malam, si dia jadi kepikiran. Masuk ke dalam mimpi, dan kalau keinget jadi rindu trus geli sendiri.

Ahahaha. Dari tanda-tanda tersebut di atas, tahulah saya kalau kini saya lagi jatuh cinta temporer sama si dia: Edward. EDWARD CULLEN. Vampir ganteng berusia 190 tahun tapi abadi berusia 17. Vampir yang rambutnya hitam ikal, yang warna matanya bisa berubah-ubah: dari hijau menjadi keemasan, pria pemurung yang jarang senyum dan amat frustrasi dengan kenyataan bahwa dirinya adalah si penghisap haus darah dan perempuan yang dicintainya adalah si penyebar feromon yang beraroma amat ‘menggoda’, dan selalu menerbitkan liur vampirnya yang memang udah dari ‘sono’nya selalu dan senantiasa haus akan cairan merah yang mengalir di pembuluh: darah.

Lelaki misterius memang lebih menarik dari lelaki peramah. Lelaki misterius kayak kado yang belum kebuka isinya, kayak rumah berornamen gothic nan unik namun si pemilik jarang memasukkan tamu ke dalamnya. Kayak sesuatu berusia lama yang kita nggak tahu apa-apa tentangnya. Kayak sejarah yang kita pengen ketahui betul bagaimana asal mula dan perkembangannya, lantas bagaimana ia kini dan nanti ke depannya. Sesuatu yang sedikit diketahui, memang kerap mengundang kepenasaran besar yang memperlebar kolam rasa keingintahuan. Sebuah prosedur hukum alam yang sudah galib.

Ah Edward, Edward…

Sudah jelas, kini saya lagi kesengsem berat sama dia. Dan pastinya, sebagaimana cewek-cewek lain di dunia (tanpa memandang usia) saya yakin saya sudah tergelincir di pinggir kolam cinta maya dan telah jatuh berkubang cinta di dalamnya bersama ribuan bahkan jutaan cewek penggemar lainnya di dunia yang juga merasakan hal yang sama saat melihat Edward Cullen bangkit dari lembar-lembar teks novel Stephenie Meyer dan mewujud dalam gambaran visual yang bergerak dengan amat memesona di layar lebar

Edward bisa membaca pikiran orang dan mendengar bisikan dari pikiran tersebut. Ia yang tercepat di antara keluarga Cullen—meski bukan yang terkuat. Kulitnya menyerupai pualam, pucat sedingin es, dan berkilauan bagai berlian saat diterpa sinar matahari. Saat musim-musim dingin dan berhujan bersijingkat pergi dari Forks—kota dengan skala hujan tertinggi di dunia—Edward dan keluarga Cullen hengkang dari pergaulan. Bilangnya lagi summer vacation, padahal namanya juga vampir ya bo…. Tentu saja ia nggak mau identitasnya diketahui orang. (that’s why he’s so mysterious…)

Keluarga Cullen memang jenis vampir yang berbeda. Mereka vampir vegetarian dan sudah lama melakukan ‘diet ketat’ alias nggak lagi menghisap darah manusia. Carlisle sang kepala keluarga Cullen bahkan berprofesi sebagai dokter di unit gawat darurat sebuah Rumah Sakit di Forks. Di mana setiap hari ia berurusan dan menangani darah, tapi ‘pengalaman’ mengajarkannya untuk tidak mengulang sejarah kelam per-vampir-an yang seolah telah digariskan untuk selalu ‘kalap dan bernafsu’ bila melihat cairan darah segar yang tidak mereka punyai di tubuhnya. Meski tiap hari menghirup ‘aroma makanan’, tapi Carlisle sudah kayak para orang suci yang berpuasa dan senantiasa mampu menahan nafsunya. Hanya saja, itu cuma Carlisle—si kepala keluarga Cullen. Sedang para anggota keluarga? Anak-anak yang diadopsinya?

Apakah pula yang terjadi ketika Bella Swan—gadis dari kota terik Phoenix-Arizona datang ke Forks untuk tinggal dengan Charlie (papanya) dan bersekolah di sekolah yang sama dengan Edward? Salah satu anak adopsi Carlisle Cullen?

Rahasia keluarga Cullen terancam, karena cinta Edward membukakan kejujuran. Pada Bella—gadis manusia biasa yang penasaran karena Edward seolah menyesal telah menyelamatkannya (Bella hampir mati tertabrak mobil di halaman sekolah, andai Edward tidak datang menyelamatkannya dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa), Edward bilang, “Bagaimana kalau aku bukan superhero? Bagaimana kalau aku adalah makhluk yang jahat?”.

Sejak kedatangan Bella, hidup Edward memang jadi sesak. Edward berduka karena menahan cinta. Akan apa jadinya bila vampir bercinta dengan manusia? Bagaimana bila si gadis terluka dan darah keluar dari ujung permukaan kulitnya? Akankah Edward menghisapnya? Atau mungkinkah ia akan membiarkan si terkasih tanpa memberikan pertolongan sedikitpun? Dengan cara apa ia akan terus bisa menahan ‘godaan’ untuk tidak mencicip rasa darah Bella yang amat ia inginkan? Takutkah Bella akan Edward?

DILEMA. Sungguh cinta yang terlarang untuk dijalani bukan? Dan di pantai, saat cinta telah menjerat mahluk berbeda klan yang bisa diibaratkan seperti serigala yang jatuh cinta pada domba, Edward pun membuka rahasia keberadaan kaum vampire yang untuk tetap bisa survive dan terus bisa hidup di antara manusia, sebagian dari mereka ternyata telah lama mengakomodir perkembangan jaman: menjalani hidup dengan cara vegetarian, tapi “Ibarat manusia yang selalu makan tofu, ada sesuatu yang tidak terpuaskan,” tandasnya ke Bella dengan wajah murung kelam yang selalu saya sukai itu.

Ya tuhan, gimana saya nggak bisa suka sama dia? Di abad yang begini gemerlap, ada makhluk demikian gelap dengan suasana hati yang selalu murung dan waspada serta was-was tapi juga penuh cinta dan merana. Makhluk ganteng tapi bahaya. Makhluk yang membangkitkan imajinasi dan juga memperdaya pesona. Edward Cullen tuh bagi saya seperti anugerah di masa krisis global, pengalih perhatian yang sangat fantastis di tengah permasalahan peradaban milenium yang demikian sesak dari soal-soal semacam climate change, mencairnya es di kutub utara, korupsi yang membengkak di pemerintahan dunia ketiga, perkara global warming yang terus mengancam lingkungan kita, sampai bangkrutnya bank dunia dan melemahnya bursa saham Wall Street serta gosip kedatangan makhluk asing dari planet luar bumi yang akan datang pada tahun 2012.

EDWARD!
EDWAR CULLEN!!!

For me, you are lover, saviour.
Semua yang didambakan imajinasi
Memenuhi segala fantasi. Ahahahaha.

Edward gelap tapi ‘benderang’. Keren dan compatible dengan zaman tapi terlarang. Berbahaya tapi mengundang. Vampir tapi puasa ngisap darah. Ganas tapi lembut hatinya. Berusia ratusan tahun tapi muda abadi, selamanya bertubuh 17.

Apanya coba yang harus ditakutin kalau ada vampir sekeren Edward muncul begitu saja di hadapan saya? Seperti yang diucapkan Madonna dalam lagunya BEAUTIFUL STRANGER, saya dengan pasti akan mengambil langkah si aku dalam nyanyian tersebut: “kalau aku pintar harusnya aku menghindar, tapi aku tidak, makanya ku terus maju ke depan. Memandang dan menemuimu… wahai kau sang orang asing yang amat memukau…”

Yup. Edward berusaha menghindari Bella saat pertama bertemu. ‘Bau’ Bella benar-benar menggodanya, tubuh Bella benar-benar diinginkannya, namun pikiran Bella… sama sekali tak bisa Edward baca. Seterang siang, ia bisa membaca pikiran orang dan mendengar bisikan yang berbunyi dalam benak, tapi Bella seperti lubang gelap. Sedikitpun, Edward tak bisa tahu apa yang dipikirkan Bella dalam benak. Dan bagi Bella sendiri, penghindaran Edward tak bisa diterimanya. Ia tahu, sebagian hatinya telah amat tertarik pada salah satu anggota keluarga Cullen tersebut. Cullen’s family yang dikenal ‘aneh’ dan eksentrik di sekolahnya, yang tak berteman kecuali dengan anggota keluarga mereka sendiri, tidak makan saat istirahat siang, dan meski baik—bagi sebagian besar anak sekolah di SMA tersebut, anggota keluarga Cullen terasa menguarkan aura yang kerap mengancam dan membuat mereka ketakutan.

Tapi kalau kata saya sih, cuma cewek bodoh yang pergi menjauhi Edward. Keren parah gitu, gila! Alih-alih pergi, saya mah malah akan bertindak seperti Bella: langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ahahaha. Ya iya lah! Pasti cuma cewek bodoh yang lari terbirit begitu tahu siapa sebenarnya cowok keren yang ada di hadapannya: Vampire. Alih-alih ngibrit kabur, Saya kayaknya justru akan langsung menurunkan kerah baju saya dan minta Edward buat menggigitnya. Ketemu vampire di abad milenium kayak geneeeeeeeee?! Pasti cuma manusia yang punya karma masa lalu yang bagus yang bisa mendapatkan anugerah serta kesempatan tersebut. KETEMU SAMA MAKHLUK PRASEJARAH, man! Huhuhuhuhu. Mau, mau, mauuuuuuuuuuu!!!! Saya mau ketemu Edward!!!!

Tulisan ini dikutip dari Akun Facebook Ucu Agustin.
Ucu Agustin adalah cerpenis yang karya-karyanya tersebar di media massa, novelis pemenang penghargaan, sutradara yang memperoleh sejumlah pujian untuk sejumlah karya dokumenternya. Karya-karya yang pernah diterbitkannya antara lain novel Metropop: Being Ing (GPU, 2005) dan kumpulan cerpen Dunia di Kepala Alice (GPU, 2006). Film dokumenter terbaru Ucu Agustin bisa disaksikan dalam film Pertaruhan (2008), yang diputar di Jiffest 2008 dan diputar terbatas di sejumlah layar bioskop di Indonesia.


Saturday, December 20, 2008

Pindahan

Saya paling tidak menyukai kegiatan beres-beres. Meja kerja saya berantakan seperti kena hantaman badai. Tapi beberapa minggu ke depan saya harus membereskan meja kerja saya karena GPU akan pindahan gedung ke gedung cantik nan megah tanggal 15 Januari 2009. Sebenarnya pindahnya cuma ke gedung sebelah, tapi tetap saja kan kita tidak bisa melakukan beam ala Star Trek.


Di antara kesibukan berberes, tentu saja kami menemukan harta karun. Ketika menemukan buku-buku yang nyaris terlupakan kami berteriak kegirangan. “Waks, ada Midnight in Garden of Good and Evil nih...” Belum lagi ditambah dengan teman-teman yang membagikan buku-buku lama yang tersimpan di kolong meja atau terlupakan di sudut mana. Ada buku seperti Jonathan Livingston Seagull yang pernah saya baca di perpustakaan SMP dulu. Atau buku-buku besar seperti Gone with the Wind yang mengingatkan saya pada masa SMA ketika pertama kali membaca buku itu dan tak pernah menyangka suatu hari kemudian saya bisa berkenalan dengan penerjemahnya. Atau cetakan lama tahun 1980-an novel-novel Mira W. Yang ketika saya baca waktu SMP-SMA dulu selalu membuat saya bermimpi bisa menjadi bagian dari penerbitan buku semacam ini. Obsesi aneh yang tak pernah bisa dipahami oleh orangtua saya sampai sekarang adalah keinginan saya untuk menjadi bagian dari penerbitan buku.

Kenangan membanjir seiring kesibukan yang kadang bikin rese dan membuat sebagian dari kami memilih jadi pemulung daripada bekerja. Lucunya, kadang buku-buku yang disimpan bertahun-tahun lalu dan dianggap memiliki arti penting tak terkira lama-lama hanya jadi koleksi. Selama bertahun-tahun buku itu dibiarkan tak tersentuh, dan baru pada saat seperti ini kami sadar bahwa “hei, aku baru ingat ada buku itu di sana.” Dan ketika melihat buku tertentu, saya baru ingat, Ah, ini dia buku yang pernah membuatku menangis dan tertawa bersamaan. Tapi setelah tahun berlalu, buku itu hanya jadi koleksi semata, koleksi yang makin lama makin bertambah dan membuat tidak ada cukup ruang lagi untuk menampungnya. Kini sudah tiba saatnya menyerahkan kepemilikan buku tersebut kepada orang lain. Jika tidak, tidak ada ruang yang cukup untuk menampung buku-buku lain yang sudah menunggu kesempatan menyentuh hati kita.

Saya selalu percaya setiap buku pada waktu tertentu memiliki jalannya sendiri untuk masuk ke hati seseorang. Bagaimana sebuah buku yang sama bisa saja menyentuh hati seseorang sedemikian rupa, sementara buku yang sama tidak memiliki kekuatan magis itu terhadap orang lain. Waktu yang tepat juga menjadi unsur penting. Buku yang kita baca sepuluh tahun lalu dan mengguggah kita sedemikan rupa, misalnya, ternyata tidak memiliki efek magis yang sama jika kita baca sekarang.

Sambil mengorek-ngorek harta karun, saya tetap benci beres-beres pindahan ini. Tapi melihatnya melalui sudut lain, memandangi jejak waktu yang bergerak seiring dengan membongkar pernak-pernik buku atau benda-benda lain yang menjadi catatan perjalanan saya bekerja di kantor ini selama hampir sembilan tahun, saya jadi punya semangat baru lagi. Yah, walaupun dalam hati terus berharap bisa berkata, “Scotty, please beam all my things to my new office.”

(Disebarkan oleh Hetih. Desember 2008)
Gambar dari: www.fotosearch.com

Friday, December 12, 2008

Sedikit Fakta Tentang Bangsawan & Tips Menjadi Lady ala Historical Romance

Bulan Oktober 2008 GPU menerbitkan novel historical romance karangan Lisa Kleypas, Rahasia Malam Musim Panas. Nah, tanggal 23 Desember, buku lanjutannya akan muncul. Judulnya? Suatu Hari Di Musim Gugur (It Happened One Autumn).

Pemeran utamanya kali ini Lillian Bowman, putri OKB (Orang Kaya Baru) dari Amerika dan Marcus, Earl of Westcliff.

Berbeda dengan buku pertama, di sini kita diperkenalkan lebih jauh dengan tata cara dan adat kebangsawanan Inggris.

Sedikit fakta tentang tata cara kebangsawanan Inggris:

  • Tidaklah sopan untuk memanggil seseorang dengan nama kecilnya. Bahkan seorang istri pun kalau mau memanggil suaminya di depan umum harus memanggilnya dengan sebutan gelarnya. Misalnya, Annabelle memanggil suaminya dengan Mr. Hunt, bukan Simon. Ibu Marcus memanggil putranya dengan My Lord, bukan dengan nama kecilnya.
  • Tidaklah baik bagi seorang wanita lajang untuk menghabiskan waktu berduaan bersama pria tanpa kehadiran pendamping. Reputasi wanita itu bisa tercemar, dan pria bakal enggan menikahinya.
  • Secara status, Viscount (anak laki-laki Duke) berada di bawah Earl. Tapi ketika Duke mangkat, dan Viscount mendapat gelar Duke, maka statusnya berada di atas Earl. Makanya Lord St. Vincent sekarang masih berada di bawah Earl of Westcliff. Tapi kalau ayahnya mangkat, Lord St. Vincent akan menjadi Duke, dan Earl of Westcliff akan berada di bawah St. Vincent.
  • Hanya duke/duchess yang boleh dipanggil Your Grace. Bangsawan lain hanya boleh dipanggil dengan sebutan Lord/Lady.
  • Kalau pasangan Duke disebut Duchess, pasangan Earl disebut Countess. Nah, saat Earl senior mangkat, gelarnya diwariskan kepada anak laki-lakinya. Kalau saat itu si anak laki-laki belum menikah, maka yang menjadi Countess tetaplah ibunya. Tapi ketika sang earl menikah, maka ibunya akan menjadi Dowager Countess, dan istrinyalah yang menjadi Countess. Buat lebih gampangnya, dowager itu istilah keren bangsawan buat “janda”. Dan yang boleh disebut dowager adalah mereka yang almarhum suaminya bergelar, dan pewaris gelar saat ini adalah keturunan langsung almarhum suaminya. Jadi selain buat ibu, dowager bisa juga digunakan untuk ibu tiri, nenek, dan janda pemangku gelar sebelumnya.
Jadi nih, begitu Lillian menjadi istri Marcus, Lillian-lah yang menjadi Countess of Westcliff, sementara ibu Marcus menjadi Dowager Countess.


Nah, semoga sekarang nggak bingung lagi kalau baca novel Historical Romance ya.

Sebagai penutup, berikut ada tips menjadi lady dari Countess of Westcliff, ibu Marcus. Silakan disimak:

1. Seorang lady tidak pernah membiarkan tulang punggungnya menyentuh sandaran kursi. Dia harus duduk tegak.

2. Saat perkenalan:
- Jika perkenalan terjadi antara dua wanita muda, seorang lady boleh berjabatan tangan.
- Jika perkenalan terjadi antara pria dan wanita, sang lady harus menunggu sampai si pria menghampirinya, lalu membungkukkan badan sedikit, tapi tidak boleh berjabatan tangan.

3. Seorang lady tidak boleh membungkuk kepada pria yang tidak diperkenalkan padanya meskipun ia sudah sering melihat, bertemu, atau bercakap-cakap dengan pria itu. Kalau perkenalan resmi belum terjadi, seorang lady hanya perlu mengangguk singkat. Sekalipun pria itu sudah menolongnya, selama sang lady belum diperkenalkan secara resmi, dia hanya boleh mengangguk dan mengucapkan terima kasih, tanpa membungkukkan badan.

4. Seorang lady tidak boleh meminta menambah anggur saat makan malam. Hanya tamu pria yang boleh minta tambah minum anggur, tamu wanita tidak boleh.

5. Makanan penutup dan kudapan kecil hanya boleh dimakan menggunakan garpu, bukan sendok, dan tidak boleh dibantu pisau.

6. Seorang lady tidak boleh mengungkapkan isi pikirannya sendiri. Sekalipun ditanya, dia hanya boleh mengulang apa yang dikatakan pria.

7. Seorang lady tidak boleh mengumpat. Tidak boleh berbicara, apalagi tertawa dengan suara lantang. Dan jelas tidak boleh membersit hidung keras-keras seperti gajah bersin.

8. Seorang lady tidak boleh berterima kasih pada pelayan. Seperti kata Countess, “Kau tidak perlu berterima kasih kepada pelayan sama seperti kau tidak perlu berterima kasih kepada kuda karena membiarkanmu menungganginya, atau meja karena sudah menampung piring yang diletakkan di atasnya.”

9. Seorang lady tidak boleh menyebut anggota tubuhnya pada lawan jenis. Bilang “perut” pun tabu lho!

10. Seorang lady tidak boleh terlibat akitvitas fisik di luar ruangan seperti memainkan permainan rounders (semacam permainan kasti), apalagi berlari-lari dalam pakaian dalam dengan alasan susah berlari sambil memakai rok!

So, how lady are you? :)

(Disebarkan oleh Dharma. Desember 2008)

Tuesday, December 2, 2008

Kenapa GPU Menerbitkan Twilight?

Hm, itu pertanyaan yang punya jawaban menarik.

Saya mau buka cerita sedikit nih tentang proses pengambilan keputusan GPU menerbitkan Twilight-Stephenie Meyer. Selama hampir sembilan tahun saya bekerja di GPU, Twilight adalah buku yang setahu saya diambil rights-nya berdasarkan dorongan hati dan emosi. Kenapa? Novel ini diambil rights-nya semata-mata karena editor-editor yang membacanya “jatuh cinta” pada Edward.

Dua editor GPU membacanya pada saat yang nyaris bersamaan, dan belum selesai buku itu dibaca, keduanya langsung memutuskan untuk mengambil hak terjemahan buku ini dengan alasan, “Ya ampunnnn, buku ini keren banget. Nggak tahan gue sama Edward-nya. Aduhhhh.... Romantis bangeeeet.” (yeah, yeah, kami semua jadi lembek seperti tahu dan berubah jadi abege lagi bila membahas Twilight, dan yeah saya salah satu editor itu.)

Setelah buku ini diambil rights-nya, dari editor, buku ini berpindah ke tangan sekretaris dan marketing, dan semuanya kelepek-kelepek kelenger pada kisah cinta Edward dan Bella. Tidak kurang dari tiga bulan sejak buku ini “diributkan” di kantor, sebagian besar perempuan berusia 25-45 tahun di kantor telah membacanya, bahkan pernah menjadi bahan obrolan di rapat redaksi. (Cowok-cowok itu nggak ngerti kenapa cewek-cewek di kantor seperti kalap setiap kali bicara soal Twilight). Mata kami berbinar dan kata-kata seperti, “Uhhh”, “Ahhh” mengiringi penggambaran sosok Edward.

Sewaktu GPU mengambil hak terjemahan novel ini pada pertengahan tahun 2007, Twilight ini merupakan novel yang “tidak dilirik” oleh penerbit-penerbit lain di Indonesia, (untunglah :p). Padahal buku ini sebenarnya bukan buku baru. Twilight pertama kali terbit tahun 2005 dan menjadi fenomenal mulai akhir tahun 2007 ketika jutaan pembaca menanti-nantikan lanjutan buku ketiganya, Eclipse. Gejala ledakan Twilight ini sebenarnya sudah terasa pada Frankfurt Book Fair 2007, walaupun ketika itu tampilan buku fiksi yang meraksasa adalah Golden Compass-nya Philip Pullman. Baru pada awal tahun 2008, serbuan demam Twilight meledak dan menyebar ke seluruh dunia, terutama ketika berita tentang filmnya makin menghebohkan. Dan tidak ketinggalan pula di Indonesia yang terjangkit demam Edward ketika Twilight diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada Februari 2008.

Demam novel ini tidak cuma menjangkiti remaja dan dibahas dalam majalah-majalah ABG, berbagai majalah wanita dewasa tidak ketinggalan mengulas habis Twilight ini. Tidak hanya anak-anak ABG yang jadi penggila seri ini, tapi wanita dewasa, ibu-ibu, bahkan Barack Obama juga membacanya.

Kini selama tahun 2008, oplah cetak Twilight sudah hampir mencapai angka 50.000 eksemplar, dan hampir sebulan sekali cetak ulang. New Moon (Dua Cinta) sudah mencapai oplah 35.000 eksemplar. Bahkan cetakan pertama buku ketiganya, Eclipse (Gerhana) langsung dicetak sebanyak 12.000 eksemplar pada cetakan pertamanya untuk memenuhi permintaan toko buku, dan kini sudah memasuki cetakan keempat. Diprediksi pada tahun 2009, Twilight Saga ini masih akan menguasai toko buku Indonesia dengan terbitnya Breaking Dawn. Angka yang lumayan kan, berdasarkan keputusan impulsif yang cewek banget?

(Disebarkan oleh Hetih. Desember 2008)

Wednesday, November 26, 2008

Buku Unggulan Desember 2008



Hening (Silence) – Shusaku Endo
Novel ini mengambil setting di Jepang pada abad ke 17, pada periode Edo. Yesuit Portugis, Sebastian Rodrigues, dikirim ke Jepang untuk mencari tahu keadaan mantan gurunya, Ferreira, yang konon dikabarkan telah murtad karena tidak tahan menanggung siksaan. Pada masa itu di Jepang penganut dan penyebar agama Kristen diburu, dipaksa murtad, dan dibunuh oleh penguasa.

Sesampainya di Jepang, Rodrigues harus bertahan hidup dalam kondisi yang serba minim. Dia kekurangan makanan dan nyaris tak punya tempat tinggal, itu pun masih ditambah dengan orang-orang yang tidak segan mengkhianatinya demi memperoleh imbalan. Kemudian Rodrigues pun tertangkap dan harus menjalani siksaan. Hingga Rodrigues bertanya jikalau Tuhan yang selama ini dianggapnya sumber kasih kenapa Dia bungkam dan hening, tidak berbuat apa-apa.

Pada akhirnya, pertanyaan yang utama adalah: Sanggupkah manusia mempertahankan keyakinannya di tengah masa-masa penuh penganiayaan? Dan benarkah Tuhan hanya diam berpangku tangan melihat penderitaan?

Kutipan Favorit:
Dosa bukanlah apa yang biasanya dikira orang, pikirnya; dosa bukanlah karena mencuri dan berbohong. Dosa adalah kalau orang menginjak-injak kehidupan orang lain secara brutal dan sama sekali tidak peduli akan luka-luka yang ditimbulkannya. (hal. 145)

Kristus Tuhan: Jalan Menuju Kana - Anne Rice
O Tuhan, Allah yang Esa, Allah Tritunggal, apa pun yang telah kukatakan di dalam buku-buku ini berasal dari-Mu, kiranya orang-orang kepunyaan-Mu mengakuinya. Apa pun yang berasal dariku, biarlah Engkau dan orang-orang kepunyaan-Mu sudi mengampuninya.
St. Agustinus.

Anne Rice sudah menulis kisah tentang vampir bahkan ketika Stephenie Meyer masih duduk di TK. The Vampire Chronicles-nya yang legendaris telah membubungkan nama Anne Rice menjadi novelis dalam konsep vampir yang radikal. Hingga saat ini buku-bukunya terjual lebih dari 100 juta eksemplar di seluruh dunia.

Pada tahun 2004, Anne Rice kembali ke iman Katolik-nya yang sudah lama dia tinggalkan. Kini dalam usia 67 tahun, Anne Rice menerbitkan novel kedua Christ the Lord: Jalan Menuju Kana.

Dalam buku pertama: Christ the Lord: Out of Egypt (Kristus Tuhan: Meninggalkan Mesir), Anne Rice mengisahkan masa kanak-kanak Yesus serta perjalanan meninggalkan Mesir bersama kaum keluarganya.

Dalam buku kedua ini: Kristus Tuhan: Jalan Menuju Kana, dikisahkan tentang Yesus yang telah dewasa, pada suatu musim dingin tak berhujan, berdebu, dan banyak desas-desus tentang kegelisahan yang mulai menggeliat di Yudea. Legenda tentang kelahirannya yang ajaib telah banyak dibicarakan orang, tetapi selama ini dia hidup sebagai manusia biasa di antara manusia. Mereka yang mengenalnya dan menyayanginya menunggu-nunggu pertanda tentang takdir yang akan dijalaninya kelak.

Dikisahkan pula bagaimana dia mendapatkan pembaptisan dari Yohanes, konfrontasinya dengan Iblis, dan mukjizat mengubah air menjadi anggur dalam pesta perkawinan di Kana. Dan sebagaimana buku terdahulu, Jalan Menuju Kana juga didasarkan pada Injil serta Perjanjian Baru. Kekuatan buku ini bersumber dari semangat yang dibawa sang pengarang dalam penulisannya dan bagaimana ia memunculkan suara, keberadaan, dan kata-kata Yesus yang menceritakan kisahnya.

***

Dua penulis ini. Shusaku Endo dan Anne Rice, adalah penulis-penulis yang pulang ke iman awal mereka. Anne Rice dibaptis sejak lahir dalam keluarga Irlandia Katolik yang taat. Shusaku Endo dibaptis menjadi Katolik semasa kanak-kanak. Ibaratnya, mereka memiliki agama yang siap pakai. Namun seiring bertambahnya usia, mereka mulai mempertanyakan iman mereka

Pada masa kuliah Anne Rice meninggalkan agamanya, dan menjadi atheis. Baru pada tahun 2004, Anne Rice bertobat dan kembali memeluk agama Katolik. Berkali-kali Shusaku Endo merasa ingin menyingkirkan ke-Katolik-annya, tapi pada akhirnya dia tidak sanggup.

Melalui medium novel, Shusaku Endo dan Anne Rice menuliskan kisah spektakuler tentang cinta mereka pada Tuhan dan agama yang setelah melewati pencarian dan perjalanan panjang akhirnya membawa mereka sampai ke rumah. Perjalanan pulang yang mendamaikan diri serta kembali ke ke-Katolik-an mereka.

Twilight - Stephenie Meyer
Aduh, novel ini sih udah nggak usah diceritain lagi kali yaaa?
Tapi senang aja melihat edisi khusus novel yang dicetak terbatas ini, secara ada foto-fotonya yang diambil dari film. Edward oh Edward deh pokoknya... Dan aku suka banget cover filmnya... pas banget buat jadi sampul novel. When you can live forever, what do you live for?< (Disebarkan oleh Hetih. November 2008)

Monday, November 17, 2008

I Love to Quote

Gue punya kebiasaan mengumpulkan kutipan-kutipan dari berbagai buku. Udah lupa juga sih sejak kapan kebiasaan ini dimulai. Dan masih berlanjut sampai sekarang. Kadang ada kutipan yang sifatnya laten, sampai sekarang masih suka diselipkan di sela-sela diskusi. Ada juga yang berlalu begitu aja, yang ‘rasa’nya hanya kena sewaktu masih membaca buku bersangkutan, tapi tidak berapa lama setelah bukunya selesai, tamat juga riwayat si kutipan.

Ternyata emang agak tricky juga memilih kutipan itu, tapi lama-lama makin jagolah, memilih mana yang memang bisa memperkaya dan mana yang nggak. Sayangnya, gara-gara tidak terorganisir dan agak sembrono, banyak kutipan gue yang hilang. Karena gue menulis kutipan itu di mana aja, kertas bekas bon, diktat kuliahan, notes punya temen, notes punya sendiri, kadang-kadang di HP. Dan biasanya gue lupa menyalinnya di My Quotation Book (MQB), terus kertasnya terbuang entah ke mana.

Yeah, I know, payah memang. Habis mau gimana lagi, karena dulu itu gue selalu membawa buku ke mana-mana, di mana pun gue bisa baca. Lagi nunggu giliran di dokter gigi, nunggu bus, di warung, di waktu jeda antar kuliah, di rumah sambil tiduran, di mana aja dan dalam kondisi apa pun. Dan ketika menemukan kalimat menarik, pasti ada dorongan untuk menuliskannya, terutama karena zaman itu gue lebih sering meminjam buku daripada membelinya. Daripada kutipan canggih itu hilang begitu saja seiring dengan dikembalikannya si buku pada yang punya, mendingan gue catat dulu gimana pun caranya. Tapi yah, kadang kita hanya bisa berharap, kutipan yangg gue kumpulin teteup aja raib entah ke mana. Sekarang, dengan hidup gue yang sudah agak lebih disiplin (terima kasih pada setengah delapan sampai setengah lima jam kerja dari Senin sampai Jumat), bahkan kutipan-kutipan di kertas mana pun itu udah rutin gue salin di MQB.

Terus kenapa gue suka ngutip? Well, terkadang ketika membaca sesuatu dan tubuh kita menimbulkan reaksi tertentu, ada kemungkinan kalimat yang kita baca memiliki makna yang dalam. Memang pasti subjektif sih, kondisi emosional seseorang pada saat dia membaca pun akan sangat memengaruhi penilaian mengenai apakah kutipan ini memiliki makna mendalam yang universal atau tidak. Bahkan jenis kelamin pun punya andil yang nggak sedikit untuk menentukan pilihan kutipan.

Kadang-kadang gue juga suka mikir, kenapa sih bukan gue aja yang membuat sesuatu lalu dikutip orang lain. Suka iri sama penulis-penulis lama (lamaaaa… banget), karena mereka lebih dahulu hidup dan lebih dahulu mengeluarkan pemikirannya menjadi bentuk tertulis, hehehe… Pernah nggak kamu memikirkan sesuatu yang kamu rasa itu pemikiran kamu yang paling brilian, tapi kemudian kamu menemukan bahwa pemikiran kamu itu sudah ada yang lebih dulu memikirkannya, bahkan sudah dituliskan? Damn, buku yang gue baca itu dicetak tahun 1910!!! Hahaha….

Luckily, pekerjaan gue yang sebagai editor ini membuat gue bisa mengumpulkan lebih banyak kutipan daripada biasanya. Gimana nggak, tiap beres ngedit Harlequin pasti cari kutipan untuk bagian belakang pembatas buku. Belum kutipan-kutipan dari berbagai buku lain. Whoa… buku kutipan gue itu jadi cepat penuh.

Kemarin-kemarin sempet baca proof novel Jodi Picoult berjudul Vanishing Act/Hati yang Hilang. Man, euh… gue mesti bilang apa ya. Gue cinta Paulo Coelho, apalagi Sang Alkemis. Gue juga mengutip dari buku itu, gue lupa apa tepatnya, tapi sesuatu yang bunyinya seperti ini: Ketika kau menginginkan sesuatu, maka seluruh alam raya akan membantumu (ini termasuk kutipan yang kertasnya ilang, =D). Dan itu tuh laten banget, terutama dengan my side job sebagai ‘tong sampah’, itu kalimat juara untuk memotivasi teman-teman gue yang lagi terpuruk. Terus, ketika gue baca Vanishing Act, gue selingkuh, hahaha… Nggak, nggak, bukan selingkuh, gue poliandri! Apa boleh buat, Coelho emang canggih dan akan tetap canggih. Tapi Picoult lagi nempel di hati nih.

Jadi, di Hati yang Hilang, Picoult cerita tentang anak yang hilang, terus yang menarik adalah ketika salah seorang tokohnya menggambarkan dirinya, seorang ibu yang mengandung selama sembilan lalu melahirkan bayinya, dia mengatakan “ketika kau mendapatkannya kau tidak menyadari bahwa sebenarnya kau kehilangan dirinya”. Iya, bayangin deh selama sembilan bulan kamu dan bayimu selalu bersama-sama, ketika kamu mendapatkan bayimu di tanganmu (aka. melahirkan) sebenarnya kamu kehilangan dia karena dia tidak lagi menjadi bagian darimu dan suatu saat dia akan menghadapi dunianya sendiri. Aduh, pusing… tapi begitulah, semoga mengerti maksud gue.

Ibu Picoult ini jago banget deh bikin analogi-analogi keren, dan tersebar di berbagai bagian dalam bukunya. Wittuwwiw… kamu harus baca sendiri, atau kapan-kapan kita bahas buku-bukunya Picoult di sini ya.

Wait… wait… sebagai penutup, gue mau kasih satu kutipan. Ini sebenernya kutipan dari film (yah, lu bisa mendapatkan kutipan dari mana pun, bukan?) tapi masih nyambung banget sama perbukuan, soalnya ini dari film Beatrix Potter. Gini nih: “There’s something delicious about writing the first few words of a story. You can never quite tell where they’ll take you. Mine took me here, where I belong.”

(Disebarkan oleh Rere. November 2008)

Tuesday, November 11, 2008

Bosan Jadi Editor

Apa sih suka-dukanya menjadi editor? Pertanyaan tersebut mampir berkali-kali kepada saya. Sukanya? Wah, banyak, karena senang membaca, dengan sendirinya pekerjaan ini memberikan saya ruang sebanyak-banyaknya untuk membaca. Dukanya? Karena membaca sudah menjadi pekerjaan, kadang-kadang membaca sudah tidak lagi menjadi suatu kegiatan yang sifatnya menyenangkan.

Tapi duka semacam itu jarang terjadi. Selama delapan tahun menjadi editor, hanya dua kali saya mengalami editor's block kelas berat. Pernah suatu hari saya masuk kantor, menyalakan komputer, dan mendadak saya benci sekali membaca. Jadilah saya browsing internet dan menemukan kata-kata Nora Roberts yang menampar saya, "I don't have writer's block. I'm a profesional writer." Sebagaimana pekerjaan profesional lainnya, saya tidak bisa punya block.

Saya jadi merasa sedikit disindir oleh kalimat tersebut. Pekerjaan saya bukan lagi sekadar hobi membaca. Ya, benar, saya memulainya dengan kegemaran dan minat membaca, namun menjadi editor tidak semata-mata tentang membaca.

Editor menjadi bagian dari suatu sistem penerbitan yang besar. Ibarat restoran, editor adalah sous chef-nya. Ibarat rumah sakit, editor adalah perawatnya. Ibarat bisnis musik, editor adalah arrangernya.

Dulu, semasa saya kanak-kanak, saya selalu menyentuh buku dengan cara yang khidmat. Bagi saya, buku adalah cinta pertama. Saya membayangkan diri saya bisa menjadi bagian dari proses penerbitan buku tersebut. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, saya terkadang lupa saat sudah mencapai hal tersebut. Menggapai impian berbeda dengan hidup dalam impian tersebut.

Ini bukan komplain atau keluhan bahwa saya bosan jadi editor. Tapi untuk menunjukkan bahwa kadang-kadang dewa* pun ternyata manusia biasa.

Tapi rasa cinta saya terhadap buku dan membaca selalu mengalahkan rasa bosan yang terkadang muncul. Kecintaan tersebut kembali memanggil saya pulang setiap kali saya memalingkan kepala saya terhadap cinta pertama saya itu.

(Disebarkan oleh Hetih. November 2008)
*Kata Stephen King dalam On Writing, editor adalah dewa.

Monday, November 3, 2008

Bukuku Jendelaku

Aku tidak ingat kapan persisnya mulai suka membaca buku. Tapi kalau tidak salah setelah lagi-lagi mendapat buku sebagai hadiah dari teman-teman dan keluarga setiap kali ulang tahun, aku pun “terpaksa” melahap semua buku itu daripada dibiarkan bersarang jaring laba-laba. Sebuah keterpaksaan yang berbuah manis, tentunya.

Aku jadi keranjingan baca buku. Mengunci diri di kamar agar tidak ada yang mengganggu, melupakan makan dan minum, seharian berdiam diri di kamar, hanya demi menuntaskan rasa penasaran sewaktu membaca lembar demi lembar kisah di dalamnya, membayangkan setiap kejadian secara detail di benak, mengira-ngira kejadian selanjutnya, menebak setiap ending, berharap menjalani kisah seperti si tokoh di buku. Ahh... what an intoxicating experience!

Kisah-kisah Disney, H.C. Andersen, S.A. Conan Doyle dan Enid Blyton menjadi buku “wajib” waktu masih kecil dulu. Sambil bawa roti lapis selai kacang dan sebotol sirup, aku bersama adik akan bersepeda ke taman dekat rumah, mencari tempat di bawah pohon dan mengeluarkan salah satu seri Lima Sekawan, kemudian membuka halaman di mana George dkk tengah bersantap siang. Kemudian sambil membacakannya untuk adikku, aku membayangkan kami tengah berpiknik seperti George, Julian, Dick, Anne, dan Timmy, minus petualangan-petualangan mereka.

Menjelang remaja, kisah-kisah petualangan digantikan cerita-cerita mengenai pencarian jati diri, teman-teman, dan cinta. Dulu aku suka banget sama Judy Blume, terutama yang Are You There God? It’s me, Margaret. Karena tiga hal tadi, lengkap dibahas di sana. Tapi selain kisah-kisah manis percintaan remaja, aku juga keranjingan cerita horor! Hehehe. Jadi waktu muncul seri Fear Street dengan berbagai kisah seramnya, wah, senangnya bukan main! Emang sih bikin kepikiran aja, tapi rasa penasaran setiap mencari dalang di setiap kisah seram, serunya bukan main. Dulu aku senang banget sama seri ini yang berjudul Moonlight, di situ cewek tokoh utamanya ditaksir sama cowok separuh serigala jadi-jadian. Seram memang, tapi dulu sih ngebayanginnya keren (nggak tahu kenapa?). Lucunya, sekarang Stephanie Meyer ngeluarin Twilight saga yang juga mengangkat kisah manusia dengan makhluk supranatural. Fantastis!

Masuk masa kuliah, cerita-cerita lebih dewasa mulai menarik minatku. Jatuh cintaku pada serial chicklit bermula saat membaca Confessions of a Shopaholic. Sejak baca itu (dan masih sampai sekarang..) setiap kali membeli barang apa pun yang agak mahal, selalu terlintas kalimat andalannya Becky, “Ahh, ini kan untuk investasi. Jadi mahal sedikit tidak apa-apa. Karena nanti semua orang akan memanggilku, the girl with the blue dangling earrings, the girl with the yellow leather jacket, the girl with the khaki leather boots, bla, bla, bla.” Haha… Ceritanya Jemima juga aku suka. Saat dia berhasil menurunkan berat badannya berkat olahraga, aku juga ikut terinspirasi ngurusin badan karena kebetulan masa kuliah dulu rada gemuk. Although in the end I realized that, just like Jemima, beauty is only skin deep.

Saat itulah aku mulai baca bukunya James Redfield dan Paulo Coelho. Buku-buku mereka sarat dengan pesan-pesan spiritual dan moral yang universal. Dengan bukunya Redfield, aku awalnya tertarik sama sampul depannya yang bagus. Yang pertama kali aku baca tuh yang Rahasia Shambala. Wah baca dari halaman pertama saja sudah bikin aku penasaran dan hati damai, gitu. Ceritanya benar-benar bagus. Aku sih jadi kepingin ke Tibet dan Pegunungan Himalaya sejak baca itu. Meski nggak tahu kapan, tapi untuk saat ini rasanya cukup puas membayangkan suasana dan pemandangan di Tibet yang diramu dengan piawai oleh Redfield di bukunya itu.

Buku pada akhirnya memang menjadi “jendela dunia” bagiku untuk meresap dan merenungkan kisah-kisah di berbagai pelosok bumi ini. Dan bergabung menjadi salah satu editor di GPU, membuka jendela itu semakin lebar untukku mengarungi setiap cerita yang sarat dengan pengalaman dan kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kisah-kisah dongeng, petualangan, cinta, fantasi, setia menemani setiap fase hidupku. Menyedotku ke dalam halaman-halamannya yang sarat makna dan pesan. Sampai terkadang tanpa sadar (dan disadari), mengikutsertakan fiksi-fiksi itu dalam nyata. Fiksi melebur dalam nyata, memengaruhi cara berpikir, cara bersikap, bahkan cara berbicara.

Kini aku sudah tidak sabar lagi pengin baca Dongeng Ketiga Belas karya Diane Setterfield yang katanya seru, gothic, dan rumit. Dan sembari membolak-balik halaman-halaman Bibliophile, mencari bacaan-bacaan baru lain yang menarik minatku, sayup-sayup terdengar Chantal Kreviazuk menyanyikan lagu yang liriknya sudah tidak asing lagi bagiku, “… it feels like home to me, it feels like home to me, it feels like I’m on my way where I belong…

(Disebarkan oleh Mei. Oktober 2008)

Tuesday, October 28, 2008

Pengarang Baik Hati

Punya pekerjaan jadi sekretaris di perusahaan penerbitan membuat saya menemui manusia dalam berbagai edisi. Kebanyakan pengarang, yang mau menerbitkan karyanya di tempat saya bekerja.

Sejarah membuktikan bahwa pada saat mereka menyerahkan naskah, mereka datang dengan cukup sopan, baik, rendah hati. Ada yang optimis, ada yang pesimis. Tapi dengan berjalannya waktu dan lamanya naskahnya belum selesai dibaca editor, keluar deh sifat-sifat aslinya. Mulai jutek, nggak sabaran. Bahkan ada yang pernah ngasih nasihat, "Mbak, coba deh tim editornya ditambah, biar kita-kita yang pengarang ini nggak terlalu lama digantungin."

Memang sih, pengarang pasti nggak sabar nunggu naskahnya selesai dibaca. Tapi yah, naskah yang masuk tiap tahun semakin banyak. Untuk perbandingan, waktu saya baru masuk GPU,
cuma 300-an judul yang masuk dalam satu tahun (2004). Sementara tahun ini, baru sampai bulan Oktober saja sudah 900 judul naskah yang masuk meja redaksi. Belum lagi kalo ada lomba. Seperti yang baru aja lewat, lomba cerita konyol remaja. Kami terus memperbaiki diri, kok. Semoga ke depannya proses seleksi naskah ini bisa lebih cepat lagi.

Tapi, ada beberapa juga makhluk langka yang dinamakan pengarang yang baik. Biasanya mereka mengerti kalo naskahnya musti ngantre dulu, jadi butuh waktu minimal 3 bulan buat dinilai. Kalo nelepon saya untuk konfirmasi naskahnya, tidak pernah mereka bicara dengan nada yang tinggi, selalu sopan dan tahu aturan, seperti layaknya menelepon ke sebuah instansi. Sayangnya di dalam rimba kepenulisan, mereka termasuk edisi langka. Kaum minoritas. Hampir punah. Jadi, kalo di antara 200 pengarang saya nemuin satu yang seperti itu, langsung pengin dikasih air keras, biar tetap awet.

(Disebarkan oleh Michelle, Oktober 2008)

Monday, October 20, 2008

Walking Bookshop


“Buku apa itu?”
“Buku cerita.” Sambil terus baca
“Rame?”
“Lumayan.” Masih terus baca.
“Emang nyeritain apa sih?”
“Jadi ya, ini cerita tentang anak kecil yang…” Buku itu dia tutup, jari telunjuknya terselip di antara halaman untuk menandakan bagian yang sedang dia baca. Dia bercerita dengan penuh semangat. Kadang-kadang tangannya bergerak-gerak mencoba ikut mendeskripsikan sekaligus menekankan ceritanya. Matanya terkadang melotot, kadang menyipit. Mulutnya terus mengoceh. Blablabla… panjang pokoknya. Lalu, “Ya, gitu. Keren, kan?”
“Keren. Boleh pinjam?”
“Boleh. Nanti ya, kalo gue udah selesai. Nih, kamu baca yang ini aja dulu.” Mengeluarkan buku lain dari ransel yang disimpan di dekat kakinya terus diasungkan pada temannya, lalu kembali membaca.
Si tukang tanya melihat buku tersebut, menatap si tukang baca yang kembali serius menekuni bukunya, balik lagi menatap buku di tangannya, membalik-balik halaman buku itu. Lalu, “Bang, teh botolnya lagi dong. Yang dingin.”

***

Di halte bus. Panas banget. Cewek itu dengerin musik pake mp3 player sambil baca buku. Gue geleng-geleng keheranan. Kok bisa sih baca buku sambil dengerin musik? Kalo gue baca, ya baca, dengerin musik, ya dengerin musik. Kalo di-mix suka kacau, musiknya nggak tersimak baik, jalan cerita di buku asal lewat doang. Curang! Kenapa cowok cenderung tidak bisa multitasking? Dia baca buku apa sih? Zahir. Paulo Coelho? Gue mengedikkan bahu, rasa-rasanya pernah denger nama itu.

Bus yang ditunggu agaknya masih lama. Bahkan kalo pas lagi jam-jam sibuknya bisa cuma datang tiap sejam sekali. Nasib, keterima kuliah di kota besar yang ternyata tempat kuliahnya di pinggiran kota, bahkan sebenarnya bukan di kota itu sendiri. Soalnya setelah diperhatiin, untuk sampai kampus harus ngelewatin dua perbatasan, pertama perbatasan kota dengan kabupaten kota itu, satu lagi perbatasan kabupaten tersebut dengan kabupaten lain. Gue juga bingung, kok bisa-bisanya Unpad-Bandung, tapi kampus di Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Hallooo...?

Mutung nih kalau bengong gini terus. Baca juga ah... ransel pun diobrak-abrik. Hape, botol minum, tempat pensil, rokok, korek, binder, makalah tugas. Nah, ini ada buku. Yah... ini sih buku pengantar tidur, gue pun mendesah. Di sampul buku setebal sekian ratus halaman itu tertulis Teori-teori Komunikasi.


***

Macet berat! Sial, kenapa hampir tiap weekend, Bandung macet, ya? Untung jalannya menurun. Nggak usah ngegas, gelindingin aja, kalo berhenti tinggal nginjek rem. Maju, lepas rem. Berhenti, ngerem lagi.
Tarik rem tangan. Merem...

Tin... Tin...! Ups, sori, Bos. Maju dikiiiitttt banget. Terus... ngek, ngerem lagi. Oh, crap! Bersedekap. Manyun. Menghela napas. Nengok ke kursi belakang. Eldest! Jok supir gue recline ke belakang sampe mentok, biar gampang ngambil bukunya. Kursinya diatur lagi.

Mana pembatasnya, ya? Oh, ini dia. Bekas bon pembelian cat acrylic dan kuas di Balubur itu terselip di halaman 267. Eragon berlutut di depan ratu para Elf...

Sambil sesekali ngeliat ke depan. Sesekali lepas rem tangan. Injek rem, lepas rem, injek rem, tarik rem tangan lagi. Baca lagi. Satu jam, dari IKIP yang sekarang jadi UPI sampai Setiabudi bawah. Lalu lintas setelah Rumah Mode pun lumayan lengang.

Halaman 306. ...Birgit akan tetap membantunya memburu Ra’zac.
Bon gue simpen di halaman terakhir yang udah gue baca. Eldest ditaruh di jok penumpang. Tancap gas!!!

***

Dulu gue dipanggil walking dictionary, walaupun sebenarnya vocabulary gue juga nggak canggih-canggih amat. Tapi, untuk ukuran anak SMP waktu itu sih lumayan deh.

Umur agak nambah dikit, panggilan berubah, walking directory phone number. Entah gimana, kalo ada teman yang bilang, “Re, Ucup.” Yang ada di kepala gue bukan tampang si Ucup atau pertanyaan kenapa dia nyebut nama Ucup setelah manggil gue atau pertanyaan ada apa dengan Ucup atau, “Ucup? Mana?” Tapi nomor telepon rumah Ucup, 6076***. Sayangnya, kemampuan ini terdegradasi ketika hape mulai mengambil alih fungsi laci penyimpanan nomor-nomor telepon di otak gue. Sekarang sih enak, tinggal tut... tat... tit... tut.... Abdul. Pencet tombol yang ada warna hijaunya. Beres. Tinggal, “Halo, Abdul?”

Sekarang, temen-temen manggil gue walking bookshop. Kenapa? Well, teman-teman gue itu suka bertanya, “Di mana sekarang, Re?”
“Jakarta.”
“Kerja? Kerja di mana?”
“Di Gramedia Pus...”
“Wah, asyik. Bisa titip buku dong?”
“Euh, bisa...”
“Dapet diskon nggak?”
“Euh, dapet. Tapi cuma yang terbitan Kelompok Kompas-Gramedia doang.”
“Nggak apa-apa. Nanti gue pesen lewat lu ya.”

Walhasil, Mbak Hetih kebanjiran pesanan. Sampe dia pun bertanya, “Jualan di mana sih, Re?”
“Ngemper, Mbak.”

(disebarkan oleh Rere. Oktober 2008)