Kisah ini tidak selalu manis. Kadang hubungan editor dan pengarang bisa juga diwarnai adegan piring terbang dan gelas pecah.
Tapi apakah benar sehari-harinya pekerjaan saya lempar-lemparan piring bersama pengarang? Sebetulnya tidak. Sebetulnya hubungan saya dan pengarang-pengarang saya (kecuali beberapa) lumayan harmonis. Saya sempat jalan-jalan bersama beberapa pengarang saya. Beberapa dari mereka juga main ke rumah saat saya melahirkan.
Jadi bagaimana supaya kisah cinta editor dan pengarang berakhir bahagia? Saya akan menceritakannya dari sisi editor dan tugas-tugasnya.
Pertama, tentu saja datanglah sebundel naskah di meja editor (saya). Saya membacanya dan menilainya layak terbit. Lalu saya mengontak si pengarang (karena itu jangan lupa cantumkan nomor telepon yang mudah dihubungi--ehm, HP maksudnya, jangan kasih nomor telepon tetangga lagi--dan alamat e-mail). Hubungan pun dimulai dengan perkenalan. Ada editor yang supel dan bisa langsung ketawa-ketiwi bersama pengarangnya seperti teman saya si Vera. Saya sendiri tidak terlalu pandai bicara, jadi biasa setelah memperkenalkan diri saya langsung menyatakan maksud, dan dengan demikian kita menginjak poin kedua.
Kedua, saya akan memberitahu kekurangan dan kelemahan naskah yang saya baca itu. Di mana “bolongnya” alur, di mana kakunya bahasa (biasa pada percakapan). Atau kalau perubahan terlalu banyak, bisa juga saya hanya menceritakan garis besar lalu mengirim balik naskah yang sudah diberi catatan. Mendapat masukan begini, pengarang punya banyak reaksi. Ada yang ngambek, ada yang nggak ngambek tapi ogah mengubah apa pun (ya, ya, setiap titik-koma dalam naskah sudah dipikirkan matang-matang sebelum dibubuhkan di sana), tapi ada yang menerima dengan sukacita dan riang gembira.
Maka masuk ke tahap ketiga, pengarang merevisi naskah dan mengirim balik kepada saya. Ada pengarang yang begitu diintip naskah revisinya sudah oke banget, semua masukan dijalankan dan naskah jadi makin oke, bahkan bisa nyaris tak perlu editing lagi. Tapi, ada juga pengarang yang malah ngelantur, yang diminta apaaaa yang direvisi apaaaa. Ada juga yang ogah melakukan revisi.
Apa pun hasil revisinya, pada tahap keempat, naskah akan diedit. Kalau naskah sudah oke, editing hanya mencakup tata bahasa dan ejaan. Tapi kalau naskah masih berantakan, catatan di sana-sini atau bahkan pemotongan besar-besaran tentu masih harus dilakukan.
Kelima, saya biasa mengirim naskah hasil editing saya kembali ke si pengarang. Pengarang saya minta memeriksa ulang dan menanyakan ini-itu yang dirasanya kurang memuaskan.
Setelah pengarang puas, masuk ke langkah keenam, naskah akan di-setting, lalu setelahnya dibaca proof-nya. Dalam proses pembacaan proof, masih mungkin ada masukan lagi dari editor yang membacanya. Pernah saya sebagai pembaca proof menyatakan satu bab (SATU BAB) itu tidak nyambung dengan cerita keseluruhan dan bisa dibuang daripada membuat naskah terlalu panjang. Pernah juga editor lain yang membaca naskah yang saya edit menyatakan naskah tersebut kacau-balau yang berbuntut satu naskah (SATU NASKAH) ditulis ulang oleh pengarangnya. Jadi jangan sepelekan langkah keenam ini.
Tujuh, kalau semua langkah itu terlewati mulus, naskah akan dicetak, terbit, dan terpajang di toko buku. Tapi apakah hubungan editor dan pengarang sudah berakhir? Tentu tidak, saat buku sudah ada di pasar, mulailah proses memasarkan buku. Caranya? Temu pengarang, book launching, talkshow radio, dll. Saya pernah menemani pengarang saya jadi pembicara di suatu seminar membaca, tapi biasanya sih saya cuma menemani di belakang panggung saja.
Di luar masalah promosi ini bagaimana hubungan editor dan pengarang? Bisa manis seperti yang sudah saya kisahkan pada alinea kedua di atas. Utamanya, hubungan yang dijalin dengan sopan dan hangat tentu bisa terus mengikat tali silaturahmi, bahkan meningkatkan hubungan kerja jadi hubungan pertemanan yang erat dan akrab.
(disebarkan oleh Donna)
Tapi apakah benar sehari-harinya pekerjaan saya lempar-lemparan piring bersama pengarang? Sebetulnya tidak. Sebetulnya hubungan saya dan pengarang-pengarang saya (kecuali beberapa) lumayan harmonis. Saya sempat jalan-jalan bersama beberapa pengarang saya. Beberapa dari mereka juga main ke rumah saat saya melahirkan.
Jadi bagaimana supaya kisah cinta editor dan pengarang berakhir bahagia? Saya akan menceritakannya dari sisi editor dan tugas-tugasnya.
Pertama, tentu saja datanglah sebundel naskah di meja editor (saya). Saya membacanya dan menilainya layak terbit. Lalu saya mengontak si pengarang (karena itu jangan lupa cantumkan nomor telepon yang mudah dihubungi--ehm, HP maksudnya, jangan kasih nomor telepon tetangga lagi--dan alamat e-mail). Hubungan pun dimulai dengan perkenalan. Ada editor yang supel dan bisa langsung ketawa-ketiwi bersama pengarangnya seperti teman saya si Vera. Saya sendiri tidak terlalu pandai bicara, jadi biasa setelah memperkenalkan diri saya langsung menyatakan maksud, dan dengan demikian kita menginjak poin kedua.
Kedua, saya akan memberitahu kekurangan dan kelemahan naskah yang saya baca itu. Di mana “bolongnya” alur, di mana kakunya bahasa (biasa pada percakapan). Atau kalau perubahan terlalu banyak, bisa juga saya hanya menceritakan garis besar lalu mengirim balik naskah yang sudah diberi catatan. Mendapat masukan begini, pengarang punya banyak reaksi. Ada yang ngambek, ada yang nggak ngambek tapi ogah mengubah apa pun (ya, ya, setiap titik-koma dalam naskah sudah dipikirkan matang-matang sebelum dibubuhkan di sana), tapi ada yang menerima dengan sukacita dan riang gembira.
Maka masuk ke tahap ketiga, pengarang merevisi naskah dan mengirim balik kepada saya. Ada pengarang yang begitu diintip naskah revisinya sudah oke banget, semua masukan dijalankan dan naskah jadi makin oke, bahkan bisa nyaris tak perlu editing lagi. Tapi, ada juga pengarang yang malah ngelantur, yang diminta apaaaa yang direvisi apaaaa. Ada juga yang ogah melakukan revisi.
Apa pun hasil revisinya, pada tahap keempat, naskah akan diedit. Kalau naskah sudah oke, editing hanya mencakup tata bahasa dan ejaan. Tapi kalau naskah masih berantakan, catatan di sana-sini atau bahkan pemotongan besar-besaran tentu masih harus dilakukan.
Kelima, saya biasa mengirim naskah hasil editing saya kembali ke si pengarang. Pengarang saya minta memeriksa ulang dan menanyakan ini-itu yang dirasanya kurang memuaskan.
Setelah pengarang puas, masuk ke langkah keenam, naskah akan di-setting, lalu setelahnya dibaca proof-nya. Dalam proses pembacaan proof, masih mungkin ada masukan lagi dari editor yang membacanya. Pernah saya sebagai pembaca proof menyatakan satu bab (SATU BAB) itu tidak nyambung dengan cerita keseluruhan dan bisa dibuang daripada membuat naskah terlalu panjang. Pernah juga editor lain yang membaca naskah yang saya edit menyatakan naskah tersebut kacau-balau yang berbuntut satu naskah (SATU NASKAH) ditulis ulang oleh pengarangnya. Jadi jangan sepelekan langkah keenam ini.
Tujuh, kalau semua langkah itu terlewati mulus, naskah akan dicetak, terbit, dan terpajang di toko buku. Tapi apakah hubungan editor dan pengarang sudah berakhir? Tentu tidak, saat buku sudah ada di pasar, mulailah proses memasarkan buku. Caranya? Temu pengarang, book launching, talkshow radio, dll. Saya pernah menemani pengarang saya jadi pembicara di suatu seminar membaca, tapi biasanya sih saya cuma menemani di belakang panggung saja.
Di luar masalah promosi ini bagaimana hubungan editor dan pengarang? Bisa manis seperti yang sudah saya kisahkan pada alinea kedua di atas. Utamanya, hubungan yang dijalin dengan sopan dan hangat tentu bisa terus mengikat tali silaturahmi, bahkan meningkatkan hubungan kerja jadi hubungan pertemanan yang erat dan akrab.
(disebarkan oleh Donna)
0 comments:
Post a Comment