Frankfurt am Main, 15 Oktober 2008
Arloji di tangan menunjukkan pukul 21.45 waktu setempat ketika saya dan Mbak Yanti keluar dari hotel. Setelah mencegat taksi dan sedikit berbahasa Tarzan sambil menunjuk-nunjuk kertas berisi alamat sebuah kelab malam, mobil pun melaju dengan kecepatan cukup tinggi.
Kami tiba di King Kamehameha Club tak sampai lima belas menit. Tepat waktu untuk menghadiri pesta perayaan 100 juta kopi terjualnya buku-buku karya Paulo Coelho di seluruh dunia. Ya, malam itu kami, bersama wartawan, penerbit, para sahabat dari industri perbukuan diundang penulis besar asal Brazil tersebut. Di dalam pesta itu, Paulo juga akan menerima penghargaan dari Guinness Book of Records 2009 sebagai penulis dengan satu buku yang paling banyak diterjemahkan di dunia (The Alchemist, 67 bahasa).
Kami baru saja hendak menitipkan jaket ketika sang penulis besar sendiri keluar dan berdiri di dekat pintu masuk untuk menyambut para tamunya. Ah, sial! batin saya. Andaikata kami ngaret dikit, tangan ini sudah berjabatan dengan salah satu penulis besar abad ini yang hidup dan tulisannya telah begitu banyak menyentuh dan menginspirasi para pembacanya. Mau keluar lagi buat ikut masuk barisan, rasanya konyol. Mau menyela barisan dari depan dan mencuri momen untuk foto bersama, takut membuat macet aliran tamu yang mulai berdatangan dan dipelototi Mr. Coelho dan Monica, sang agen. Apalagi kelakuan norak itu bakal terekam kamera para wartawan TV maupun media cetak yang terus stand by di sana. Alhasil, saya pun cuma bisa menjepret Mr. Coelho dari jarak satu meter (ah, so close and yet so far away!) dan terus menunggu di sana untuk mencari kesempatan nyelak yang tak pernah datang itu…
Akhirnya saya dan Mbak Yanti menyerah dan beranjak masuk. Kami disambut waitress muda dan cantik yang menawarkan wine. Kalau nggak ingat besok harus berseliweran di hall-hall Frankfurt Book Fair, ingin rasanya menerima tawaran si waitress. Kapan lagi dapat kesempatan dugem di Frankfurt? Hehehe. Jadilah kami menenggak (biar keren) Coca Cola sambil menikmati alunan suara merdu penyanyi cantik yang menyanyikan serangkaian lagu berbahasa Inggris dan Spanyol.
Kelab itu tidak terlalu besar. Terdiri atas dua lantai, di lantai bawah terdapat beberapa sofa di sepanjang salah satu sisi dinding, sementara di atas pengunjung hanya bisa berdiri sambil bersandar ke pagar pembatasnya yang terbuat dari kaca. Di atas beberapa meja di tengah ruangan terdapat beberapa booklet berjudul The Winner Stands Alone. Judul yang diambil dari karya terbaru Paulo Coelho (yang menurut info bakal terbit tahun depan), dengan gambar Mr. Coelho yang tampak ceria dalam kaus hitamnya. Di atas kepala terdapat dua layar besar yang terus-menerus menampilkan versi cover The Alchemist dari berbagai negara. Mata tidak boleh terpejam sedetik pun kalau mau menemukan cover versi GPU.
Semua sofa ternyata sudah di-reserved. Saya dan Mbak Yanti harus puas duduk bertengger di dekat undakan pendek menuju sofa-sofa tersebut. Lumayanlah. Setidaknya kami punya jarak pandang yang cukup enak ke panggung. Maklum, dengan tinggi cewek Asia yang tak seberapa, kami nggak bakal bisa melihat panggung kalau kaki menjejak lantai.
Tak lama kemudian Mr. Coelho melangkah masuk dan acara pun dimulai. Dibuka dengan penyerahan penghargaan oleh pihak Guinnes Book of Records, Paulo pun naik ke panggung dan disambut tepuk tangan meriah. Dengan rendah hati beliau menyampaikan bahwa pencapaiannya ini tak bisa disangkal merupakan hasil kerja keras dan kepercayaan Monica, sang agen, yang dua puluh tahun lalu menghampiri Paulo dan bertekad memperkenalkan karya-karya Paulo ke seluruh dunia. Perayaan malam itu pun dipersembahkan Paulo bagi Monica.
Kilatan blitz menyambar-nyambar sepanjang pembukaan acara. Termasuk blitz dari kamera saya, sebelum mendadak ngadat. Ah! Tangan menepuk jidat bibir berucap "bodoh!" Dengan segala kesibukan di Book Fair siang tadi, saya lupa men-charge baterai kamera saya! Pinjam baterai kamera Mbak Yanti ternyata beda bentuk. Mau mengoperasikannya tangan canggung karena tidak terbiasa dengan tombol-tombol yang berlainan. Sial, sial, sial! Lagi-lagi kesempatan mengabadikan peristiwa penting dalam dunia perbukuan ini batal. Bibir sudah maju beberapa senti dari asalnya yang memang tidak terlalu tipis.
Acara berlanjut dengan acara nyanyi-nyanyi. Teman baik Paulo, penyanyi Brazil Gilberto Gil menghangatkan suasana malam itu dengan menyanyikan lagu No Woman, No Cry. Suaranya empuk banget, reggae banget, pokoknya enak banget. Dan serunya, di tengah-tengah lagu, Paulo ikut bernyanyi! Suara penulis (yang belakangan saya baca memang pernah jadi rock star) itu nggak kalah bagusnya. Beberapa orang sudah mulai berjoget. Argh. Makin menyesali kebodohan diri. Kapan lagi, kapan lagi bisa melihat dan mendengar seorang Paulo Coelho bernyanyi secara live?
Tapi duo Paulo-Gilberto tidak membiarkan kekesalan saya berlarut-larut. Ketika musik makin rancak, kaki mulai diketuk-ketukkan ke lantai. Dan ketika mereka mengajak hadirin ikut mendendangkan "Everything's gonna be all right, no woman, no cry…" saya nggak tahan lagi. Badan ikut bergoyang dengan sendirinya dan mulut pun mulai ikut bernyanyi. Tanpa malu-malu seperti biasanya, tapi juga tetap menjaga diri supaya jangan sampai malu-maluin bos yang duduk di samping.
Akhirnya Paulo turun dari panggung dan beranjak bersama rombongannya ke ruang pribadi di kelab itu. Tamu lain masih melanjutkan dengan acara minum-minum dan obrolan santai. Jam 23.30. Saya dan Mbak Yanti tahu diri untuk pulang dan beristirahat, siap-siap untuk sederet appointment keesokan paginya. Kami berjalan keluar kelab dengan jaket tertutup rapat mengingat angin musim gugur yang makin menggigit. Sempat lama menunggu taksi di jalanan yang sangat lengang, tapi kegembiraan bisa ikut serta dalam perayaan Paulo Coelho lumayan membuat hati hangat.
Dan tiap kali pikiran saya mulai berniat menyesali diri lagi, saya langsung menghentikannya. Bagaimanapun juga, bukankah memori otak saya jauh melebihi kapasitas memory card kamera tercanggih sekalipun? Meski nggak ada foto kenang-kenangan saya bersama Paulo Coelho, saya cuma perlu memejamkan mata, maka rekaman suasana malam itu, semua kegembiraan dan kemeriahan malam itu, akan segera terputar kembali. Buktinya malam ini, tepat satu bulan setelah acara itu, saya masih bisa mendengar nyanyian Paulo yang agak-agak parau itu dengan sangat jelas: everything's gonna be all right…
(disebarkan oleh Dharma. November 2008)
Arloji di tangan menunjukkan pukul 21.45 waktu setempat ketika saya dan Mbak Yanti keluar dari hotel. Setelah mencegat taksi dan sedikit berbahasa Tarzan sambil menunjuk-nunjuk kertas berisi alamat sebuah kelab malam, mobil pun melaju dengan kecepatan cukup tinggi.
Kami tiba di King Kamehameha Club tak sampai lima belas menit. Tepat waktu untuk menghadiri pesta perayaan 100 juta kopi terjualnya buku-buku karya Paulo Coelho di seluruh dunia. Ya, malam itu kami, bersama wartawan, penerbit, para sahabat dari industri perbukuan diundang penulis besar asal Brazil tersebut. Di dalam pesta itu, Paulo juga akan menerima penghargaan dari Guinness Book of Records 2009 sebagai penulis dengan satu buku yang paling banyak diterjemahkan di dunia (The Alchemist, 67 bahasa).
Kami baru saja hendak menitipkan jaket ketika sang penulis besar sendiri keluar dan berdiri di dekat pintu masuk untuk menyambut para tamunya. Ah, sial! batin saya. Andaikata kami ngaret dikit, tangan ini sudah berjabatan dengan salah satu penulis besar abad ini yang hidup dan tulisannya telah begitu banyak menyentuh dan menginspirasi para pembacanya. Mau keluar lagi buat ikut masuk barisan, rasanya konyol. Mau menyela barisan dari depan dan mencuri momen untuk foto bersama, takut membuat macet aliran tamu yang mulai berdatangan dan dipelototi Mr. Coelho dan Monica, sang agen. Apalagi kelakuan norak itu bakal terekam kamera para wartawan TV maupun media cetak yang terus stand by di sana. Alhasil, saya pun cuma bisa menjepret Mr. Coelho dari jarak satu meter (ah, so close and yet so far away!) dan terus menunggu di sana untuk mencari kesempatan nyelak yang tak pernah datang itu…
Akhirnya saya dan Mbak Yanti menyerah dan beranjak masuk. Kami disambut waitress muda dan cantik yang menawarkan wine. Kalau nggak ingat besok harus berseliweran di hall-hall Frankfurt Book Fair, ingin rasanya menerima tawaran si waitress. Kapan lagi dapat kesempatan dugem di Frankfurt? Hehehe. Jadilah kami menenggak (biar keren) Coca Cola sambil menikmati alunan suara merdu penyanyi cantik yang menyanyikan serangkaian lagu berbahasa Inggris dan Spanyol.
Kelab itu tidak terlalu besar. Terdiri atas dua lantai, di lantai bawah terdapat beberapa sofa di sepanjang salah satu sisi dinding, sementara di atas pengunjung hanya bisa berdiri sambil bersandar ke pagar pembatasnya yang terbuat dari kaca. Di atas beberapa meja di tengah ruangan terdapat beberapa booklet berjudul The Winner Stands Alone. Judul yang diambil dari karya terbaru Paulo Coelho (yang menurut info bakal terbit tahun depan), dengan gambar Mr. Coelho yang tampak ceria dalam kaus hitamnya. Di atas kepala terdapat dua layar besar yang terus-menerus menampilkan versi cover The Alchemist dari berbagai negara. Mata tidak boleh terpejam sedetik pun kalau mau menemukan cover versi GPU.
Semua sofa ternyata sudah di-reserved. Saya dan Mbak Yanti harus puas duduk bertengger di dekat undakan pendek menuju sofa-sofa tersebut. Lumayanlah. Setidaknya kami punya jarak pandang yang cukup enak ke panggung. Maklum, dengan tinggi cewek Asia yang tak seberapa, kami nggak bakal bisa melihat panggung kalau kaki menjejak lantai.
Tak lama kemudian Mr. Coelho melangkah masuk dan acara pun dimulai. Dibuka dengan penyerahan penghargaan oleh pihak Guinnes Book of Records, Paulo pun naik ke panggung dan disambut tepuk tangan meriah. Dengan rendah hati beliau menyampaikan bahwa pencapaiannya ini tak bisa disangkal merupakan hasil kerja keras dan kepercayaan Monica, sang agen, yang dua puluh tahun lalu menghampiri Paulo dan bertekad memperkenalkan karya-karya Paulo ke seluruh dunia. Perayaan malam itu pun dipersembahkan Paulo bagi Monica.
Kilatan blitz menyambar-nyambar sepanjang pembukaan acara. Termasuk blitz dari kamera saya, sebelum mendadak ngadat. Ah! Tangan menepuk jidat bibir berucap "bodoh!" Dengan segala kesibukan di Book Fair siang tadi, saya lupa men-charge baterai kamera saya! Pinjam baterai kamera Mbak Yanti ternyata beda bentuk. Mau mengoperasikannya tangan canggung karena tidak terbiasa dengan tombol-tombol yang berlainan. Sial, sial, sial! Lagi-lagi kesempatan mengabadikan peristiwa penting dalam dunia perbukuan ini batal. Bibir sudah maju beberapa senti dari asalnya yang memang tidak terlalu tipis.
Acara berlanjut dengan acara nyanyi-nyanyi. Teman baik Paulo, penyanyi Brazil Gilberto Gil menghangatkan suasana malam itu dengan menyanyikan lagu No Woman, No Cry. Suaranya empuk banget, reggae banget, pokoknya enak banget. Dan serunya, di tengah-tengah lagu, Paulo ikut bernyanyi! Suara penulis (yang belakangan saya baca memang pernah jadi rock star) itu nggak kalah bagusnya. Beberapa orang sudah mulai berjoget. Argh. Makin menyesali kebodohan diri. Kapan lagi, kapan lagi bisa melihat dan mendengar seorang Paulo Coelho bernyanyi secara live?
Tapi duo Paulo-Gilberto tidak membiarkan kekesalan saya berlarut-larut. Ketika musik makin rancak, kaki mulai diketuk-ketukkan ke lantai. Dan ketika mereka mengajak hadirin ikut mendendangkan "Everything's gonna be all right, no woman, no cry…" saya nggak tahan lagi. Badan ikut bergoyang dengan sendirinya dan mulut pun mulai ikut bernyanyi. Tanpa malu-malu seperti biasanya, tapi juga tetap menjaga diri supaya jangan sampai malu-maluin bos yang duduk di samping.
Akhirnya Paulo turun dari panggung dan beranjak bersama rombongannya ke ruang pribadi di kelab itu. Tamu lain masih melanjutkan dengan acara minum-minum dan obrolan santai. Jam 23.30. Saya dan Mbak Yanti tahu diri untuk pulang dan beristirahat, siap-siap untuk sederet appointment keesokan paginya. Kami berjalan keluar kelab dengan jaket tertutup rapat mengingat angin musim gugur yang makin menggigit. Sempat lama menunggu taksi di jalanan yang sangat lengang, tapi kegembiraan bisa ikut serta dalam perayaan Paulo Coelho lumayan membuat hati hangat.
Dan tiap kali pikiran saya mulai berniat menyesali diri lagi, saya langsung menghentikannya. Bagaimanapun juga, bukankah memori otak saya jauh melebihi kapasitas memory card kamera tercanggih sekalipun? Meski nggak ada foto kenang-kenangan saya bersama Paulo Coelho, saya cuma perlu memejamkan mata, maka rekaman suasana malam itu, semua kegembiraan dan kemeriahan malam itu, akan segera terputar kembali. Buktinya malam ini, tepat satu bulan setelah acara itu, saya masih bisa mendengar nyanyian Paulo yang agak-agak parau itu dengan sangat jelas: everything's gonna be all right…
(disebarkan oleh Dharma. November 2008)
0 comments:
Post a Comment