Lokasi: Depan Plasa Senayan
Hari: Selasa, 30 Desember 2008
Jam: 11.45
Tujuan: Makan siang (Sekalian ketemu Fanny Hartanti, pengarang MetroPop: Four Seasons in Belgium dan C'est La Vie)
Kendaraan: Nyewa Mikrolet 09 dari Palmerah - Plasa Senayan Rp. 30.000,- naik berdelapan dalam suasana akrab dan kekeluargaan.
Tersangka: 4 editor fiksi, 1 manajer promosi, 1 marketing spesialis fiksi, 2 sekretaris redaksi fiksi (satu nggak keliatan karena motret, thanks ya, Michelle)
Mood: Iseng Banget
Tuesday, December 30, 2008
Posted by editor at 8:36 PM 1 comments
Labels: Iseng
I Love You, Edward
*Kisah jatuh cinta massal saya yang kesekian,
kali ini: terhadap Edward Cullen si vampire keren nan kelam*
Wajahnya pucat, kulitnya dingin, giginya putih sempurna menyembunyikan taring beracun yang setajam silet, senyum separo-nya membuat dada berdebar, matanya berwarna topaz dan gaya serta tingkahnya yang campuran antara lelaki pemikir abad klasik dan cowok remaja introvert resah cemas yang misterius serta galau melulu, bikin hati saya deg-degan dan malam-malam, si dia jadi kepikiran. Masuk ke dalam mimpi, dan kalau keinget jadi rindu trus geli sendiri.
Ahahaha. Dari tanda-tanda tersebut di atas, tahulah saya kalau kini saya lagi jatuh cinta temporer sama si dia: Edward. EDWARD CULLEN. Vampir ganteng berusia 190 tahun tapi abadi berusia 17. Vampir yang rambutnya hitam ikal, yang warna matanya bisa berubah-ubah: dari hijau menjadi keemasan, pria pemurung yang jarang senyum dan amat frustrasi dengan kenyataan bahwa dirinya adalah si penghisap haus darah dan perempuan yang dicintainya adalah si penyebar feromon yang beraroma amat ‘menggoda’, dan selalu menerbitkan liur vampirnya yang memang udah dari ‘sono’nya selalu dan senantiasa haus akan cairan merah yang mengalir di pembuluh: darah.
Lelaki misterius memang lebih menarik dari lelaki peramah. Lelaki misterius kayak kado yang belum kebuka isinya, kayak rumah berornamen gothic nan unik namun si pemilik jarang memasukkan tamu ke dalamnya. Kayak sesuatu berusia lama yang kita nggak tahu apa-apa tentangnya. Kayak sejarah yang kita pengen ketahui betul bagaimana asal mula dan perkembangannya, lantas bagaimana ia kini dan nanti ke depannya. Sesuatu yang sedikit diketahui, memang kerap mengundang kepenasaran besar yang memperlebar kolam rasa keingintahuan. Sebuah prosedur hukum alam yang sudah galib.
Ah Edward, Edward…
Sudah jelas, kini saya lagi kesengsem berat sama dia. Dan pastinya, sebagaimana cewek-cewek lain di dunia (tanpa memandang usia) saya yakin saya sudah tergelincir di pinggir kolam cinta maya dan telah jatuh berkubang cinta di dalamnya bersama ribuan bahkan jutaan cewek penggemar lainnya di dunia yang juga merasakan hal yang sama saat melihat Edward Cullen bangkit dari lembar-lembar teks novel Stephenie Meyer dan mewujud dalam gambaran visual yang bergerak dengan amat memesona di layar lebar
Edward bisa membaca pikiran orang dan mendengar bisikan dari pikiran tersebut. Ia yang tercepat di antara keluarga Cullen—meski bukan yang terkuat. Kulitnya menyerupai pualam, pucat sedingin es, dan berkilauan bagai berlian saat diterpa sinar matahari. Saat musim-musim dingin dan berhujan bersijingkat pergi dari Forks—kota dengan skala hujan tertinggi di dunia—Edward dan keluarga Cullen hengkang dari pergaulan. Bilangnya lagi summer vacation, padahal namanya juga vampir ya bo…. Tentu saja ia nggak mau identitasnya diketahui orang. (that’s why he’s so mysterious…)
Keluarga Cullen memang jenis vampir yang berbeda. Mereka vampir vegetarian dan sudah lama melakukan ‘diet ketat’ alias nggak lagi menghisap darah manusia. Carlisle sang kepala keluarga Cullen bahkan berprofesi sebagai dokter di unit gawat darurat sebuah Rumah Sakit di Forks. Di mana setiap hari ia berurusan dan menangani darah, tapi ‘pengalaman’ mengajarkannya untuk tidak mengulang sejarah kelam per-vampir-an yang seolah telah digariskan untuk selalu ‘kalap dan bernafsu’ bila melihat cairan darah segar yang tidak mereka punyai di tubuhnya. Meski tiap hari menghirup ‘aroma makanan’, tapi Carlisle sudah kayak para orang suci yang berpuasa dan senantiasa mampu menahan nafsunya. Hanya saja, itu cuma Carlisle—si kepala keluarga Cullen. Sedang para anggota keluarga? Anak-anak yang diadopsinya?
Apakah pula yang terjadi ketika Bella Swan—gadis dari kota terik Phoenix-Arizona datang ke Forks untuk tinggal dengan Charlie (papanya) dan bersekolah di sekolah yang sama dengan Edward? Salah satu anak adopsi Carlisle Cullen?
Rahasia keluarga Cullen terancam, karena cinta Edward membukakan kejujuran. Pada Bella—gadis manusia biasa yang penasaran karena Edward seolah menyesal telah menyelamatkannya (Bella hampir mati tertabrak mobil di halaman sekolah, andai Edward tidak datang menyelamatkannya dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa), Edward bilang, “Bagaimana kalau aku bukan superhero? Bagaimana kalau aku adalah makhluk yang jahat?”.
Sejak kedatangan Bella, hidup Edward memang jadi sesak. Edward berduka karena menahan cinta. Akan apa jadinya bila vampir bercinta dengan manusia? Bagaimana bila si gadis terluka dan darah keluar dari ujung permukaan kulitnya? Akankah Edward menghisapnya? Atau mungkinkah ia akan membiarkan si terkasih tanpa memberikan pertolongan sedikitpun? Dengan cara apa ia akan terus bisa menahan ‘godaan’ untuk tidak mencicip rasa darah Bella yang amat ia inginkan? Takutkah Bella akan Edward?
DILEMA. Sungguh cinta yang terlarang untuk dijalani bukan? Dan di pantai, saat cinta telah menjerat mahluk berbeda klan yang bisa diibaratkan seperti serigala yang jatuh cinta pada domba, Edward pun membuka rahasia keberadaan kaum vampire yang untuk tetap bisa survive dan terus bisa hidup di antara manusia, sebagian dari mereka ternyata telah lama mengakomodir perkembangan jaman: menjalani hidup dengan cara vegetarian, tapi “Ibarat manusia yang selalu makan tofu, ada sesuatu yang tidak terpuaskan,” tandasnya ke Bella dengan wajah murung kelam yang selalu saya sukai itu.
Ya tuhan, gimana saya nggak bisa suka sama dia? Di abad yang begini gemerlap, ada makhluk demikian gelap dengan suasana hati yang selalu murung dan waspada serta was-was tapi juga penuh cinta dan merana. Makhluk ganteng tapi bahaya. Makhluk yang membangkitkan imajinasi dan juga memperdaya pesona. Edward Cullen tuh bagi saya seperti anugerah di masa krisis global, pengalih perhatian yang sangat fantastis di tengah permasalahan peradaban milenium yang demikian sesak dari soal-soal semacam climate change, mencairnya es di kutub utara, korupsi yang membengkak di pemerintahan dunia ketiga, perkara global warming yang terus mengancam lingkungan kita, sampai bangkrutnya bank dunia dan melemahnya bursa saham Wall Street serta gosip kedatangan makhluk asing dari planet luar bumi yang akan datang pada tahun 2012.
EDWARD!
EDWAR CULLEN!!!
For me, you are lover, saviour.
Semua yang didambakan imajinasi
Memenuhi segala fantasi. Ahahahaha.
Edward gelap tapi ‘benderang’. Keren dan compatible dengan zaman tapi terlarang. Berbahaya tapi mengundang. Vampir tapi puasa ngisap darah. Ganas tapi lembut hatinya. Berusia ratusan tahun tapi muda abadi, selamanya bertubuh 17.
Apanya coba yang harus ditakutin kalau ada vampir sekeren Edward muncul begitu saja di hadapan saya? Seperti yang diucapkan Madonna dalam lagunya BEAUTIFUL STRANGER, saya dengan pasti akan mengambil langkah si aku dalam nyanyian tersebut: “kalau aku pintar harusnya aku menghindar, tapi aku tidak, makanya ku terus maju ke depan. Memandang dan menemuimu… wahai kau sang orang asing yang amat memukau…”
Yup. Edward berusaha menghindari Bella saat pertama bertemu. ‘Bau’ Bella benar-benar menggodanya, tubuh Bella benar-benar diinginkannya, namun pikiran Bella… sama sekali tak bisa Edward baca. Seterang siang, ia bisa membaca pikiran orang dan mendengar bisikan yang berbunyi dalam benak, tapi Bella seperti lubang gelap. Sedikitpun, Edward tak bisa tahu apa yang dipikirkan Bella dalam benak. Dan bagi Bella sendiri, penghindaran Edward tak bisa diterimanya. Ia tahu, sebagian hatinya telah amat tertarik pada salah satu anggota keluarga Cullen tersebut. Cullen’s family yang dikenal ‘aneh’ dan eksentrik di sekolahnya, yang tak berteman kecuali dengan anggota keluarga mereka sendiri, tidak makan saat istirahat siang, dan meski baik—bagi sebagian besar anak sekolah di SMA tersebut, anggota keluarga Cullen terasa menguarkan aura yang kerap mengancam dan membuat mereka ketakutan.
Tapi kalau kata saya sih, cuma cewek bodoh yang pergi menjauhi Edward. Keren parah gitu, gila! Alih-alih pergi, saya mah malah akan bertindak seperti Bella: langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ahahaha. Ya iya lah! Pasti cuma cewek bodoh yang lari terbirit begitu tahu siapa sebenarnya cowok keren yang ada di hadapannya: Vampire. Alih-alih ngibrit kabur, Saya kayaknya justru akan langsung menurunkan kerah baju saya dan minta Edward buat menggigitnya. Ketemu vampire di abad milenium kayak geneeeeeeeee?! Pasti cuma manusia yang punya karma masa lalu yang bagus yang bisa mendapatkan anugerah serta kesempatan tersebut. KETEMU SAMA MAKHLUK PRASEJARAH, man! Huhuhuhuhu. Mau, mau, mauuuuuuuuuuu!!!! Saya mau ketemu Edward!!!!
Tulisan ini dikutip dari Akun Facebook Ucu Agustin.
Ucu Agustin adalah cerpenis yang karya-karyanya tersebar di media massa, novelis pemenang penghargaan, sutradara yang memperoleh sejumlah pujian untuk sejumlah karya dokumenternya. Karya-karya yang pernah diterbitkannya antara lain novel Metropop: Being Ing (GPU, 2005) dan kumpulan cerpen Dunia di Kepala Alice (GPU, 2006). Film dokumenter terbaru Ucu Agustin bisa disaksikan dalam film Pertaruhan (2008), yang diputar di Jiffest 2008 dan diputar terbatas di sejumlah layar bioskop di Indonesia.
Posted by editor at 5:14 PM 1 comments
Labels: Pernik
Tuesday, December 23, 2008
Menunggu Hujan THR
Kalo editor lagi bete, payung nganggur diojekin...
Sayang... belum ada produser yang tahu bakat terpendam kami.
Sekalian nich, promosiin diri.
Dari kiri ke kanan: Vera Malakiano, Tanti Lawra Kiehl, Hetih Wimala, Dharmarandah, dan Siska Early.
Posted by editor at 4:45 PM 0 comments
Labels: Iseng
Saturday, December 20, 2008
Pindahan
Saya paling tidak menyukai kegiatan beres-beres. Meja kerja saya berantakan seperti kena hantaman badai. Tapi beberapa minggu ke depan saya harus membereskan meja kerja saya karena GPU akan pindahan gedung ke gedung cantik nan megah tanggal 15 Januari 2009. Sebenarnya pindahnya cuma ke gedung sebelah, tapi tetap saja kan kita tidak bisa melakukan beam ala Star Trek.
Di antara kesibukan berberes, tentu saja kami menemukan harta karun. Ketika menemukan buku-buku yang nyaris terlupakan kami berteriak kegirangan. “Waks, ada Midnight in Garden of Good and Evil nih...” Belum lagi ditambah dengan teman-teman yang membagikan buku-buku lama yang tersimpan di kolong meja atau terlupakan di sudut mana. Ada buku seperti Jonathan Livingston Seagull yang pernah saya baca di perpustakaan SMP dulu. Atau buku-buku besar seperti Gone with the Wind yang mengingatkan saya pada masa SMA ketika pertama kali membaca buku itu dan tak pernah menyangka suatu hari kemudian saya bisa berkenalan dengan penerjemahnya. Atau cetakan lama tahun 1980-an novel-novel Mira W. Yang ketika saya baca waktu SMP-SMA dulu selalu membuat saya bermimpi bisa menjadi bagian dari penerbitan buku semacam ini. Obsesi aneh yang tak pernah bisa dipahami oleh orangtua saya sampai sekarang adalah keinginan saya untuk menjadi bagian dari penerbitan buku.
Kenangan membanjir seiring kesibukan yang kadang bikin rese dan membuat sebagian dari kami memilih jadi pemulung daripada bekerja. Lucunya, kadang buku-buku yang disimpan bertahun-tahun lalu dan dianggap memiliki arti penting tak terkira lama-lama hanya jadi koleksi. Selama bertahun-tahun buku itu dibiarkan tak tersentuh, dan baru pada saat seperti ini kami sadar bahwa “hei, aku baru ingat ada buku itu di sana.” Dan ketika melihat buku tertentu, saya baru ingat, Ah, ini dia buku yang pernah membuatku menangis dan tertawa bersamaan. Tapi setelah tahun berlalu, buku itu hanya jadi koleksi semata, koleksi yang makin lama makin bertambah dan membuat tidak ada cukup ruang lagi untuk menampungnya. Kini sudah tiba saatnya menyerahkan kepemilikan buku tersebut kepada orang lain. Jika tidak, tidak ada ruang yang cukup untuk menampung buku-buku lain yang sudah menunggu kesempatan menyentuh hati kita.
Saya selalu percaya setiap buku pada waktu tertentu memiliki jalannya sendiri untuk masuk ke hati seseorang. Bagaimana sebuah buku yang sama bisa saja menyentuh hati seseorang sedemikian rupa, sementara buku yang sama tidak memiliki kekuatan magis itu terhadap orang lain. Waktu yang tepat juga menjadi unsur penting. Buku yang kita baca sepuluh tahun lalu dan mengguggah kita sedemikan rupa, misalnya, ternyata tidak memiliki efek magis yang sama jika kita baca sekarang.
Sambil mengorek-ngorek harta karun, saya tetap benci beres-beres pindahan ini. Tapi melihatnya melalui sudut lain, memandangi jejak waktu yang bergerak seiring dengan membongkar pernak-pernik buku atau benda-benda lain yang menjadi catatan perjalanan saya bekerja di kantor ini selama hampir sembilan tahun, saya jadi punya semangat baru lagi. Yah, walaupun dalam hati terus berharap bisa berkata, “Scotty, please beam all my things to my new office.”
(Disebarkan oleh Hetih. Desember 2008)
Gambar dari: www.fotosearch.com
Posted by editor at 4:31 AM 3 comments
Labels: Pernik
Sunday, December 14, 2008
Lomba Resensi Online Akhir Tahun 2008
Kalau masih ada buku GPU paling oke yang belum dibuat resensinya, tenang aja, masih ada waktu untuk menguploadnya ke blog atau wesbite karena batas waktu lomba resensi ini sampai 15 Januari 2009.
Oya, maksimal resensinya 3 buku. Biar jurinya nggak keder bacanya.
Kirimkan link dan resensinya via e-mail ke hetih@gramedia.com dan nung@gramedia.com. Atau silakan memasang linknya di komen postingan ini. Biar lebih afdol.
Keputusan juri mutlak dan tidak diadakan surat-menyurat.
(Disebarkan oleh Hetih. Desember 2008)
Posted by editor at 6:18 PM 3 comments
Labels: Lomba Resensi
Friday, December 12, 2008
Sedikit Fakta Tentang Bangsawan & Tips Menjadi Lady ala Historical Romance
Pemeran utamanya kali ini Lillian Bowman, putri OKB (Orang Kaya Baru) dari Amerika dan Marcus, Earl of Westcliff.
Berbeda dengan buku pertama, di sini kita diperkenalkan lebih jauh dengan tata cara dan adat kebangsawanan Inggris.
Sedikit fakta tentang tata cara kebangsawanan Inggris:
- Tidaklah sopan untuk memanggil seseorang dengan nama kecilnya. Bahkan seorang istri pun kalau mau memanggil suaminya di depan umum harus memanggilnya dengan sebutan gelarnya. Misalnya, Annabelle memanggil suaminya dengan Mr. Hunt, bukan Simon. Ibu Marcus memanggil putranya dengan My Lord, bukan dengan nama kecilnya.
- Tidaklah baik bagi seorang wanita lajang untuk menghabiskan waktu berduaan bersama pria tanpa kehadiran pendamping. Reputasi wanita itu bisa tercemar, dan pria bakal enggan menikahinya.
- Secara status, Viscount (anak laki-laki Duke) berada di bawah Earl. Tapi ketika Duke mangkat, dan Viscount mendapat gelar Duke, maka statusnya berada di atas Earl. Makanya Lord St. Vincent sekarang masih berada di bawah Earl of Westcliff. Tapi kalau ayahnya mangkat, Lord St. Vincent akan menjadi Duke, dan Earl of Westcliff akan berada di bawah St. Vincent.
- Hanya duke/duchess yang boleh dipanggil Your Grace. Bangsawan lain hanya boleh dipanggil dengan sebutan Lord/Lady.
- Kalau pasangan Duke disebut Duchess, pasangan Earl disebut Countess. Nah, saat Earl senior mangkat, gelarnya diwariskan kepada anak laki-lakinya. Kalau saat itu si anak laki-laki belum menikah, maka yang menjadi Countess tetaplah ibunya. Tapi ketika sang earl menikah, maka ibunya akan menjadi Dowager Countess, dan istrinyalah yang menjadi Countess. Buat lebih gampangnya, dowager itu istilah keren bangsawan buat “janda”. Dan yang boleh disebut dowager adalah mereka yang almarhum suaminya bergelar, dan pewaris gelar saat ini adalah keturunan langsung almarhum suaminya. Jadi selain buat ibu, dowager bisa juga digunakan untuk ibu tiri, nenek, dan janda pemangku gelar sebelumnya.
Nah, semoga sekarang nggak bingung lagi kalau baca novel Historical Romance ya.
Sebagai penutup, berikut ada tips menjadi lady dari Countess of Westcliff, ibu Marcus. Silakan disimak:
1. Seorang lady tidak pernah membiarkan tulang punggungnya menyentuh sandaran kursi. Dia harus duduk tegak.
2. Saat perkenalan:
- Jika perkenalan terjadi antara dua wanita muda, seorang lady boleh berjabatan tangan.
- Jika perkenalan terjadi antara pria dan wanita, sang lady harus menunggu sampai si pria menghampirinya, lalu membungkukkan badan sedikit, tapi tidak boleh berjabatan tangan.
3. Seorang lady tidak boleh membungkuk kepada pria yang tidak diperkenalkan padanya meskipun ia sudah sering melihat, bertemu, atau bercakap-cakap dengan pria itu. Kalau perkenalan resmi belum terjadi, seorang lady hanya perlu mengangguk singkat. Sekalipun pria itu sudah menolongnya, selama sang lady belum diperkenalkan secara resmi, dia hanya boleh mengangguk dan mengucapkan terima kasih, tanpa membungkukkan badan.
4. Seorang lady tidak boleh meminta menambah anggur saat makan malam. Hanya tamu pria yang boleh minta tambah minum anggur, tamu wanita tidak boleh.
5. Makanan penutup dan kudapan kecil hanya boleh dimakan menggunakan garpu, bukan sendok, dan tidak boleh dibantu pisau.
6. Seorang lady tidak boleh mengungkapkan isi pikirannya sendiri. Sekalipun ditanya, dia hanya boleh mengulang apa yang dikatakan pria.
7. Seorang lady tidak boleh mengumpat. Tidak boleh berbicara, apalagi tertawa dengan suara lantang. Dan jelas tidak boleh membersit hidung keras-keras seperti gajah bersin.
8. Seorang lady tidak boleh berterima kasih pada pelayan. Seperti kata Countess, “Kau tidak perlu berterima kasih kepada pelayan sama seperti kau tidak perlu berterima kasih kepada kuda karena membiarkanmu menungganginya, atau meja karena sudah menampung piring yang diletakkan di atasnya.”
9. Seorang lady tidak boleh menyebut anggota tubuhnya pada lawan jenis. Bilang “perut” pun tabu lho!
10. Seorang lady tidak boleh terlibat akitvitas fisik di luar ruangan seperti memainkan permainan rounders (semacam permainan kasti), apalagi berlari-lari dalam pakaian dalam dengan alasan susah berlari sambil memakai rok!
So, how lady are you? :)
(Disebarkan oleh Dharma. Desember 2008)
Posted by editor at 12:17 AM 4 comments
Labels: Pernik
Tuesday, December 9, 2008
Mau Jadi Penulis? Jadilah Pembaca
Maka kami membahas buku yang ingin dia tulis tersebut, yang adalah buku kumpulan resep. Dalam bayangannya, dia ingin membuat buku hard cover ukuran besar, dan memuat sekitar 100 resep. Tapi dia ingin menujukan buku tersebut bagi ibu-ibu muda yang baru menikah dan belajar masak.
Waduh, saya langsung menebak bahwa sahabat saya ini kurang mengenal target market-nya. Sekarang bayangkan dulu buku hard cover berukuran besar yang luks, isinya 100 resep sehingga tentu cukup tebal. Bayangkan harganya. Saya taksir harganya mungkin sekitar Rp100.000.
Setelahnya bayangkan ibu muda yang baru belajar masak. Buku macam apa yang akan dia beli? Mungkin buku tipis yang bisa dilipat dan dibawa ke dapurnya untuk disandarkan di dinding, tempat dia bisa membaca langkah demi langkah memasak yang harus dia lakukan. Mungkin buku yang spesifik membahas jenis masakan tertentu seperti masakan sayuran, masakan ayam, atau masakan sea food. Dan karena dia ibu muda yang mungkin baru menikah dan mungkin keuangan keluarganya belum stabil, maka saya rasa dia akan memilih membeli buku masak yang range harganya sekitar Rp15.000-30.000.
Sekarang apa hubungannya ilustrasi ini dengan judul posting di atas? Kembali ke pemikiran saya bahwa sahabat saya itu tidak mengenal target market-nya. Menurut saya, setiap pengarang harus mengerti target tulisannya. Pengarang novel remaja mesti mengenal dunia remaja. Pengarang novel percintaan harus kenal dunia ibu-ibu atau perempuan dewasa muda yang banyak membeli jenis novel begitu. Pengarang travel writings harus tahu kesukaan para backpacker. Dan sebagainya.
Sebelum mulai menulis, sebaiknya seorang penulis menempatkan diri atau membayangkan dirinya menjadi pembaca buku yang akan ditulisnya itu. Atau okelah, kalau terlalu lama membayang-bayangkan nanti ide tulisannya lenyap. Jadi, oke, buatlah dulu tulisan itu. Tumpahkanlah dulu semua keluar. Setelahnya, sebelum minta pendapat orang terdekat (bukankah pembaca pertama selalu orang-orang terdekat?), coba bayangkan diri kamu jadi pembacanya. Bukan sebagai diri kamu—kamu harus keluar dari diri kamu, harus jadi orang lain (karena pengarang kadang tidak bisa melihat lubang-lubang pada tulisannya sendiri). Bayangkan diri kamu ada di toko buku dan melihat buku karya kamu itu sudah terbit dan dipajang di rak. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan mengambilnya? Membaca sinopsisnya? Atau... melewatinya begitu saja?
Kalau kira-kira yang terjadi yang terakhir, waks! Pahitnya, lebih baik kamu simpan saja naskah itu. Tapi yang lumayan asem saja, yah, kamu jadi bisa melontarkan pertanyaan, kenapa kira-kira naskah itu jadi naskah yang dilewati? Dari situ mungkin kamu bisa memperbaikinya.
Dari sudut pandang pembaca/pembeli buku, kamu bisa mendapat poin-poin penting bagi naskah kamu. Kamu bisa menelaah ulang apakah tema yang kamu angkat dalam tulisan kamu cukup menarik? Apakah pembaca mendapat keuntungan tertentu setelah membaca karya kamu (tambahan pengetahuan atau kepuasan)? Apakah cover yang kamu bayangkan cukup eye-catching untuk bersaing dengan ribuan atau bahkan jutaan buku lain di toko buku? Apakah sinopsis yang kamu rancang bisa menarik perhatian calon pembaca sehingga mau membeli buku kamu? Bahkan sampai ke hal-hal praktis seperti apakah buku ini nanti akan terlalu tebal sehingga pembaca malas mulai membacanya (meskipun Twilight Saga sudah begitu ngetop, salah satu teman tetap malas membacanya karena melihat ketebalannya), apakah kamu bisa minta pada penerbit untuk men-setting ukuran khusus sehingga buku kamu gampang dibawa-bawa oleh pembaca? Atau apakah kamu bisa minta jenis kertas khusus sehingga buku kamu ringan bila dibawa atau harganya bisa lebih murah?
Semua ini akan lebih membantu kamu saat mencipta. Kamu jadi punya bayangan yang utuh akan karya akan akan kamu ciptakan, dalam bahasan ini adalah buku yang kamu karang. Kalau kamu punya gambaran yang utuh, kamu akan lebih semangat mengerjakan naskah kamu, dan naskah kamu juga akan lebih mudah tembus ke penerbit. Jadilah pembaca pertama naskah kamu sendiri, bayangkan kekurangan dan kelebihannya, dan selamat berkarya!
(Disebarkan Oleh Donna)
Posted by editor at 5:53 PM 4 comments
Labels: Tips
Thursday, December 4, 2008
Kalender Raksasa Dengan 365 Jendela
Buku kalender dengan 365 jendela. Setiap hari, satu jendela. Bukan hanya untuk dibaca, buku ini juga bisa digantung di kamar sehingga setiap pagi kamu bisa membuka jendela baru.
Setiap hari ada kejutan baru: gambar dan syair lucu dari Januari sampai Desember. Setiap bulan memiliki tema yang berbeda supaya kita dapat mengungkap rahasia musim-musim sepanjang tahun bersama tokoh-tokoh lucu ciptaan Tony Wolf.
Intip isinya:
(Disebarkan oleh Dini. Desember 2008)
Posted by editor at 8:03 PM 2 comments
Labels: Ulasan
Tuesday, December 2, 2008
Kenapa GPU Menerbitkan Twilight?
Hm, itu pertanyaan yang punya jawaban menarik.
Saya mau buka cerita sedikit nih tentang proses pengambilan keputusan GPU menerbitkan Twilight-Stephenie Meyer. Selama hampir sembilan tahun saya bekerja di GPU, Twilight adalah buku yang setahu saya diambil rights-nya berdasarkan dorongan hati dan emosi. Kenapa? Novel ini diambil rights-nya semata-mata karena editor-editor yang membacanya “jatuh cinta” pada Edward.
Dua editor GPU membacanya pada saat yang nyaris bersamaan, dan belum selesai buku itu dibaca, keduanya langsung memutuskan untuk mengambil hak terjemahan buku ini dengan alasan, “Ya ampunnnn, buku ini keren banget. Nggak tahan gue sama Edward-nya. Aduhhhh.... Romantis bangeeeet.” (yeah, yeah, kami semua jadi lembek seperti tahu dan berubah jadi abege lagi bila membahas Twilight, dan yeah saya salah satu editor itu.)
Setelah buku ini diambil rights-nya, dari editor, buku ini berpindah ke tangan sekretaris dan marketing, dan semuanya kelepek-kelepek kelenger pada kisah cinta Edward dan Bella. Tidak kurang dari tiga bulan sejak buku ini “diributkan” di kantor, sebagian besar perempuan berusia 25-45 tahun di kantor telah membacanya, bahkan pernah menjadi bahan obrolan di rapat redaksi. (Cowok-cowok itu nggak ngerti kenapa cewek-cewek di kantor seperti kalap setiap kali bicara soal Twilight). Mata kami berbinar dan kata-kata seperti, “Uhhh”, “Ahhh” mengiringi penggambaran sosok Edward.
Sewaktu GPU mengambil hak terjemahan novel ini pada pertengahan tahun 2007, Twilight ini merupakan novel yang “tidak dilirik” oleh penerbit-penerbit lain di Indonesia, (untunglah :p). Padahal buku ini sebenarnya bukan buku baru. Twilight pertama kali terbit tahun 2005 dan menjadi fenomenal mulai akhir tahun 2007 ketika jutaan pembaca menanti-nantikan lanjutan buku ketiganya, Eclipse. Gejala ledakan Twilight ini sebenarnya sudah terasa pada Frankfurt Book Fair 2007, walaupun ketika itu tampilan buku fiksi yang meraksasa adalah Golden Compass-nya Philip Pullman. Baru pada awal tahun 2008, serbuan demam Twilight meledak dan menyebar ke seluruh dunia, terutama ketika berita tentang filmnya makin menghebohkan. Dan tidak ketinggalan pula di Indonesia yang terjangkit demam Edward ketika Twilight diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada Februari 2008.
Demam novel ini tidak cuma menjangkiti remaja dan dibahas dalam majalah-majalah ABG, berbagai majalah wanita dewasa tidak ketinggalan mengulas habis Twilight ini. Tidak hanya anak-anak ABG yang jadi penggila seri ini, tapi wanita dewasa, ibu-ibu, bahkan Barack Obama juga membacanya.
Kini selama tahun 2008, oplah cetak Twilight sudah hampir mencapai angka 50.000 eksemplar, dan hampir sebulan sekali cetak ulang. New Moon (Dua Cinta) sudah mencapai oplah 35.000 eksemplar. Bahkan cetakan pertama buku ketiganya, Eclipse (Gerhana) langsung dicetak sebanyak 12.000 eksemplar pada cetakan pertamanya untuk memenuhi permintaan toko buku, dan kini sudah memasuki cetakan keempat. Diprediksi pada tahun 2009, Twilight Saga ini masih akan menguasai toko buku Indonesia dengan terbitnya Breaking Dawn. Angka yang lumayan kan, berdasarkan keputusan impulsif yang cewek banget?
(Disebarkan oleh Hetih. Desember 2008)
Posted by editor at 12:03 AM 8 comments
Labels: Pernik
Sunday, November 30, 2008
Bagaimana Mengirim Naskah yang Menarik Perhatian Editor?
Oke, mari kita bahas persyaratan umumnya:
1.naskah novel remaja panjangnya sekitar 100-150 halaman, novel dewasa 150-200 halaman
2.ukuran kertas A4
3.ketik komputer rapi dengan spasi 1,5
4.jenis font yang mudah dibaca, misalnya Times New Roman ukuran 12
5.sertakan data diri
6.sertakan sinopsis
7.kirim ke alamat redaksi fiksi GPU yang ada di sampul belakang tiap novelnya
Tapi pukul rata setiap bulan kira-kira ada sekitar 100 naskah yang masuk ke meja sekretariat redaksi. Kalau semuanya—termasuk naskah kamu—berukuran A4, ketik 1.5 spasi, dengan jenis font tersebut di atas, bagaimana mencuri perhatian editor?
Jawabannya jadilah kreatif. Kamu bisa mengirim naskah kamu dalam amplop khusus. Atau kamu bisa menjilid naskah kamu dengan rapi, bukan sekadar dengan lakban hitam. Kamu juga bisa menyertakan desain cover yang lucu. Selain itu tidak usah terpaku pada jenis font yang dianjurkan. Sebenarnya yang dianjurkan adalah font yang enak dibaca, dan font yang enak dibaca bukan hanya Times New Roman ukuran 12 poin.
Tapi bila menjilid dengan ring besi rasanya terlalu mahal, atau mencetak cover desain pribadi terlalu rumit, apa yang bisa kamu lakukan? Sederhana saja sebetulnya. Jadilah penulis yang rapi. Kirimkan naskah yang bersih dari kesalahan ejaan. Bila saat kamu periksa ulang hasil cetakan ternyata masih ada kesalahan, jangan di-tip-ex lalu diperbaiki dengan tulisan tangan, tapi print ulang halaman tersebut. Gunakan printer dengan tinta memadai sehingga hasil cetakannya tegas dan bersih, enak dilihat. Susun semua kelengkapan dengan runut dan rapi. Misalnya, data diri, sinopsis, baru kemudian masuk ke isi novel.
Bila mendesain dan menghias memang bukan sisi kuatmu (tentu saja kalau bisa mendesain, kamu jadi desainer grafis, bukan pengarang), gunakan yang memang menjadi bakatmu untuk mencuri perhatian editor. Tulislah data diri kamu semenarik mungkin. Saya pernah membaca curriculum vitae yang dibuat seolah si penulisnya sedang menjadi terdakwa di pengadilan—kreatif dan menarik sekali, kan? Kadang data diri yang lucu dan menarik (sebutkan saja semua pengalaman kamu terutama yang mendukung novel kamu) sudah membuat “a foot in the door” bagi novel kamu.
Selanjutnya tentu saja sinopsis. Sinopsis pendek sangat penting. Panjangnya sekitar setengah halaman atau 3-5 alinea saja. Buatlah semenarik mungkin. Tokoh-tokoh dan poin-poin penting cerita harus ada. Tunjukkan di mana serunya novel kamu. Saat menulis sinopsis pendek ini, bayangkan si pembaca ada di toko buku yang hiruk-pikuk dengan pilihan beragam buku. Bagaimana cara kamu menariknya untuk membeli buku kamu?
Lalu karena kiriman naskah ini ditujukan untuk dibaca editor, ada baiknya juga kamu sertakan sinopsis panjang. Sinopsis panjang ini isinya lebih mendetail, menguraikan seluruh alur cerita, dan membeberkan rahasianya, tapi panjangnya jangan lebih dari 3 halaman. Jangan membuat si editor belum-belum sudah bosan dengan tulisan yang berpanjang-panjang.
Dan akhirnya, menginjak bagian yang paling penting: naskah. Bila kamu sudah melakukan saran saya di atas, yaitu mengirimkan naskah yang “bersih”, maka secara sekilas tampilan naskah kamu pasti sudah lumayan enak dilihat. Selanjutnya, harap kamu perhatikan bahwa novel biasa menggunakan indent paragraph, bukan hanging. Perhatikan juga kebiasaan penerbit tujuan kamu dalam hal ejaan, bahasa selingkung, gaya penulisan percakapan, dll. Bila kamu sanggup, terapkan gaya penerbit tersebut pada naskah kamu.
Editor pasti lebih senang menilai naskah yang bersih dan menarik, dan dengan begitu tentu saja kans tembusnya naskah kamu untuk diterbitkan jadi lebih besar.
(Disebarkan oleh Donna. Desember 2008)
Posted by editor at 7:05 PM 2 comments
Labels: Tips
Pemenang Lomba Review Novel Grafis
Halo semua,
Berikut ini adalah nama-nama blogger pemenang lomba review Novel Grafis terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Tiga pemenang yang mendapatkan paket buku @Rp.250.000,- dari Gramedia Pustaka Utama adalah:
http://nocturno.multiply.com/reviews/item/91/Embroideries_Marjane_Satrapi
http://bacaan-ally.blogspot.com/2008/11/embroideries.html
http://halamanganjil.blogspot.com/2008/09/cinta-di-balik-jeruji-oleh-septina.html
http://harahope.multiply.com/reviews/item/24
Selamat kepada para pemenang. Terima kasih atas partisipasi teman-teman yang lain. Nantikan lomba review lain di blog ini... :)
(Disebarkan oleh Hetih. Desember 2008)
Posted by editor at 6:52 PM 0 comments
Labels: Lomba Resensi, Pemenang
Wednesday, November 26, 2008
Buku Unggulan Desember 2008
Hening (Silence) – Shusaku Endo
Novel ini mengambil setting di Jepang pada abad ke 17, pada periode Edo. Yesuit Portugis, Sebastian Rodrigues, dikirim ke Jepang untuk mencari tahu keadaan mantan gurunya, Ferreira, yang konon dikabarkan telah murtad karena tidak tahan menanggung siksaan. Pada masa itu di Jepang penganut dan penyebar agama Kristen diburu, dipaksa murtad, dan dibunuh oleh penguasa.
Sesampainya di Jepang, Rodrigues harus bertahan hidup dalam kondisi yang serba minim. Dia kekurangan makanan dan nyaris tak punya tempat tinggal, itu pun masih ditambah dengan orang-orang yang tidak segan mengkhianatinya demi memperoleh imbalan. Kemudian Rodrigues pun tertangkap dan harus menjalani siksaan. Hingga Rodrigues bertanya jikalau Tuhan yang selama ini dianggapnya sumber kasih kenapa Dia bungkam dan hening, tidak berbuat apa-apa.
Pada akhirnya, pertanyaan yang utama adalah: Sanggupkah manusia mempertahankan keyakinannya di tengah masa-masa penuh penganiayaan? Dan benarkah Tuhan hanya diam berpangku tangan melihat penderitaan?
Kutipan Favorit:
Dosa bukanlah apa yang biasanya dikira orang, pikirnya; dosa bukanlah karena mencuri dan berbohong. Dosa adalah kalau orang menginjak-injak kehidupan orang lain secara brutal dan sama sekali tidak peduli akan luka-luka yang ditimbulkannya. (hal. 145)
Kristus Tuhan: Jalan Menuju Kana - Anne Rice
O Tuhan, Allah yang Esa, Allah Tritunggal, apa pun yang telah kukatakan di dalam buku-buku ini berasal dari-Mu, kiranya orang-orang kepunyaan-Mu mengakuinya. Apa pun yang berasal dariku, biarlah Engkau dan orang-orang kepunyaan-Mu sudi mengampuninya.
St. Agustinus.
Anne Rice sudah menulis kisah tentang vampir bahkan ketika Stephenie Meyer masih duduk di TK. The Vampire Chronicles-nya yang legendaris telah membubungkan nama Anne Rice menjadi novelis dalam konsep vampir yang radikal. Hingga saat ini buku-bukunya terjual lebih dari 100 juta eksemplar di seluruh dunia.
Pada tahun 2004, Anne Rice kembali ke iman Katolik-nya yang sudah lama dia tinggalkan. Kini dalam usia 67 tahun, Anne Rice menerbitkan novel kedua Christ the Lord: Jalan Menuju Kana.
Dalam buku pertama: Christ the Lord: Out of Egypt (Kristus Tuhan: Meninggalkan Mesir), Anne Rice mengisahkan masa kanak-kanak Yesus serta perjalanan meninggalkan Mesir bersama kaum keluarganya.
Dalam buku kedua ini: Kristus Tuhan: Jalan Menuju Kana, dikisahkan tentang Yesus yang telah dewasa, pada suatu musim dingin tak berhujan, berdebu, dan banyak desas-desus tentang kegelisahan yang mulai menggeliat di Yudea. Legenda tentang kelahirannya yang ajaib telah banyak dibicarakan orang, tetapi selama ini dia hidup sebagai manusia biasa di antara manusia. Mereka yang mengenalnya dan menyayanginya menunggu-nunggu pertanda tentang takdir yang akan dijalaninya kelak.
Dikisahkan pula bagaimana dia mendapatkan pembaptisan dari Yohanes, konfrontasinya dengan Iblis, dan mukjizat mengubah air menjadi anggur dalam pesta perkawinan di Kana. Dan sebagaimana buku terdahulu, Jalan Menuju Kana juga didasarkan pada Injil serta Perjanjian Baru. Kekuatan buku ini bersumber dari semangat yang dibawa sang pengarang dalam penulisannya dan bagaimana ia memunculkan suara, keberadaan, dan kata-kata Yesus yang menceritakan kisahnya.
Dua penulis ini. Shusaku Endo dan Anne Rice, adalah penulis-penulis yang pulang ke iman awal mereka. Anne Rice dibaptis sejak lahir dalam keluarga Irlandia Katolik yang taat. Shusaku Endo dibaptis menjadi Katolik semasa kanak-kanak. Ibaratnya, mereka memiliki agama yang siap pakai. Namun seiring bertambahnya usia, mereka mulai mempertanyakan iman mereka
Pada masa kuliah Anne Rice meninggalkan agamanya, dan menjadi atheis. Baru pada tahun 2004, Anne Rice bertobat dan kembali memeluk agama Katolik. Berkali-kali Shusaku Endo merasa ingin menyingkirkan ke-Katolik-annya, tapi pada akhirnya dia tidak sanggup.
Melalui medium novel, Shusaku Endo dan Anne Rice menuliskan kisah spektakuler tentang cinta mereka pada Tuhan dan agama yang setelah melewati pencarian dan perjalanan panjang akhirnya membawa mereka sampai ke rumah. Perjalanan pulang yang mendamaikan diri serta kembali ke ke-Katolik-an mereka.
Twilight - Stephenie Meyer
Aduh, novel ini sih udah nggak usah diceritain lagi kali yaaa?
Tapi senang aja melihat edisi khusus novel yang dicetak terbatas ini, secara ada foto-fotonya yang diambil dari film. Edward oh Edward deh pokoknya... Dan aku suka banget cover filmnya... pas banget buat jadi sampul novel. When you can live forever, what do you live for?< (Disebarkan oleh Hetih. November 2008)
Posted by editor at 10:13 PM 0 comments
Sunday, November 23, 2008
Porcupine: Jadi Kakak Pemberani
Misalnya keluarga, orang-orang yang harus menderita ketika orang yang mereka sayang nggak bisa pulang lagi. Itu baru buat tentara-tentara yang harus dikirim untuk berperang. Belum lagi penduduk di daerah perangnya.
Nah, kali ini gue bukan nonton film perang, tapi baca buku yang menceritakan kisah yang sering kali cuma dijadikan latar belakang, padahal ini penting banget. Apa yang terjadi pada sebuah keluarga ketika kepala keluarganya harus pergi atas nama tugas.
Sebetulnya ini buku anak-anak, atau lebih tepatnya buku remaja, karena buku ini dikategorikan sebagai teenlit. Meski begitu, Menjadi Kakak (judul aslinya Porcupine) bukan jenis buku yang bisa dibaca sekilas, cepat-cepat, terburu-buru---setidaknya buat gue. Tokoh utamanya Jack Cooper, anak cewek umur 12 tahun pada awal cerita dan berulang tahun ke-13 pada bagian-bagian akhir buku.
Awalnya diceritakan kejadian-kejadian normal di rumah keluarga Cooper. Dengan Jack, yang nama aslinya Jacqueline, yang tomboi dan punya dua adik, Tessa dan Simon. Jack ini tipikalnya daddy’s girl yang jago berantem, nggak ribet, mahir pake alat-alat pertukangan, pokoknya tipe-tipe anak cewek tough deh. Kebalikan banget sama Tessa yang girlie banget dan jadi mommy’s girl, lengkap dengan sepatu-sepatu bagus dan kepangan cantik. Sedangkan Simon anak cowok bungsu yang jago banget main Lego.
Nggak berapa lama, Mr. Cooper harus bertugas ke Afghanistan, dia bukan pergi untuk berperang, tapi jadi tentara penjaga perdamaian PBB. Tapi waktu Mr. Cooper pamitan, ada satu hal yang nggak biasa. Diam-diam, ayah Jack menitipkan arlojinya pada Jack sambil berbisik, “Keep it safe for me.” Mr. Cooper juga sempat meminta Jack untuk menjaga ibu dan adik-adiknya.
Meskipun pergi “cuma”sebagai tentara penjaga perdamaian, hasil akhirnya sama: Mr. Cooper meninggal, gara-gara friendly fire. Dan kehidupan keluarga Cooper langsung berubah drastis. Mrs. Cooper ternyata nggak kuat menghadapi perubahan ini dan menutup diri.
Sampai akhirnya anak-anak harus tinggal dengan nenek buyut mereka (Gran) di kota lain. Padahal Gran sama sekali nggak menyetujui pernikahan ibu dan ayah mereka dulu. Bisa dibayangkan gimana jadinya, kan? Jack harus berusaha keras menyesuaikan diri dengan segala macam perubahan di sekelilingnya, sekaligus membantu adik-adiknya memahami semua perubahan itu.
Jack yang sering kesal sama Tessa akhirnya “berdamai” ketika Tessa berusaha kabur dari rumah Gran. Sekesal-kesalnya Jack, dia tahu mereka bertiga nggak boleh terpisah. Sampai akhirnya, sejak malam itu Jack mulai menambahkan Tessa dalam doa-doanya: And ever since Tessa ran away, I’ve started adding her in my prayers, too. I never did before, because I didn’t know she needed it, but I do now, and I think it helps. Dengan kata-kata sesederhana itu, Meg Tilly---sang penulis---berhasil nunjukin gimana Jack maju selangkah lagi.
Yang pasti, kita nggak perlu balik jadi anak kecil buat bisa merasakan apa yang dirasakan Jack---dan belajar banyak dari Jack. Gimana Jack begitu bahagia ketika suatu malam mimpi ketemu ayahnya, betapa marahnya Jack ketika kaca arloji ayahnya retak waktu dia ngebela Simon yang dikeroyok, gimana kesalnya Jack pada Tessa karena adiknya itu kadang suka egois, atau gimana Jack berusaha banget untuk jadi anak yang tangguh dan nggak pernah mengeluh. Gimana Jack berusaha berani menghadapi hidup.
Menjadi Kakak sebetulnya buku buat semua orang, segala usia. Buku ini ngingetin gue tentang banyak hal, terutama tentang keluarga, what it really means to be a family. Waktu ada beberapa tetangga yang manas-manasin Gran untuk menjual tanahnya dan nggak ngurus cucu-cucunya lagi, melaporkan bahwa Jack nonjok anak cowok di sekolah sampai hidung anak itu retak (waktu Jack membela Simon) dan nyebut Jack sebagai “hooligan”, Gran cuma ngomong gini: “They’re good kids. And I won’t have anybody saying otherwise. Is that clear?” Sederhana banget, kan? Tapi kata-kata sederhana ini punya arti sangat besar buat Jack yang saat itu lagi nguping di ujung tangga. Hihihi… jadi inget kelakuan gue dulu, nguping, mondar-mandir nggak jelas pas ada tamu… siapa tahu lagi ngomongin gue.
Buku ini nunjukin lagi bahwa di balik cerita-cerita perang yang gue suka itu ada cerita lain. Bahwa behind a good story lies great stories. Tapi yang paling penting, lewat buku ini gue jadi tahu bahwa even a porcupine could be petted! You just have to know how….
(Disebarkan oleh Nina. Oktober 2008)
Posted by editor at 5:50 PM 0 comments
Friday, November 21, 2008
Petualangan Tintin: Permata Castafiore
Selain itu, dalam buku ini Hergé juga sebetulnya mengungkapkan banyak hal yang betul-betul terjadi dalam kehidupannya sendiri. Misalnya keinginannya untuk beristirahat di rumah, seperti yang diutarakan Kapten Haddock. Tuan Bolt (Boullu, dalam edisi Prancis) si tukang bangunan sebetulnya juga ada di kehidupan nyata, dan seperti di buku ini, orang itu juga sama susahnya dipanggil.
Kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Tristan Bior, perancang favorit Bianca Castafiore, sebetulnya adalah plesetan dari Christian Dior, perancang busana terkenal dari Prancis. Dan Bianca Castafiore sendiri jelas menggambarkan Maria Callas, penyanyi opera terkenal.
Untuk para pembaca yang teliti, Hergé memberi petunjuk tentang salah satu buku favoritnya. Di halaman 43, tampak Tintin sedang membaca buku Treasure Island karangan R.L. Stevenson, yang bersama Robinson Crusoe (Defoe) dan The Three Musketeers termasuk dalam sepuluh buku yang paling disukainya.
Karena bersimpati pada kaum gipsi, Hergé tadinya ingin lebih fokus pada kelompok minoritas ini. Dalam beberapa dialog di buku ini, kita bisa melihat bagaimana perasaan Hergé terhadap mereka. Misalnya Kapten Haddock, yang mengizinkan para gipsi berkemah di halaman Puri Moulinsart, juga Tintin yang membela mereka di hadapan Dupondt. Hergé menuangkan keahliannya menggambar pada panel yang menunjukkan rombongan gipsi sedang berkumpul di depan api unggun sambil bermain musik. Settingnya, diterangi sinar bulan purnama dan cahaya api unggun, sangatlah indah.
Kalau dalam Tintin di Tibet kita hanya sedikit melihat Profesor Lakmus, di Permata Castafiore ini kita bisa melihat bagaimana si profesor jenius itu menampilkan temuan terbarunya: televisi berwarna, benda yang ketika kisah ini pertama kali diterbitkan, sama sekali belum dikenal publik. Kita juga melihat bagaimana Lakmus jatuh cinta pada Bianca Castafiore, sampai mengabadikan nama penyanyi itu menjadi nama mawar ciptaannya.
Biarpun Permata Castafiore menarik dari segi cerita, ternyata buku ini kurang populer. Sepertinya para pembaca lebih suka "ramuan" kisah petualangan Tintin yang biasa, yaitu petualangan ke berbagai tempat dan adanya para "bandit". Karena itulah, Hergé kembali ke ramuan lama ini di dua kisah petualangan Tintin selanjutnya: Penerbangan 714 ke Sydney dan Tintin dan Picaros.
Sumber: Tintin The Complete Companion (Michael Farr)
(disebarkan oleh Dini)
Posted by editor at 12:52 AM 0 comments
Monday, November 17, 2008
I Love to Quote
Gue punya kebiasaan mengumpulkan kutipan-kutipan dari berbagai buku. Udah lupa juga sih sejak kapan kebiasaan ini dimulai. Dan masih berlanjut sampai sekarang. Kadang ada kutipan yang sifatnya laten, sampai sekarang masih suka diselipkan di sela-sela diskusi. Ada juga yang berlalu begitu aja, yang ‘rasa’nya hanya kena sewaktu masih membaca buku bersangkutan, tapi tidak berapa lama setelah bukunya selesai, tamat juga riwayat si kutipan.
Ternyata emang agak tricky juga memilih kutipan itu, tapi lama-lama makin jagolah, memilih mana yang memang bisa memperkaya dan mana yang nggak. Sayangnya, gara-gara tidak terorganisir dan agak sembrono, banyak kutipan gue yang hilang. Karena gue menulis kutipan itu di mana aja, kertas bekas bon, diktat kuliahan, notes punya temen, notes punya sendiri, kadang-kadang di HP. Dan biasanya gue lupa menyalinnya di My Quotation Book (MQB), terus kertasnya terbuang entah ke mana.
Yeah, I know, payah memang. Habis mau gimana lagi, karena dulu itu gue selalu membawa buku ke mana-mana, di mana pun gue bisa baca. Lagi nunggu giliran di dokter gigi, nunggu bus, di warung, di waktu jeda antar kuliah, di rumah sambil tiduran, di mana aja dan dalam kondisi apa pun. Dan ketika menemukan kalimat menarik, pasti ada dorongan untuk menuliskannya, terutama karena zaman itu gue lebih sering meminjam buku daripada membelinya. Daripada kutipan canggih itu hilang begitu saja seiring dengan dikembalikannya si buku pada yang punya, mendingan gue catat dulu gimana pun caranya. Tapi yah, kadang kita hanya bisa berharap, kutipan yangg gue kumpulin teteup aja raib entah ke mana. Sekarang, dengan hidup gue yang sudah agak lebih disiplin (terima kasih pada setengah delapan sampai setengah lima jam kerja dari Senin sampai Jumat), bahkan kutipan-kutipan di kertas mana pun itu udah rutin gue salin di MQB.
Terus kenapa gue suka ngutip? Well, terkadang ketika membaca sesuatu dan tubuh kita menimbulkan reaksi tertentu, ada kemungkinan kalimat yang kita baca memiliki makna yang dalam. Memang pasti subjektif sih, kondisi emosional seseorang pada saat dia membaca pun akan sangat memengaruhi penilaian mengenai apakah kutipan ini memiliki makna mendalam yang universal atau tidak. Bahkan jenis kelamin pun punya andil yang nggak sedikit untuk menentukan pilihan kutipan.
Kadang-kadang gue juga suka mikir, kenapa sih bukan gue aja yang membuat sesuatu lalu dikutip orang lain. Suka iri sama penulis-penulis lama (lamaaaa… banget), karena mereka lebih dahulu hidup dan lebih dahulu mengeluarkan pemikirannya menjadi bentuk tertulis, hehehe… Pernah nggak kamu memikirkan sesuatu yang kamu rasa itu pemikiran kamu yang paling brilian, tapi kemudian kamu menemukan bahwa pemikiran kamu itu sudah ada yang lebih dulu memikirkannya, bahkan sudah dituliskan? Damn, buku yang gue baca itu dicetak tahun 1910!!! Hahaha….
Luckily, pekerjaan gue yang sebagai editor ini membuat gue bisa mengumpulkan lebih banyak kutipan daripada biasanya. Gimana nggak, tiap beres ngedit Harlequin pasti cari kutipan untuk bagian belakang pembatas buku. Belum kutipan-kutipan dari berbagai buku lain. Whoa… buku kutipan gue itu jadi cepat penuh.
Kemarin-kemarin sempet baca proof novel Jodi Picoult berjudul Vanishing Act/Hati yang Hilang. Man, euh… gue mesti bilang apa ya. Gue cinta Paulo Coelho, apalagi Sang Alkemis. Gue juga mengutip dari buku itu, gue lupa apa tepatnya, tapi sesuatu yang bunyinya seperti ini: Ketika kau menginginkan sesuatu, maka seluruh alam raya akan membantumu (ini termasuk kutipan yang kertasnya ilang, =D). Dan itu tuh laten banget, terutama dengan my side job sebagai ‘tong sampah’, itu kalimat juara untuk memotivasi teman-teman gue yang lagi terpuruk. Terus, ketika gue baca Vanishing Act, gue selingkuh, hahaha… Nggak, nggak, bukan selingkuh, gue poliandri! Apa boleh buat, Coelho emang canggih dan akan tetap canggih. Tapi Picoult lagi nempel di hati nih.
Jadi, di Hati yang Hilang, Picoult cerita tentang anak yang hilang, terus yang menarik adalah ketika salah seorang tokohnya menggambarkan dirinya, seorang ibu yang mengandung selama sembilan lalu melahirkan bayinya, dia mengatakan “ketika kau mendapatkannya kau tidak menyadari bahwa sebenarnya kau kehilangan dirinya”. Iya, bayangin deh selama sembilan bulan kamu dan bayimu selalu bersama-sama, ketika kamu mendapatkan bayimu di tanganmu (aka. melahirkan) sebenarnya kamu kehilangan dia karena dia tidak lagi menjadi bagian darimu dan suatu saat dia akan menghadapi dunianya sendiri. Aduh, pusing… tapi begitulah, semoga mengerti maksud gue.
Ibu Picoult ini jago banget deh bikin analogi-analogi keren, dan tersebar di berbagai bagian dalam bukunya. Wittuwwiw… kamu harus baca sendiri, atau kapan-kapan kita bahas buku-bukunya Picoult di sini ya.
Wait… wait… sebagai penutup, gue mau kasih satu kutipan. Ini sebenernya kutipan dari film (yah, lu bisa mendapatkan kutipan dari mana pun, bukan?) tapi masih nyambung banget sama perbukuan, soalnya ini dari film Beatrix Potter. Gini nih: “There’s something delicious about writing the first few words of a story. You can never quite tell where they’ll take you. Mine took me here, where I belong.”
(Disebarkan oleh Rere. November 2008)
Posted by editor at 7:15 PM 1 comments
Labels: Pernik
Thursday, November 13, 2008
Everything’s Gonna Be All Right…
Arloji di tangan menunjukkan pukul 21.45 waktu setempat ketika saya dan Mbak Yanti keluar dari hotel. Setelah mencegat taksi dan sedikit berbahasa Tarzan sambil menunjuk-nunjuk kertas berisi alamat sebuah kelab malam, mobil pun melaju dengan kecepatan cukup tinggi.
Kami tiba di King Kamehameha Club tak sampai lima belas menit. Tepat waktu untuk menghadiri pesta perayaan 100 juta kopi terjualnya buku-buku karya Paulo Coelho di seluruh dunia. Ya, malam itu kami, bersama wartawan, penerbit, para sahabat dari industri perbukuan diundang penulis besar asal Brazil tersebut. Di dalam pesta itu, Paulo juga akan menerima penghargaan dari Guinness Book of Records 2009 sebagai penulis dengan satu buku yang paling banyak diterjemahkan di dunia (The Alchemist, 67 bahasa).
Kami baru saja hendak menitipkan jaket ketika sang penulis besar sendiri keluar dan berdiri di dekat pintu masuk untuk menyambut para tamunya. Ah, sial! batin saya. Andaikata kami ngaret dikit, tangan ini sudah berjabatan dengan salah satu penulis besar abad ini yang hidup dan tulisannya telah begitu banyak menyentuh dan menginspirasi para pembacanya. Mau keluar lagi buat ikut masuk barisan, rasanya konyol. Mau menyela barisan dari depan dan mencuri momen untuk foto bersama, takut membuat macet aliran tamu yang mulai berdatangan dan dipelototi Mr. Coelho dan Monica, sang agen. Apalagi kelakuan norak itu bakal terekam kamera para wartawan TV maupun media cetak yang terus stand by di sana. Alhasil, saya pun cuma bisa menjepret Mr. Coelho dari jarak satu meter (ah, so close and yet so far away!) dan terus menunggu di sana untuk mencari kesempatan nyelak yang tak pernah datang itu…
Akhirnya saya dan Mbak Yanti menyerah dan beranjak masuk. Kami disambut waitress muda dan cantik yang menawarkan wine. Kalau nggak ingat besok harus berseliweran di hall-hall Frankfurt Book Fair, ingin rasanya menerima tawaran si waitress. Kapan lagi dapat kesempatan dugem di Frankfurt? Hehehe. Jadilah kami menenggak (biar keren) Coca Cola sambil menikmati alunan suara merdu penyanyi cantik yang menyanyikan serangkaian lagu berbahasa Inggris dan Spanyol.
Kelab itu tidak terlalu besar. Terdiri atas dua lantai, di lantai bawah terdapat beberapa sofa di sepanjang salah satu sisi dinding, sementara di atas pengunjung hanya bisa berdiri sambil bersandar ke pagar pembatasnya yang terbuat dari kaca. Di atas beberapa meja di tengah ruangan terdapat beberapa booklet berjudul The Winner Stands Alone. Judul yang diambil dari karya terbaru Paulo Coelho (yang menurut info bakal terbit tahun depan), dengan gambar Mr. Coelho yang tampak ceria dalam kaus hitamnya. Di atas kepala terdapat dua layar besar yang terus-menerus menampilkan versi cover The Alchemist dari berbagai negara. Mata tidak boleh terpejam sedetik pun kalau mau menemukan cover versi GPU.
Semua sofa ternyata sudah di-reserved. Saya dan Mbak Yanti harus puas duduk bertengger di dekat undakan pendek menuju sofa-sofa tersebut. Lumayanlah. Setidaknya kami punya jarak pandang yang cukup enak ke panggung. Maklum, dengan tinggi cewek Asia yang tak seberapa, kami nggak bakal bisa melihat panggung kalau kaki menjejak lantai.
Tak lama kemudian Mr. Coelho melangkah masuk dan acara pun dimulai. Dibuka dengan penyerahan penghargaan oleh pihak Guinnes Book of Records, Paulo pun naik ke panggung dan disambut tepuk tangan meriah. Dengan rendah hati beliau menyampaikan bahwa pencapaiannya ini tak bisa disangkal merupakan hasil kerja keras dan kepercayaan Monica, sang agen, yang dua puluh tahun lalu menghampiri Paulo dan bertekad memperkenalkan karya-karya Paulo ke seluruh dunia. Perayaan malam itu pun dipersembahkan Paulo bagi Monica.
Kilatan blitz menyambar-nyambar sepanjang pembukaan acara. Termasuk blitz dari kamera saya, sebelum mendadak ngadat. Ah! Tangan menepuk jidat bibir berucap "bodoh!" Dengan segala kesibukan di Book Fair siang tadi, saya lupa men-charge baterai kamera saya! Pinjam baterai kamera Mbak Yanti ternyata beda bentuk. Mau mengoperasikannya tangan canggung karena tidak terbiasa dengan tombol-tombol yang berlainan. Sial, sial, sial! Lagi-lagi kesempatan mengabadikan peristiwa penting dalam dunia perbukuan ini batal. Bibir sudah maju beberapa senti dari asalnya yang memang tidak terlalu tipis.
Acara berlanjut dengan acara nyanyi-nyanyi. Teman baik Paulo, penyanyi Brazil Gilberto Gil menghangatkan suasana malam itu dengan menyanyikan lagu No Woman, No Cry. Suaranya empuk banget, reggae banget, pokoknya enak banget. Dan serunya, di tengah-tengah lagu, Paulo ikut bernyanyi! Suara penulis (yang belakangan saya baca memang pernah jadi rock star) itu nggak kalah bagusnya. Beberapa orang sudah mulai berjoget. Argh. Makin menyesali kebodohan diri. Kapan lagi, kapan lagi bisa melihat dan mendengar seorang Paulo Coelho bernyanyi secara live?
Tapi duo Paulo-Gilberto tidak membiarkan kekesalan saya berlarut-larut. Ketika musik makin rancak, kaki mulai diketuk-ketukkan ke lantai. Dan ketika mereka mengajak hadirin ikut mendendangkan "Everything's gonna be all right, no woman, no cry…" saya nggak tahan lagi. Badan ikut bergoyang dengan sendirinya dan mulut pun mulai ikut bernyanyi. Tanpa malu-malu seperti biasanya, tapi juga tetap menjaga diri supaya jangan sampai malu-maluin bos yang duduk di samping.
Akhirnya Paulo turun dari panggung dan beranjak bersama rombongannya ke ruang pribadi di kelab itu. Tamu lain masih melanjutkan dengan acara minum-minum dan obrolan santai. Jam 23.30. Saya dan Mbak Yanti tahu diri untuk pulang dan beristirahat, siap-siap untuk sederet appointment keesokan paginya. Kami berjalan keluar kelab dengan jaket tertutup rapat mengingat angin musim gugur yang makin menggigit. Sempat lama menunggu taksi di jalanan yang sangat lengang, tapi kegembiraan bisa ikut serta dalam perayaan Paulo Coelho lumayan membuat hati hangat.
Dan tiap kali pikiran saya mulai berniat menyesali diri lagi, saya langsung menghentikannya. Bagaimanapun juga, bukankah memori otak saya jauh melebihi kapasitas memory card kamera tercanggih sekalipun? Meski nggak ada foto kenang-kenangan saya bersama Paulo Coelho, saya cuma perlu memejamkan mata, maka rekaman suasana malam itu, semua kegembiraan dan kemeriahan malam itu, akan segera terputar kembali. Buktinya malam ini, tepat satu bulan setelah acara itu, saya masih bisa mendengar nyanyian Paulo yang agak-agak parau itu dengan sangat jelas: everything's gonna be all right…
(disebarkan oleh Dharma. November 2008)
Posted by editor at 7:33 PM 0 comments
Wednesday, November 12, 2008
Pemenang Adikarya Ikapi 2008
Dalam pembukaan Indonesia Book Fair 2008 tgl 12 November 2008 di JCC Senayan, Yayasan Adikarya IKAPI memberi penghargaan kepada buku-buku anak dan remaja. Dari 219 judul yang dikirimkan 22 penerbit, ketua juri yang dipimpin Djoko Lelono memutuskan pemenangnya sebagai berikut:
Kategori Buku Cerita Anak:
1. Bocah-bocah di Pagar karya Yuli Anita Bezari (Dar! Mizan)
2. Jojo Kucing Tinggal Di Mana? karya Koen Setyawan (Gramedia Pustaka Utama)
3. Jangan Bilang Siapa-siapa karya Clara Ng (Gramedia Pustaka Utama)
1. 100 Jam karya Amalia Suryani dan Andryan Suhardi (Gramedia Pustaka Utama)
2. Guruku Culun Sekali karya Galang L. (Femmeline / Grup Syaamil)
3. Love For Show karya Andi Eriawan (Gagas Media)
Ilustrator Buku Anak:
1. Iwan Darmawan pada Jojo Kucing Pakai Apa? (Gramedia Pustaka Utama)
2. Yudianto Rahardjo pada Apakah Kamu Bangau? (Gramedia Pustaka Utama)
3. Sutarjo pada Dalam Perut Ikan Paus (Remaja Rosdakarya)
(disebarkan oleh Hetih)
Posted by editor at 6:36 PM 0 comments
Labels: Peristiwa
Tuesday, November 11, 2008
Bosan Jadi Editor
Apa sih suka-dukanya menjadi editor? Pertanyaan tersebut mampir berkali-kali kepada saya. Sukanya? Wah, banyak, karena senang membaca, dengan sendirinya pekerjaan ini memberikan saya ruang sebanyak-banyaknya untuk membaca. Dukanya? Karena membaca sudah menjadi pekerjaan, kadang-kadang membaca sudah tidak lagi menjadi suatu kegiatan yang sifatnya menyenangkan.
Tapi duka semacam itu jarang terjadi. Selama delapan tahun menjadi editor, hanya dua kali saya mengalami editor's block kelas berat. Pernah suatu hari saya masuk kantor, menyalakan komputer, dan mendadak saya benci sekali membaca. Jadilah saya browsing internet dan menemukan kata-kata Nora Roberts yang menampar saya, "I don't have writer's block. I'm a profesional writer." Sebagaimana pekerjaan profesional lainnya, saya tidak bisa punya block.
Saya jadi merasa sedikit disindir oleh kalimat tersebut. Pekerjaan saya bukan lagi sekadar hobi membaca. Ya, benar, saya memulainya dengan kegemaran dan minat membaca, namun menjadi editor tidak semata-mata tentang membaca.
Editor menjadi bagian dari suatu sistem penerbitan yang besar. Ibarat restoran, editor adalah sous chef-nya. Ibarat rumah sakit, editor adalah perawatnya. Ibarat bisnis musik, editor adalah arrangernya.
Dulu, semasa saya kanak-kanak, saya selalu menyentuh buku dengan cara yang khidmat. Bagi saya, buku adalah cinta pertama. Saya membayangkan diri saya bisa menjadi bagian dari proses penerbitan buku tersebut. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, saya terkadang lupa saat sudah mencapai hal tersebut. Menggapai impian berbeda dengan hidup dalam impian tersebut.
Ini bukan komplain atau keluhan bahwa saya bosan jadi editor. Tapi untuk menunjukkan bahwa kadang-kadang dewa* pun ternyata manusia biasa.
Tapi rasa cinta saya terhadap buku dan membaca selalu mengalahkan rasa bosan yang terkadang muncul. Kecintaan tersebut kembali memanggil saya pulang setiap kali saya memalingkan kepala saya terhadap cinta pertama saya itu.
(Disebarkan oleh Hetih. November 2008)
*Kata Stephen King dalam On Writing, editor adalah dewa.
Posted by editor at 8:51 AM 1 comments
Labels: Pernik
Friday, November 7, 2008
Petualangan Tintin: LAUT MERAH
Petualangan Tintin: Laut Merah aslinya berjudul Coke en Stock. Buku yang pertama kali terbit tahun 1958 ini bisa dibilang merupakan ajang reuni banyak "bandit" serial Tintin. Ada Jenderal Alcazar (Si Kuping Belah), Emir Ben Kalish Ezab dan Abdallah (Tintin di Negeri Emas Hitam), Rastapopoulos dan Oliveira da Figueira (Cerutu sang Firaun), Allan (Kepiting Bercapit Emas), Dr. J.W. Müller (Pulau Hitam), bahkan Dawson (Lotus Biru).
Sejak awal kita sudah diajak terlibat dalam berbagai petualangan seru, dari perdagangan senjata, kudeta di Timur Tengah, sampai perdagangan budak. Inilah yang mendasari judul bahasa Prancis-nya, yang dalam pesan bersandi kisah ini diterjemahkan menjadi batu bara di kapal. Istilah ini mengacu ke orang-orang Afrika yang akan naik haji lewat laut tapi sebetulnya akan diperjualbelikan sebagai budak.
Hergé mengangkat topik perbudakan ini untuk membuktikan ia tidaklah rasis seperti yang dituduhkan orang karena Tintin di Congo. Namun niat baiknya berubah jadi bumerang. Empat tahun setelah buku Laut Merah terbit, ada artikel di Jeune Afrique yang menuduhnya rasis karena ia menggambarkan orang-orang Afrika di kisah ini menggunakan bahasa pidgin. Akhirnya Hergé merevisinya pada tahun 1967, memperbaiki tata bahasa orang-orang Afrika itu dan menggunakan cara Amerika yang mengurangi huruf dalam kata-kata, sehingga missié yang diprotes pun menjadi M'sieur.
Keseriusan Hergé menggarap karya-karyanya memang tidak usah diragukan lagi. Agar gambar kapal Ramona betul-betul akurat, ia dan Bob De Moor pulang-pergi dari Antwerp ke Gothenburg naik kapal. Penyelam yang akan memasang bom di kapal yang ditumpangi Tintin, Haddock, Milo, dan Szut juga dibuat berdasarkan foto penyelam Angkatan Laut Inggris yang bernama Lionel Crabb. Pria ini tidak pernah kembali dari misinya memeriksa lambung kapal Sovyet yang sedang berkunjung ke Inggris dan beberapa waktu kemudian tubuhnya yang sudah tak berkepala ditemukan terdampar di pantai.
Hal lain yang bisa kita lihat dalam buku ini adalah tingginya minat Hergé terhadap seni lukis. Di halaman 10 kita bisa melihat lukisan Le Canal du Loing karya Alfred Sisley, di halaman 36 ada lukisan Picasso, dan di halaman 51 tampak secuil lukisan Miro. Bahkan Senhor Oliveira da Figueira pun memasang lukisan dengan pigura indah yang tergantung miring di dinding rumahnya.
Akhirnya, di panel terakhir buku ini, kita bisa melihat Hergé sendiri. Dia muncul sebagai pria berjas hujan panjang di tengah jalan. Sedangkan Edgar-Pierre Jacobs tampak sebagai lelaki berdasi kupu-kupu dan berkacamata yang sedang mendengarkan musik dari radio.
Sumber: Tintin The Complete Companion (Michael Farr)
(Disebarkan oleh Dini. November 2008)
Posted by editor at 12:40 AM 0 comments
Tuesday, November 4, 2008
Penyelamat Kakakku (My Sister's Keeper) - Jodi Picoult
Aku berkenalan dengan My Sister's Keeper lewat temanku yang meneteskan air mata di kantor ketika mendapat tugas membaca proof buku ini. Karena penasaran akhirnya aku memutuskan membaca buku itu sendiri. Tidak lama setelah mulai membaca buku itu mataku berkaca-kaca dan, akhirnya, ikut meneteskan air mata dan menghabiskan berlembar-lembar tisu.
Buku ini sendiri berkisah tentang keluarga beranggotakan lima orang. Keluarga yang mungkin hanya akan menjadi keluarga "biasa" jika putri tertua keluarga itu tidak mengidap leukemia. Sebagian besar cerita tentang keluarga dengan anggota keluarga yang mengidap penyakit mematikan berfokus pada si penderita. Tapi tidak demikian dengan buku ini. Fokus cerita buku ini bukanlah Kate, si penderita leukemia, melainkan Anna, adik Kate.
Siapa sebenarnya Anna? Anna adalah anak yang lahir melalui prosedur bayi tabung. Anak yang dirancang secara genetik agar bisa menjadi penyelamat hidup kakaknya.
Kate baru berusia dua tahun ketika didiagnosis menderita APL---leukemia promielostik akut--- penyakit leukemia langka. Kate hanya punya satu harapan untuk selamat: donor allergenic---saudara yang sama sempurna. Dan ketika Brian, kakak Kate, ternyata tidak bisa menjadi donor,
orangtua Kate, Sara dan Brian, akhirnya memutuskan untuk memiliki anak lagi. Bukan sembarang anak, tapi anak yang diprogram agar bisa memiliki kecocokan sempurna dengan Kate.
Beberapa saat setelah kelahirannya, Anna sudah harus menyumbangkan darah dari tali pusatnya. Beberapa tahun kemudian dia tanpa henti menjadi donor leukosit, sel induk, atau umsum tulang setiap kali Kate membutuhkan. Meskipun tubuhnya sehat, Anna harus menjalani puluhan suntikan, transfusi darah, dan operasi. Setiap kali Kate di rumah sakit, Anna pasti akan ada di sana untuk menyediakan apa pun yang saat itu dibutuhkan Kate.
Sampai suatu ketika, pada usianya yang ketiga belas, Anna mulai mempertanyakan siapa dirinya dan tujuan hidupnya. Puncaknya, ketika diminta menyerahkan ginjalnya kepada sang kakak, Anna akhirnya menggugat orangtuanya untuk memperoleh hak atas tubuhnya sendiri.
Aku punya dua orang adik. Jika aku diminta mendonorkan sesuatu untuk adikku aku akan melakukannya tanpa pikir panjang. Aku yakin hampir semua orang akan melakukannya tanpa ragu. Lalu kenapa Anna merasa keberatan melakukannya? Apakah Anna sebegitu kejam hingga tega menjatuhkan vonis hukuman mati bagi kakaknya dengan menolak menjadi donor kakaknya lagi?
Anna sebenarnya bukanlah sedang mencari perhatian seperti yang dituduhkan ibunya. Dia sedang berteriak meminta bantuan karena tidak bisa mengenali siapa dirinya. Selamanya dia merasa hanya sebagai penolong Kate. Dia tidak merasa dirinya sebagai pribadi utuh. Dia selalu menjadi bagian Kate. Gadis yang merasa diinginkan hanya untuk menjadi alat yang bisa digunakan untuk menolong kakaknya. Anak yang merasa tak kasatmata hingga orangtuanya membutuhkan darah atau bagian tubuhnya yang lain untuk Kate. Gadis yang untuk sekali dalam hidupnya ingin diberi kesempatan untuk memilih. Semua itu akhirnya menjadi bagian alasan Anna meminta pengacara untuk mewakilinya mengajukan petisi hak atas kebebasan medis.
Sara, sang ibu, merasa ia tanpa ragu akan dengan sukarela menjadi donor untuk Kate. Ia menganggap Anna akan merasakan hal yang sama sehingga tidak pernah mempertanyakan kesediaan Anna untuk menjadi donor bagi Kate.
Biasanya pada prosedur-prosedur medis, dan pada banyak hal lain, orangtua diizinkan membuat keputusan bagi anak karena mereka dianggap melakukannya demi kepentingan si anak. Tapi bagaimana jika mereka dibutakan oleh kepentingan anak yang lain?
Bagaimana jika karena ingin menyelamatkan salah satu anaknya, anak yang lain menjadi korban? Bahkan meski tidak ada yang dikorbankan oleh keputusan itu, apa jaminan bahwa keputusan orangtua untuk anak merupakan keputusan yang terbaik? Hal inilah menurutku yang paling menarik dari buku ini. Betapa sebenarnya kita tak selalu bisa membedakan antara hitam dan putih dengan mudah. Atau juga antara benar dan salah. Bahkan ketika kita tahu itu tindakan yang benar, belum tentu itu tindakan yang baik. Ya, berusaha sekeras mungkin untuk menyelamatkan anak kita adalah tindakan yang benar, tapi apakah mengorbankan anak yang satunya lagi merupakan hal yang baik?
Selain ceritanya yang menurutku kompleks, gaya penceritaan buku ini juga unik. Buku ini diceritakan melalui sudut pandang tujuh orang. Jadi selain menceritakan Anna, buku ini juga menceritakan konflik yang dialami anggota keluarga Fitzgerald yang lain, juga pengacara dan wali ad litem Anna.
Buku ini sendiri sekarang sudah diangkat ke layar lebar. Aku tidak sabar untuk melihat akting Cameron Diaz yang akan memerankan Sara dalam film ini. Buat yang mau nonton juga, aku menyarankan untuk membaca bukunya dulu sebelum nonton. Buat yang udah nonton dan merasa filmnya kurang bagus, ingat: Don't judge a book by it's movie.
(Disebarkan oleh Dian. November 2008)
Posted by editor at 9:05 PM 1 comments
Labels: Ulasan
Kehidupan di Pintu Kulkas - Alice Kuipers
Ada banyak cara menulis kisah cinta. Salah satunya dengan pesan-pesan singkat yang ditempelkan di pintu kulkas. Singkat, padat, nyaris tak menyentuh kata-kata puitis dan indah yang biasanya menjadi salah satu instrumen setia dalam kisah cinta yang mengharu biru. Bahkan ada kalanya pesan itu hanya berupa daftar barang belanjaan yang mesti dibeli: susu, apel, wortel untuk Peter si kelinci, jus (kau boleh pilih rasa apa). Atau mungkin teriakan supaya si ibu tidak lupa meninggalkan uang saku. Dan yang lebih singkat lagi: “Mom, aku dapat A!”
Tapi toh kita bisa temukan juga jejak-jejak cinta di antara singkat dan bergegasnya kehidupan yang dikisahkan di pintu kulkas itu. Dan betapa dalam... Dan meski tak satu kata puitis pun ditemukan di sana, kau ingin tahu hasilnya? Cucuran air mata dan hati yang diremas-remas, yang mengartikan cinta itu ada, dan akan tetap ada lama setelah kehidupan di pintu kulkas itu berakhir.
Oh ya, satu lagi yang membuat buku ini istimewa, setidaknya untuk saya: buku ini mengingatkan betapa banyak yang dapat dikatakan dalam begitu sedikit kata-kata, asalkan kita bersedia menyediakan waktu untuk mengatakannya.
(Disebarkan oleh Rosi. November 2008)
Posted by editor at 5:29 PM 0 comments
Monday, November 3, 2008
Bukuku Jendelaku
Aku jadi keranjingan baca buku. Mengunci diri di kamar agar tidak ada yang mengganggu, melupakan makan dan minum, seharian berdiam diri di kamar, hanya demi menuntaskan rasa penasaran sewaktu membaca lembar demi lembar kisah di dalamnya, membayangkan setiap kejadian secara detail di benak, mengira-ngira kejadian selanjutnya, menebak setiap ending, berharap menjalani kisah seperti si tokoh di buku. Ahh... what an intoxicating experience!
Kisah-kisah Disney, H.C. Andersen, S.A. Conan Doyle dan Enid Blyton menjadi buku “wajib” waktu masih kecil dulu. Sambil bawa roti lapis selai kacang dan sebotol sirup, aku bersama adik akan bersepeda ke taman dekat rumah, mencari tempat di bawah pohon dan mengeluarkan salah satu seri Lima Sekawan, kemudian membuka halaman di mana George dkk tengah bersantap siang. Kemudian sambil membacakannya untuk adikku, aku membayangkan kami tengah berpiknik seperti George, Julian, Dick, Anne, dan Timmy, minus petualangan-petualangan mereka.
Menjelang remaja, kisah-kisah petualangan digantikan cerita-cerita mengenai pencarian jati diri, teman-teman, dan cinta. Dulu aku suka banget sama Judy Blume, terutama yang Are You There God? It’s me, Margaret. Karena tiga hal tadi, lengkap dibahas di sana. Tapi selain kisah-kisah manis percintaan remaja, aku juga keranjingan cerita horor! Hehehe. Jadi waktu muncul seri Fear Street dengan berbagai kisah seramnya, wah, senangnya bukan main! Emang sih bikin kepikiran aja, tapi rasa penasaran setiap mencari dalang di setiap kisah seram, serunya bukan main. Dulu aku senang banget sama seri ini yang berjudul Moonlight, di situ cewek tokoh utamanya ditaksir sama cowok separuh serigala jadi-jadian. Seram memang, tapi dulu sih ngebayanginnya keren (nggak tahu kenapa?). Lucunya, sekarang Stephanie Meyer ngeluarin Twilight saga yang juga mengangkat kisah manusia dengan makhluk supranatural. Fantastis!
Masuk masa kuliah, cerita-cerita lebih dewasa mulai menarik minatku. Jatuh cintaku pada serial chicklit bermula saat membaca Confessions of a Shopaholic. Sejak baca itu (dan masih sampai sekarang..) setiap kali membeli barang apa pun yang agak mahal, selalu terlintas kalimat andalannya Becky, “Ahh, ini kan untuk investasi. Jadi mahal sedikit tidak apa-apa. Karena nanti semua orang akan memanggilku, the girl with the blue dangling earrings, the girl with the yellow leather jacket, the girl with the khaki leather boots, bla, bla, bla.” Haha… Ceritanya Jemima juga aku suka. Saat dia berhasil menurunkan berat badannya berkat olahraga, aku juga ikut terinspirasi ngurusin badan karena kebetulan masa kuliah dulu rada gemuk. Although in the end I realized that, just like Jemima, beauty is only skin deep.
Saat itulah aku mulai baca bukunya James Redfield dan Paulo Coelho. Buku-buku mereka sarat dengan pesan-pesan spiritual dan moral yang universal. Dengan bukunya Redfield, aku awalnya tertarik sama sampul depannya yang bagus. Yang pertama kali aku baca tuh yang Rahasia Shambala. Wah baca dari halaman pertama saja sudah bikin aku penasaran dan hati damai, gitu. Ceritanya benar-benar bagus. Aku sih jadi kepingin ke Tibet dan Pegunungan Himalaya sejak baca itu. Meski nggak tahu kapan, tapi untuk saat ini rasanya cukup puas membayangkan suasana dan pemandangan di Tibet yang diramu dengan piawai oleh Redfield di bukunya itu.
Buku pada akhirnya memang menjadi “jendela dunia” bagiku untuk meresap dan merenungkan kisah-kisah di berbagai pelosok bumi ini. Dan bergabung menjadi salah satu editor di GPU, membuka jendela itu semakin lebar untukku mengarungi setiap cerita yang sarat dengan pengalaman dan kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kisah-kisah dongeng, petualangan, cinta, fantasi, setia menemani setiap fase hidupku. Menyedotku ke dalam halaman-halamannya yang sarat makna dan pesan. Sampai terkadang tanpa sadar (dan disadari), mengikutsertakan fiksi-fiksi itu dalam nyata. Fiksi melebur dalam nyata, memengaruhi cara berpikir, cara bersikap, bahkan cara berbicara.
Kini aku sudah tidak sabar lagi pengin baca Dongeng Ketiga Belas karya Diane Setterfield yang katanya seru, gothic, dan rumit. Dan sembari membolak-balik halaman-halaman Bibliophile, mencari bacaan-bacaan baru lain yang menarik minatku, sayup-sayup terdengar Chantal Kreviazuk menyanyikan lagu yang liriknya sudah tidak asing lagi bagiku, “… it feels like home to me, it feels like home to me, it feels like I’m on my way where I belong…”
(Disebarkan oleh Mei. Oktober 2008)
Posted by editor at 6:22 AM 4 comments
Labels: Pernik
Sunday, November 2, 2008
Awan Ide Melayang-layang
“Dari mana sih idenya?” Itu pertanyaan standar yang selalu dilontarkan pada pengarang mana pun di mana pun di seluruh dunia ini. Saya bukan published novelist---yet (harapan selalu ada... hehehe), tapi mungkin saya bisa berbagi sedikit soal dari mana datangnya ide itu.
Buat saya, datangnya ide bisa dibagi dalam dua kelompok besar: yang dipaksa dan yang datang begitu saja.
Yang datang begitu saja hampir selalu datang dalam suasana santai:
· saat mandi
Jangan salah, kamar mandi bisa mendatangkan banyak ide cerita lho. Mungkin karena suasananya yang dingin, mungkin karena saat membersihkan diri kita juga membersihkan aura kita hingga ide mudah datang. Saat ngebom di wc pun jadi saat yang tepat bagi munculnya ide, mungkin karena saat ngebom kita sering melamun.
Konon kabarnya, wapres pertama kita, Bung Hatta juga penganut aliran kamar mandi ini. Di kamar mandinya sampai disediakan meja tulis, kertas, dan alat tulisnya sekalian, biar ide-ide segar yang muncul bisa cepat dituangkan di atas kertas dan tidak kabur entah ke mana.
· setengah tidur
Tidur-tidur ayam bisa membuat kita melamun ngalor-ngidul, akibatnya ide-ide cerita tiba-tiba bermunculan. Salah satu teman saya bilang dia menyimpan buku catatan dekat tempat tidurnya supaya kalau ada ide cerita, dia bisa langsung bangun dan menuliskannya. Saya pernah mencoba sih, tapiii... kemudian rasanya lebih enak bablas tidur ya... (makanya sampai sekarang belum jadi published novelist... hehehe)
· saat jalan kaki sendirian
Saat jalan kaki sendirian tanpa teman ngobrol, tanpa sadar kamu akan mengamati sekitarmu. Apakah mobil tua di sana benar-benar sudah teronggok lima tahun tanpa tersentuh? Apakah bakul jamu itu sebenarnya orang kaya di desanya? Pertanyaan-pertanyaan yang tanpa sadar muncul bisa jadi awal cerita.
· saat baca buku, nonton film, atau mendengarkan lagu
Saat menemukan tokoh yang unik di buku atau film mungkin kita jadi teringat ada tokoh yang kurang-lebih sama dalam kehidupan kita, lalu ingin menulis tentang dia. Atau mungkin ada jalan cerita buku atau film yang melenceng dari keinginan kita hingga ingin kita reka ulang sendiri. Sementara saat mendengar lagu tertentu, mungkin tanpa sengaja perasaan kita jadi mellow atau riang, yang menimbulkan ide baru untuk tulisan kita.
Yang dipaksa:
· dengan brainstorming dan mind maping
Tulis semua ide di kertas, jelek-bagus, cetek-deep, semua saja (brain storming). Atau tulis satu ide, lalu kaitannya ide itu dengan hal lain, sambungkan dengan yang lain lagi (mind maping).
· sengaja nonton film, baca buku, atau mendengarkan lagu
Punya ide tapi masih kasar banget dan bingung bagaimana mengembangkannya, atau punya perasaan tertentu dan pengin nulis tapi nggak jelas arahnya ke mana? Cari buku, film, atau lagu yang mendukung ide atau perasaan itu, nikmati dan mungkin membantu. Atau lebih blank lagi, benar-benar tidak punya ide? Cari buku, film, atau lagu yang lagi in atau dibilang orang bagus, mungkin ada satu atau dua ide yang bisa dicuri dari sana.
· mengamati lingkungan sekitar
Lingkungan kita punya banyak potensi cerita. Paling dekat saja, orangtua atau saudara di rumah, pasti ada tingkah polah atau pemikiran mereka yang bisa jadi sumber ide. Itu baru lingkungan terdekat, bagaimana lingkungan yang lebih luas? Sekolah, kampus, tempat kerja?
· membongkar peti kenangan
Ingat-ingat lagi pas pertama kali pacaran rasanya kayak apa atau bagaimana asyiknya ngegeng pas SMA. Mungkin ada satu-dua detail yang layak dikembangkan jadi cerita.
· latihan menulis
Tulislah sesuatu sedikit setiap hari. Dengan memaksa diri menulis, pelan-pelan ide akan muncul dengan lancar.
· baca koran/majalah
Setiap hari ada aja peristiwa yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di kepala kita. Kenapa anak orang utan bisa lahir di kebun binatang di Austria, misalnya. Dari pertanyaan ini bisa aja muncul ide cerita tentang kisah cinta si pengasuh orang utan itu lho...
Nah, moga-moga tips ini bisa berguna buat menggali ide dari gumpalan abu-abu dalam kepala kita itu. Soal menuangkannya dengan runut, mengalir, dan menggugah rasa... hmm... itu nanti mungkin bisa dikulik di postingan yang lain. Ciao!
(Disebarkan oleh Donna. November 2008)
Posted by Donna at 6:27 PM 0 comments
Labels: Tips
Tuesday, October 28, 2008
Pengarang Baik Hati
Punya pekerjaan jadi sekretaris di perusahaan penerbitan membuat saya menemui manusia dalam berbagai edisi. Kebanyakan pengarang, yang mau menerbitkan karyanya di tempat saya bekerja.
Sejarah membuktikan bahwa pada saat mereka menyerahkan naskah, mereka datang dengan cukup sopan, baik, rendah hati. Ada yang optimis, ada yang pesimis. Tapi dengan berjalannya waktu dan lamanya naskahnya belum selesai dibaca editor, keluar deh sifat-sifat aslinya. Mulai jutek, nggak sabaran. Bahkan ada yang pernah ngasih nasihat, "Mbak, coba deh tim editornya ditambah, biar kita-kita yang pengarang ini nggak terlalu lama digantungin."
Memang sih, pengarang pasti nggak sabar nunggu naskahnya selesai dibaca. Tapi yah, naskah yang masuk tiap tahun semakin banyak. Untuk perbandingan, waktu saya baru masuk GPU,
cuma 300-an judul yang masuk dalam satu tahun (2004). Sementara tahun ini, baru sampai bulan Oktober saja sudah 900 judul naskah yang masuk meja redaksi. Belum lagi kalo ada lomba. Seperti yang baru aja lewat, lomba cerita konyol remaja. Kami terus memperbaiki diri, kok. Semoga ke depannya proses seleksi naskah ini bisa lebih cepat lagi.
Tapi, ada beberapa juga makhluk langka yang dinamakan pengarang yang baik. Biasanya mereka mengerti kalo naskahnya musti ngantre dulu, jadi butuh waktu minimal 3 bulan buat dinilai. Kalo nelepon saya untuk konfirmasi naskahnya, tidak pernah mereka bicara dengan nada yang tinggi, selalu sopan dan tahu aturan, seperti layaknya menelepon ke sebuah instansi. Sayangnya di dalam rimba kepenulisan, mereka termasuk edisi langka. Kaum minoritas. Hampir punah. Jadi, kalo di antara 200 pengarang saya nemuin satu yang seperti itu, langsung pengin dikasih air keras, biar tetap awet.
(Disebarkan oleh Michelle, Oktober 2008)
Posted by michelle at 9:51 PM 5 comments
Labels: Pernik
Sunday, October 26, 2008
Lomba Resensi Online Novel Grafis
Menyambut terbitnya dua novel grafis terbitan Gramedia Pustaka Utama pada bulan Oktober ini, Chicken with Plum dan Che. Lomba resensi online bulan ini adalah novel grafis terbitan Gramedia Pustaka Utama. Berikut ini judul-judul yang bisa dipilih untuk diresensi:
Chicken With Plums - Marjane Satrapi
Embroideries - Marjane Satrapi
Che - Spain Rodriguez
White Lama - Bees, Jodorowsky
History of Violence - John Wagner
Epileptik - David B.
Seri Age of Bronze: Seribu Kapal dan Pengorbanan - Eric Shanower
Seri Usagi Yojimbo - Stan Sakai
V for Vendetta - Alan Moore
Balada Seorang Penyiar - Marc Males
Love Me Better - Rosalind B. Penfold
Cara ikut lombanya?
Gampang banget!
Buat resensinya, lalu pasang di blog. Boleh salah satu atau beberapa judul sekaligus. Makin banyak, makin oke.
Nah kalau udah dipost, kirim link blog tersebut sekalian resensinya ke email: hetih@gramedia.com dan tanti@gramedia.com dengan subjek e-mail: Review Novel Grafis.
Jangan lupa pasang juga link resensinya di komen postingan ini.
Nanti akan dipilih 3 orang yg akan mendapat hadiah paket buku GPU @Rp250.000,-.
Oya, deadline posting di blog s/d tgl 30 November 2008.
Jadi, buruan baca bukunya dan tulis reviewnya... sekarang juga!
(Disebarkan oleh Hetih. Oktober 2008)
Posted by editor at 9:05 PM 3 comments
Labels: Lomba Resensi
Secuil Cerita Tentang Twilight Saga
Nggak seperti kebanyakan orang, buku pertama dalam Twilight Saga yang aku baca justru buku kedua. Ngebacanya juga tidak dengan sengaja, tapi karena Mbak Rosi ngasih tugas untuk bacaproof New Moon. Meskipun awalnya rada keder karena itu buku tebal banget, akhirnya aku malah nggak bisa berhenti baca, pengin cepet-cepet sampe ke halaman paling akhir. Jadi, akhirnya gue malah harus berterima kasih karena dikasih tugas yang sangat menyenangkan ;-)
Banyak orang bilang anak-anak muda zaman sekarang, terutama remajanya, nggak suka baca buku. Kalian setuju? Nggak dong, ya? Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, buku-buku remaja juga berhasil mencapai angka penjualan fantastis. Salah satu contohnya ya Twilight Saga ini.
Semuanya dimulai bulan Oktober 2005 ketika Little, Brown and Co. di Amrik sana menerbitkan novel pertama karya Stephenie Meyer yang berjudul Twilight. Dan cuma dalam waktu satu bulan, Twilight berhasil masuk dalam daftar New York Times Best Seller List untuk kategori young adult.
Selain dari New York Times, buku ini juga dilabeli Amazon.com sebagai “Best Book of the Decade… So Far”. Kira-kira dua bulan lalu, waktu aku browsing ke situs Amazon, sudah ada 1.675 orang yang menulis review buku ini, dan 1.331 di antaranya ngasih rating 5 bintang. Menariknya, orang-orang yang membuat review atau ngomongin buku ini di berbagai forum nggak cuma remaja, tapi ada ibu-ibu, bahkan nenek-nenek. Lumayan, dong? Maksudnya lumayan bikin penasaran, terutama buat kalian yang belum baca...
Saking cintanya sama buku ini, para fans menyebut diri mereka sebagai Twilighters. Bahkan penduduk kota Forks, kota yang sungguhan ada di negara bagian Washington, bikin hari khusus buat Stephenie Meyer. Sekarang ini, film layar lebar Twilight juga sedang dalam tahap akhir produksi. Menurut gosip-gosip yang beredar di internet filmnya bakal rilis bulan November/Desember 2008.
Karena kena virus New Moon, aku coba meng-google frasa “Twilight, Stephenie Meyer”, dan menghasilkan jutaan entri, mulai dari situs resmiTwilight, forum-forum diskusi, sampai puluhan YouTube personal yang menyediakan trailer film Twilight. Bahkan MTV juga menyediakan trailer ini di halaman depan situsnya.
Dan ternyata, Twilight nggak cuma disukai publik remaja di Amerika. Sekarang, Twilight sudah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, termasuk Indonesia. Waktu aku coba browsing ke forum-forum diskusi dan blog orang Indonesia, udah ada buzz yang cukup seru tentang Twilight Saga di kalangan netters Indonesia.
Gimana sih cerita novel ini?
Dengan buzz sebesar itu, kalian pasti nanya, emang gimana sih ceritanya? Kalo kalian mau tahu ringkasan cerita lengkapnya, mendingan klik artikel yang dibuat Mbak Michelle deh.
Buat gue, di balik kisah cinta Bella-Edward yang pastinya bikin banyak cewek terpesona (not me! I vote for Jacob!=)), Stephenie Meyer menceritakan hal yang universal banget, yang dialami hampir tiap remaja meski dengan tingkat beda-beda. Tiap orang pasti pernah melalui masa-masa ketika mereka merasa bingung, pengin banget mencari jalan sendiri, tapi juga sekaligus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan. Atau ketika mereka jadi makin dewasa dan harus belajar bahwa tiap pilihan pasti punya konsekuensi, seperti Bella yang harus mikir seberapa banyak dia rela berkorban untuk bisa bareng terus sama Edward. Atau mungkin seberapa rela dia ngelepas Edward buat mendapatkan hal-hal lain? (Ha... ha... ha... I wish!)
Selain ceritanya, aku pikir pasti menarik juga untuk mikirin judul yang dipakai Meyer buat keempat bukunya. Dimulai dari Twilight, kata yang kira-kira menggambarkan senja ketika matahari udah terbenam dan suasana mulai gelap. Terus dilanjutkan dengan New Moon, suasana malam ketika lagi ada bulan baru. Masih inget dong pelajaran SD bahwa waktu bulan baru tuh bagian bulan yang keliatan dari bumi baru sedikit? Dilanjutkan sama Eclipse (gerhana) ketika betul-betul nggak ada cahaya di langit. Dan saga ini diakhiri dengan buku berjudul Breaking Dawn, saat-saat ketika fajar mulai menyingsing. Jadi pertanyaannya, di pikiran gue nih, pencerahan seperti apa yang bakal didapat Bella di akhir cerita, ya?
Dan pemikiran ini membuat gue nggak sabar nunggu-nunggu Breaking Dawn. Soalnya, kalau cuma berhenti di Eclipse, berarti aku akan tetap berada di kegelapan...:p Bagaimana konflik utama nantinya akan diselesaikan dan pencerahan seperti apa yang bakal didapat Bella memang tergantung sepenuhnya pada Meyer. Makanya, see you all in Breaking Dawn!
(Disebarkan oleh Nina. Oktober 2008)
Posted by editor at 6:21 PM 1 comments