Ada beberapa buku yang membuat saya bangga terlibat dalam kelahirannya. Novel ini salah satunya. Bangganya saya itu berkaitan dengan betapa rapinya novel ini. Sebenarnya, selain untuk meluruskan beberapa titik-koma, novel ini tidak perlu editor.
Kenapa rekomendasi saya bisa begitu berbunga-bunga? Saya tidak biasa memuji, bahkan agak muak dengan novel-novel yang dipuja-puji orang. Euh, apa novel-novel itu tidak bisa "Speak for themselves"? Jadi, moga-moga puji-pujian saya ini tidak membuat yang membaca resensi ini malah jadi muak pada "Eiffel, Tolong!"
Bisa dibilang menjual kata "Eiffel", yang jadi magnet buat pembaca di mana-mana di seluruh dunia, novel ini memulai dirinya dengan judul yang tepat. Judul juga bisa mengantar pembaca kecele menduga ini novel cinta macam "Eiffel, I'm in Love". Tapi, tidak!
Bersiapkan terseret dalam dunia thriller yang seru, penuh adegan laga, dan spionase macam serial Alias, CSI, atau Mission Impossible. (Salah satu pertanyaan saya waktu bertemu pengarangnya adalah, "Kamu suka nonton Alias, ya?"--soalnya saya suka sekali serial itu.) Tokoh-tokohnya yang masih remaja--dan mengakibatkan buku ini terpaksa masuk genre teenlit--tidak mengurangi keseruan cerita. Tapi jangan bayangkan juga ceritanya jadi kayak teen spy atau seri Alex Rider-nya Horrowitz.
Anyway, adalah Fay, remaja Jakarta kelas 2 SMA yang berlibur ke Paris sendirian. Tadinya dia ke Paris karena ikut ibunya yang tugas ke sana, tapi detik terakhir tugas ibunya dipindah ke Brazil. Rencananya Fay akan ikut sekolah bahasa Prancis selama 2 minggu, lalu ikut tur selama 3 hari.
Semangat, semangat, semangat! Bagi orang yang pernah menghabiskan 3 hari di Paris, saya langsung membayangkan kegiatan Fay. Apa dia ke Eiffel, Louvre, dkk?
Salah besar, sodara-sodara! Fay ternyata terjebak dalam konspirasi bisnis dan militer mengerikan yang dijalankan oleh Andrew, konglomerat yang mau menghalalkan segala cara demi berhasilnya bisnis yang dijalankannya.
Dianggap mirip sekali dengan keponakan saingan bisnisnya yang orang Malaysia, Andrew menculik Fay dan men-trainingnya sehingga menjadi fotokopi sang keponakan. Dua minggu yang seharusnya jadi 2 minggu terindah dalam hidup Fay berubah bersimbah air mata.
Fay yang gak hobi olahraga dipaksa lari lintas alam dan push-up setiap hari. Fay yang gak pernah dandan dipaksa belajar memoles wajah dan memakai sepatu hak tinggi. Dan Andrew tidak segan-segan menerapkan hukuman fisik bila Fay menolak.
Tapi bukannya tidak ada sparks yang menyenangkan. Fay berjumpa Reno dan Ken. Ken, keponakan Andrew, menjadi mentornya. Sementara Reno adalah teman les bahasanya. Meski awal hubungannya dengan Ken suram, pemuda ini malah membuatnya merasakan sekilas summer love. Sementara Reno selalu melindunginya bak kakak.
Saat Fay sudah sempurna berubah menjadi Sheena, si gadis Malaysia, ia diterjunkan masuk ke rumah saingan bisnis Andrew. Tapi tugas yang mustahil itu akhirnya...
Wah, seru bin asyik banget membaca novel yang sangat rapi ini. Serasa nonton film! Dan... baiklah saya hentikan resensi ini sebelum lebih memuji lagi.
Showing posts with label Teenlit. Show all posts
Showing posts with label Teenlit. Show all posts
Tuesday, May 5, 2009
Eiffel, Tolong!~Clio Freya
Posted by Donna at 2:55 AM 5 comments
Sunday, November 23, 2008
Porcupine: Jadi Kakak Pemberani

Misalnya keluarga, orang-orang yang harus menderita ketika orang yang mereka sayang nggak bisa pulang lagi. Itu baru buat tentara-tentara yang harus dikirim untuk berperang. Belum lagi penduduk di daerah perangnya.
Nah, kali ini gue bukan nonton film perang, tapi baca buku yang menceritakan kisah yang sering kali cuma dijadikan latar belakang, padahal ini penting banget. Apa yang terjadi pada sebuah keluarga ketika kepala keluarganya harus pergi atas nama tugas.
Sebetulnya ini buku anak-anak, atau lebih tepatnya buku remaja, karena buku ini dikategorikan sebagai teenlit. Meski begitu, Menjadi Kakak (judul aslinya Porcupine) bukan jenis buku yang bisa dibaca sekilas, cepat-cepat, terburu-buru---setidaknya buat gue. Tokoh utamanya Jack Cooper, anak cewek umur 12 tahun pada awal cerita dan berulang tahun ke-13 pada bagian-bagian akhir buku.
Awalnya diceritakan kejadian-kejadian normal di rumah keluarga Cooper. Dengan Jack, yang nama aslinya Jacqueline, yang tomboi dan punya dua adik, Tessa dan Simon. Jack ini tipikalnya daddy’s girl yang jago berantem, nggak ribet, mahir pake alat-alat pertukangan, pokoknya tipe-tipe anak cewek tough deh. Kebalikan banget sama Tessa yang girlie banget dan jadi mommy’s girl, lengkap dengan sepatu-sepatu bagus dan kepangan cantik. Sedangkan Simon anak cowok bungsu yang jago banget main Lego.
Nggak berapa lama, Mr. Cooper harus bertugas ke Afghanistan, dia bukan pergi untuk berperang, tapi jadi tentara penjaga perdamaian PBB. Tapi waktu Mr. Cooper pamitan, ada satu hal yang nggak biasa. Diam-diam, ayah Jack menitipkan arlojinya pada Jack sambil berbisik, “Keep it safe for me.” Mr. Cooper juga sempat meminta Jack untuk menjaga ibu dan adik-adiknya.
Meskipun pergi “cuma”sebagai tentara penjaga perdamaian, hasil akhirnya sama: Mr. Cooper meninggal, gara-gara friendly fire. Dan kehidupan keluarga Cooper langsung berubah drastis. Mrs. Cooper ternyata nggak kuat menghadapi perubahan ini dan menutup diri.
Sampai akhirnya anak-anak harus tinggal dengan nenek buyut mereka (Gran) di kota lain. Padahal Gran sama sekali nggak menyetujui pernikahan ibu dan ayah mereka dulu. Bisa dibayangkan gimana jadinya, kan? Jack harus berusaha keras menyesuaikan diri dengan segala macam perubahan di sekelilingnya, sekaligus membantu adik-adiknya memahami semua perubahan itu.
Jack yang sering kesal sama Tessa akhirnya “berdamai” ketika Tessa berusaha kabur dari rumah Gran. Sekesal-kesalnya Jack, dia tahu mereka bertiga nggak boleh terpisah. Sampai akhirnya, sejak malam itu Jack mulai menambahkan Tessa dalam doa-doanya: And ever since Tessa ran away, I’ve started adding her in my prayers, too. I never did before, because I didn’t know she needed it, but I do now, and I think it helps. Dengan kata-kata sesederhana itu, Meg Tilly---sang penulis---berhasil nunjukin gimana Jack maju selangkah lagi.
Yang pasti, kita nggak perlu balik jadi anak kecil buat bisa merasakan apa yang dirasakan Jack---dan belajar banyak dari Jack. Gimana Jack begitu bahagia ketika suatu malam mimpi ketemu ayahnya, betapa marahnya Jack ketika kaca arloji ayahnya retak waktu dia ngebela Simon yang dikeroyok, gimana kesalnya Jack pada Tessa karena adiknya itu kadang suka egois, atau gimana Jack berusaha banget untuk jadi anak yang tangguh dan nggak pernah mengeluh. Gimana Jack berusaha berani menghadapi hidup.
Menjadi Kakak sebetulnya buku buat semua orang, segala usia. Buku ini ngingetin gue tentang banyak hal, terutama tentang keluarga, what it really means to be a family. Waktu ada beberapa tetangga yang manas-manasin Gran untuk menjual tanahnya dan nggak ngurus cucu-cucunya lagi, melaporkan bahwa Jack nonjok anak cowok di sekolah sampai hidung anak itu retak (waktu Jack membela Simon) dan nyebut Jack sebagai “hooligan”, Gran cuma ngomong gini: “They’re good kids. And I won’t have anybody saying otherwise. Is that clear?” Sederhana banget, kan? Tapi kata-kata sederhana ini punya arti sangat besar buat Jack yang saat itu lagi nguping di ujung tangga. Hihihi… jadi inget kelakuan gue dulu, nguping, mondar-mandir nggak jelas pas ada tamu… siapa tahu lagi ngomongin gue.
Buku ini nunjukin lagi bahwa di balik cerita-cerita perang yang gue suka itu ada cerita lain. Bahwa behind a good story lies great stories. Tapi yang paling penting, lewat buku ini gue jadi tahu bahwa even a porcupine could be petted! You just have to know how….
(Disebarkan oleh Nina. Oktober 2008)
Posted by editor at 5:50 PM 0 comments
Tuesday, November 4, 2008
Kehidupan di Pintu Kulkas - Alice Kuipers
“A book about making time for those you love when time itself is running out...”
Ada banyak cara menulis kisah cinta. Salah satunya dengan pesan-pesan singkat yang ditempelkan di pintu kulkas. Singkat, padat, nyaris tak menyentuh kata-kata puitis dan indah yang biasanya menjadi salah satu instrumen setia dalam kisah cinta yang mengharu biru. Bahkan ada kalanya pesan itu hanya berupa daftar barang belanjaan yang mesti dibeli: susu, apel, wortel untuk Peter si kelinci, jus (kau boleh pilih rasa apa). Atau mungkin teriakan supaya si ibu tidak lupa meninggalkan uang saku. Dan yang lebih singkat lagi: “Mom, aku dapat A!”
Tapi toh kita bisa temukan juga jejak-jejak cinta di antara singkat dan bergegasnya kehidupan yang dikisahkan di pintu kulkas itu. Dan betapa dalam... Dan meski tak satu kata puitis pun ditemukan di sana, kau ingin tahu hasilnya? Cucuran air mata dan hati yang diremas-remas, yang mengartikan cinta itu ada, dan akan tetap ada lama setelah kehidupan di pintu kulkas itu berakhir.
Oh ya, satu lagi yang membuat buku ini istimewa, setidaknya untuk saya: buku ini mengingatkan betapa banyak yang dapat dikatakan dalam begitu sedikit kata-kata, asalkan kita bersedia menyediakan waktu untuk mengatakannya.
(Disebarkan oleh Rosi. November 2008)
Posted by editor at 5:29 PM 0 comments
Subscribe to:
Posts (Atom)