George's Secret Key to the Universe (Kunci Rahasia George ke Alam Semesta)
Lucy Hawking, Stephen Hawking
336 halaman; Rp58.000,-
Kisah petualangan yang menegangkan namun lucu. Memaparkan fakta ilmiah yang menarik tentang Alam Semesta serta planet-planet di dalamnya, termasuk gagasan-gagasan terbaru tentang lubang hitam dari Stephen Hawking. Dilengkapi foto-foto berwarna citra-citra sesungguhnya dari ruang angkasa!
Ketika babi peliharaan George menerobos masuk ke dalam kebun tetangga sebelah, George jadi berkenalan dengan para tetangga barunya---Annie dan ayahnya yang ilmuwan, Eric---dan dia menemukan kunci rahasia yang membuka sudut pandang baru baginya dalam melihat dunia. Dari angkasa luar.
Sebab Eric memiliki komputer paling canggih di dunia, Cosmos yang sangat cerdas, yang bisa membawa George dan teman-temannya ke mana pun di dalam Alam Semesta. Tiba-tiba saja George sudah dibawa berjalan-jalan di ruang angkasa yang mahaluas---melewati planet-planet, menembus badai asteroid, ke tepian Sistem Tata Surya kita dan lebih jauh lagi.
Tetapi ada seseorang yang menginginkan Cosmos---dan mempunyai rencana-rencana yang akan membawa Eric dan George ke dalam bahaya besar.
Dan tidak ada yang lebih berbahaya di angkasa luar selain lubang hitam...
Vengeance in Death (Pembalasan Dalam Kematian)
J.D. Robb
Buku Keenam Serial "In Death"
480 halaman; Rp58.000,-
Menggunakan nama pena J.D. Robb, Nora Roberts menghadirkan serial baru dengan nuansa roman-misteri yang mengisahkan perjalanan karier dan cinta Letnan Eve Dallas.
Dia dianugerahi otak jenius serta hati pembunuh. Dia yakin dirinya diutus Tuhan untuk membalaskan dendam-Nya. Dengan keahliannya dalam bidang elektronik, dia mengincar mangsanya secara diam-diam, merencanakan pembalasan yang pantas, kemudian memberitahu Letnan Eve Dallas tentang kejahatan yang akan dilakukannya dalam bentuk teka-teki rumit.
Meski berhasil memecahkan teka-teki itu, Eve selalu terlambat selangkah. Ia menemukan korban pertama dibantai di rumahnya sendiri. Demikian pula dengan korban kedua, dibunuh di rumah kontrakan mewah yang kosong. Keduanya mengalami siksaan yang luar biasa mengerikan sebelum kematian merenggut nyawa mereka. Dan ternyata, keduanya berkaitan dengan rahasia besar dari masa sepuluh tahun lalu--rahasia yang juga melibatkan suami Eve, Roarke....
Next
Michael Crichton
488 halaman; Rp60.000,-
(Karya terakhir Michael Crichton)
Selamat datang di dunia genetika masa kini. Melesat cepat dan tak terkendali. Ini bukan kisah rekaan masa depan----inilah dunia yang kita diami saat ini.
Kita hidup pada masa terjadinya lompatan-lompatan sains yang luar biasa, ketika kita bisa menjual sel telur dan sperma secara online demi imbalan ribuan dolar. Kita hidup pada masa para ahli telah berhasil memetakan gen-gen yang menentukan kepribadian, kebiasaan, dan penyakit-penyakit bawaan----atau benarkah begitu?
Gabungan fakta dan fiksi ini akan membuat kita berpikir bahwa tak satu hal pun sama seperti tampaknya, dan segala kemungkinan baru sedang menanti di balik tikungan. Kisah ini akan menantang kita berhadapan dengan realita sains dan mengguncang moralitas kita. Segala hal yang aneh dan ganjil berpadu dengan yang menakutkan dan mengguncang.
ATAU
State of Fear (Kondisi Ketakutan) Michael Crichton
632 halaman; Rp80.000,-
Benarkah dunia mengalami pemanasan global? Benarkah bencana alam terjadi karena ketidakpedulian pada alam? Bagaimana jika semua itu hanya omong kosong dan cuma alat untuk menakut-nakuti publik dan dijadikan isu sebagai alat memperoleh uang dari kalangan industri?
Peter Evans, pengacara miliuner George Morton yang rajin memberikan sumbangan untuk LSM lingkungan bernama NERF. Tapi Morton belakangan membatalkan sumbangan $10 juta-nya karena menemukan beberapa fakta ganjil tentang lembaga tersebut. Salah satunya dugaan keterlibatan LSM itu dengan organisasi teroris yang berniat menimbulkan tiga bencana alam di seluruh dunia, termasuk gelombang tsunami yang akan melanda Florida. Dibantu agen pemerintah yang bekerja sebagai dosen MIT, asisten George Morton yang cantik, dan anggota NERF yang "tobat", Peter Evans bertualang dari Antartika sampai Kepulauan Solomon untuk menyingkap intrik dan konspirasi di balik bencana alam yang sengaja ditimbulkan untuk menciptakan kondisi ketakutan
Cat and The Stinkwater War (Cat dan Perang Stinkwater)
Kate Saunders
256 halaman; Rp30.000,-
Buku yang harus dibaca oleh penggemar kucing! Dua jempol pokoknya!
Cat terkesiap. Gadis itu merasa punggungnya menggeliat dan melengkung. Tubuhnya menciut--sampai pakaiannya terlepas dan menumpuk di sekelilingnya.
Batu itu terasa hangat, lalu panas, kemudian membakar. Cat menjatuhkannya sambil menjerit, yang terdengar seperti eongan panjang dan serak.
Astaga! Ia berubah jadi kucing!
Tuesday, May 19, 2009
Rekomendasi Buku untuk Liburan Panjang di Akhir Pekan Mei
Posted by editor at 8:11 PM 0 comments
Labels: Rekomendasi
Tuesday, May 12, 2009
Shakespeare dalam Manga
Pertama kali saya berkenalan dengan Shakespeare lewat Romeo and Juliette yang saya tonton filmnya di TVRI, ketika saya masih SD. Film itu dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang sangat membantu saya sebab waktu itu saya tidak bisa berbahasa Inggris. Saya tidak tahu siapa itu William Shakespeare, tapi film Romeo and Juliette ketika itu lumayan membekas di benak saya. Beberapa tahun kemudian, saya baru tahu kalau film itu sejatinya diangkat dari karya seseorang bernama William Shakespeare. Beberapa tahun kemudian (lagi) saya juga baru tahu kalau karya Shakespeare itu bukan novel, novelet atau cerpen, melainkan naskah drama teater. Kesimpulannya: saya lumayan lambat mengenal siapa itu Shakespeare, hehehe….
Ketika kuliah di jurusan Sastra Inggris, agaknya rada memalukan kalau tidak mengenal karya-karya Shakespeare. Terlebih lagi karena dosen-dosen saya kerap menyebut-nyebut namanya. Saya sempat ke perpustakaan kampus dan membaca buku William Shakespeare, dan hasilnya … (sejujurnya) saya bingung! Bahasa yang digunakan masih jadul (atau ‘klasik’, sebutan yang lebih elegan). Bahasa Inggris klasik tidak pernah benar-benar diajarkan di kampus. Untuk memahami sebuah kalimat berbahasa Inggris klasik, saya waktu itu bolak-balik membuka kamus, lumayan melelahkan. Mungkin ini adalah pengakuan dosa paling blak-blakan yang pernah saya lakukan: sewaktu jadi mahasiswa Sastra Inggris, saya lebih suka menonton film yang diangkat dari karya William Shakespeare ketimbang membacanya (semoga Tuhan mengampuni saya). Kisah-kisah yang ditulis Shakespeare bagi saya lebih mudah dipahami dengan menonton televisi. Satu-satunya kalimat yang paling saya ingat dari Shakespeare adalah “What’s in a Name?” (apalah arti sebuah nama?) Ketika Juliette ngomong sendiri di jendela kamarnya, sementara Romeo nguping setelah tresspassing dengan cara lompat pagar. Lain itu, tidak. Alhasil, dari menonton itu: saya mengetahui jalan cerita karya-karya Shakespeare, tapi tidak menghapal kalimat per kalimat -ini hal yang lumayan memalukan sebagai seorang lulusan Sastra Inggris-. Mungkin saya satu-satunya orang yang mengakui hal (memalukan) ini; tapi saya tahu tidak sedikit mahasiswa Sastra Inggris (di Indonesia) yang melakukan hal sama seperti saya. Hanya saja mereka masih punya harga diri untuk tidak mengakuinya hehehehe.
Ketika masih kuliah, saya lebih suka membaca puisi-puisi karya Robert Frost, Emily Dickinson, Oscar Wilde, EE Cummings, dll. Entah kenapa, saya banyak jatuh cinta pada puisi-puisi berbahasa Inggris. Saya juga membaca prosa (novel/cerpen) berbahasa Inggris yang dijadikan bacaan wajib oleh dosen (umumnya karya klasik seperti Gone With The Wind, karya-karya Mark Twain, dll). Karya sastra prosa yang lebih saya nikmati justru lebih banyak berbahasa Indonesia. Waktu itu, saya mirip Sponge Bob, menyerap bacaan sastra Indonesia yang mana pun. Jika ada prosa berbahasa Inggris yang betul-betul saya nikmati maka itu karya moderen seperti serial Harry Potter. Kalau saya merasa sudah terlalu bosan melihat huruf, saya beralih ke komik. Saya punya langganan taman bacaan dekat rumah, di mana saya biasa menyewa komik, kebetulan di sana lebih banyak menyediakan manga (selain Ko Ping Ho). Untuk yang satu ini, saya tidak pemilih. Saya melahap hampir segala jenis manga, baik untuk anak lelaki (seperti Kungfu Boy, Conan, Dragon Ball) maupun untuk anak perempuan (seperti Candy-Candy, Pop Corn, dan manga Serial Cantik).
Kesenangan saya akan komik sampai sekarang masih terjaga. Saya masih membaca ulang Asterix, ikut girang ketika Tin Tin diterbitkan ulang (meskipun kalimat “sejuta topan badai” diganti, hiks…), juga mengikuti beberapa manga terbaru seperti Miko, Vegabound dan Showa Man. Lebih dari itu, saya girang betul ketika dihadiahi seorang teman tiga buku membuat komik karya Scott McCloud: Understanding Comics, Reinventing Comics dan Making Comics. Akhir-akhir ini, saya juga sangat menikmati membaca novel grafis seperti karya-karya Frank Miller dan Marjane Satrapi. Entah kenapa, segala hal yang lebih visual (ada gambarnya) bagi saya sangat menghibur.
Ketika saya tahu karya-karya William Shakespeare disajikan dalam bentuk manga, reaksi saya pertama adalah: “hah?!” dengan heran. Apalagi ketika saya baca balon di manga (Bahasa Inggris) ini ternyata berbahasai Inggris klasik alias aseli tulisan Shakespeare (yang dulu sempat bikin saya bingung). Saya bertanya-tanya sendiri: apakah pembaca (Bahasa Inggris) akan memahaminya? Lalu, tiba-tiba saya tersadar: hey, ini Shakespeare dalam bentuk manga, jadi sesulit apapun karyanya, visual manga akan sangat membantu pembaca: inilah keuntungannya. Seperti menonton filmnya, hanya saja dalam film, penonton tidak bisa memperhatikan kalimat per kalimat dialog, terutama jika itu adalah Bahasa Inggris klasik, dan jika pun ada subtitle Bahasa Indonesia, penonton hanya diberikan waktu tiga hingga lima detik untuk membaca tiga baris subtittle. Lain halnya dengan membaca Shakespeare manga karya Adam Sexton dan Yali Lin ini.
Saat ini ada empat judul Shakespeare versi manga yang telah terbit dalam Bahasa Indonesia: Hamlet, Macbeth, Romeo & Juliet, dan Julius Caesar. Meskipun membaca Shakespeare dalam Bahasa Indonesia (bagaimanapun) berbeda “rasa” dengan membaca bahasa aseli, tapi Shakespeare versi manga bisa menjadi pintu perkenalan kita sebelum benar-benar membaca karya Shakespeare dengan bahasa Inggris klasik. Minimal, memperkenalkan jalan cerita mahakarya ini secara lebih intens kalimat per kalimat.
Sebuah karya sastra begitu dipuja, sehingga orang mencari cara agar bisa dinikmati semua kalangan dan semua umur. Itulah karya William Shakespeare.
Tentang Ratih Kumala:
Ratih Kumala lahir di Jakarta, 4 Juni 1980. Ia lahir dan besar di keluarga Betawi-Jawa. Penulis yang menikahi Eka Kurniawan ini telah menerbitkan 3 buku. Novel terbarunya, Kronik Betawi, segera terbit pada bulan Juni 2009.
Posted by editor at 11:05 AM 0 comments
Labels: Ulasan
Tuesday, May 5, 2009
Brisingr~Christopher Paolini
“Buku yang membuat saya rela bergadang.”---Washington Post.
Dan tepat itulah yang saya lakukan satu setengah minggu ini. Brisingr edisi Indonesia yang tebalnya kurang-lebih 900 halaman itu membuat saya tidur tengah malam selama berhari-hari karena adegan-adegannya yang seru.
Saat membaca Eragon, saya merasa wagu karena banyak kemiripannya dengan The Lord of the Rings---mungkin juga karena masa itu trilogi LOTR juga lagi naik daun. Selain itu, tulisan Paolini pun masih terasa sangat kekanakan. Saat Eldest, dialog-dialog panjang pelajaran Eragon terasa membosankan, dan petualangan Roran terasa lebih seru. Tapi pada Brisingr, semua elemen cerita terasa seru dan perlu. Brisingr menyuguhkan petualangan demi petualangan, perang demi perang, perkelahian demi perkelahian baik secara fisik langsung maupun dengan sihir. Semuanya seru dan intens, dan meskipun ukuran bukunya yang hampir 900 halaman tampak masif, secara keseluruhan buku ini sama sekali tidak membosankan.
Paolini jelas telah berkembang dengan baik sebagai penulis (dan kalau dilihat dari fotonya, sebagai pemuda juga... hehehe). Ia bisa menautkan simpul-simpul lepas dan menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang ada pada buku-buku sebelumnya. Ia bisa memberi kilas balik dan penjelasan dengan sangat baik dengan menyelipkannya pada dialog-dialog, sehingga pembaca mengerti dan tidak merasa digurui. Ia bisa memberi gambaran sejelas film action pada adegan-adegan laganya. Dan utamanya, ia berhasil menciptakan dunia Alagaësia yang utuh, baik itu dunia sihirnya maupun dunia manusianya. Saat membaca Brisingr, saya tidak lagi berusaha membanding-bandingkan Kull dengan Uruk Hai atau elf di Alagaësia dengan elf di Middle Earth.
Cerita dibuka dengan seru saat Eragon membantu Roran merebut kembali Katrina dari tangan para Ra'zac. Tekanan kengerian ditambah Paolini dengan meninggalkan Eragon di Helgrind, sarang Ra'zac tanpa Saphira yang harus membawa pulang Roran dan Katrina ke markas Varden. Pertempuran Eragon dan Ra'zac yang seru diikuti kisah Eragon (dan Arya) menjelajah Kekaisaran untuk kembali ke Varden serta apa yang dialaminya saat itu sangat patut disimak.
Sementara itu di markas kaum Varden, Nasuada harus mempertahankan wibawa dan kepemimpinannya dengan Duel Pisau Panjang yang mengerikan. Dan Roran memutuskan untuk mengabdikan diri padanya (kedua hal ini sebetulnya tidak berkaitan secara langsung). Roran lalu terlibat dalam berbagai pertempuran “kecil” dan membuktikan dirinya pantas menjadi pejuang dan pemimpin.
Saat kembali ke Varden, Eragon (dan Saphira) harus menghadapi Murtagh dan Thorn sekali lagi. Dalam pertempuran kali ini Eragon dan Saphira yang dibantu dua belas elf perapal mantra dan Arya berhasil mengusir dan mengalahkan Murtagh dan Thorn. Tapi pertempuran “di tanah” mengalami kekacauan besar, saat pasukan Varden mendapati Galbatorix telah menciptakan prajurit-prajurit perang yang tak bisa mati kecuali dipenggal. Meskipun berhasil menghancurkan pasukan Galbatorix, kaum Varden mengalami kerugian besar.
Usai menikahkan Roran dan Katrina, Eragon ditugasi oleh Nasuada untuk pergi kepada kaum kurcaci di Pegunungan Beor untuk memastikan raja kurcaci yang baru mendukung perjuangan kaum Varden. Sekali lagi Eragon dan Saphira harus berpisah. Eragon pergi ditemani Nar Garhzvog, pemimpin Kull. Sampai di tempat saudara angkatnya, Grimzborith Orik yang mengepalagi klan Ingeitum, Eragon mendapati bahwa ia mungkin harus mengikuti rapat kaum kurcaci yang bisa berlangsung berminggu-minggu dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk mempercepat prosesnya.
Saat tiba di kota bawah tanah kaum kurcaci, ternyata secara tidak langsung Eragon dapat mempercepat proses pemilihan raja itu karena percobaan pembunuhan yang dilancarkan padanya oleh salah satu pemimpin klan. Orik terpilih menjadi raja baru, dan dukungannya pada kaum Varden bisa dipastikan. Eragon dan Saphira menghadiri upacara penobatannya, lalu terbang ke kota kaum elf, Ellesmera, di tengah hutan Du Weldenvarden.
Di sana, saat bertemu dengan gurunya, Oromis dan naganya Glaedr, Eragon mendapati bahwa ternyata dirinya bukan putra Morzan dan adik Murtagh. Dengan lega, Eragon mengetahui bahwa ayahnya ternyata Brom, yang ia anggap gurunya yang pertama. Berikutnya, Eragon---yang sepanjang berbagai pertempuran merasa tidak memiliki senjata yang tepat sejak Za'roc diambil Murtagh dari tangannya---berusaha membujuk elf tua Rhunon untuk membuatkan pedang baginya. Rhunon sudah bersumpah tidak akan membuat pedang lagi sejak senjata buatannya dipakai untuk membantai naga dan penunggangnya oleh Galbatorix. Tapi, kalaupun ia mau melanggar sumpahnya, ia tidak memiliki bahan untuk membuat pedang lagi karena bahan tersebut besi yang terkandung dalam komet yang jatuh di Du Weldenvarden.
Mengikuti saran Solembum, si kucing jadi-jadian, Eragon dan Saphira mencari besi tersebut di bawah akar pohon Menoa yang tertua di Du Weldenvarden. Mereka membangkitkan kemarahan pohon tersebut, tapi berhasil meyakinkannya untuk menyerahkan besi itu. Semalaman Eragon menjadi “alat” Rhunon, yang untuk menjaga sumpahnya tidak menempa sendiri besi tersebut, untuk membuat pedangnya sendiri. Paginya, pedang biru seperti sisik Saphira telah jadi. Pedang terindah yang “dibuat” Rhunon. Eragon menamai pedang itu Brisingr, alias api dalam bahasa kuno. Setiap kali ia mengucapkan nama pedang tersebut, pedang itu menyalakan api biru.
Kunjungan Eragon dan Saphira pada guru-guru mereka juga memberikan pengetahuan baru tentang Eldunari naga, jantung dari jantung naga, tempat mereka menyimpan seluruh kesadaran dan pengetahuan mereka. Mereka juga mengetahui bahwa kekuatan Galbatorix datang dari kumpulan Eldunari yang ditawannya. Pada akhirnya, sebelum Oromis dan Glaedr ikut terbang untuk berperang bersama Ratu Islanzadi, Glaedr memberikan Eldunari-nya untuk dijaga Eragon dan Saphira.
Kembali ke kaum Varden, Eragon dan Saphira segera terlibat dalam perang menjatuhkan kota Feinster. Reuni dengan Arya, Roran, dan yang lain yang awalnya gembira harus diakhiri dengan sedih saat lewat Eldunari Glaedr, mereka mendapat kejutan besar.
Demikian buku ketiga ini ditutup dengan baik oleh Paolini, meninggalkan banyak pertanyaan untuk dijawab pada buku keempat. Antara lain pertanyaan yang berkaitan dengan ramalan mengenai nasib Eragon yang beberapa kali dikutuk untuk meninggalkan Alagaësia. Apakah setelah menaklukkan Galbatorix, satu-satunya penunggang naga yang merdeka itu harus meninggalkan tanahnya? Atau jangan-jangan Galbatorix memang tak terkalahkan? Rasanya pertanyaan terakhir ini---meskipun apa pun mungkin saja terjadi di dunia fiksi---tidak mungkin terjadi. Semua kisah epik kebaikan vs. kejahatan pasti berakhir dengan kekalahan pihak yang jahat. Tapi bagaimana si jahat mati? Semua pasti menunggu-nunggu pertempuran akhir antara Eragon dan Saphira vs. Galbatorix dan Shruikan. Sssshhh... penantian yang panjang pun dimulai...
Posted by Donna at 2:58 AM 1 comments
Labels: Ulasan
Eiffel, Tolong!~Clio Freya
Ada beberapa buku yang membuat saya bangga terlibat dalam kelahirannya. Novel ini salah satunya. Bangganya saya itu berkaitan dengan betapa rapinya novel ini. Sebenarnya, selain untuk meluruskan beberapa titik-koma, novel ini tidak perlu editor.
Kenapa rekomendasi saya bisa begitu berbunga-bunga? Saya tidak biasa memuji, bahkan agak muak dengan novel-novel yang dipuja-puji orang. Euh, apa novel-novel itu tidak bisa "Speak for themselves"? Jadi, moga-moga puji-pujian saya ini tidak membuat yang membaca resensi ini malah jadi muak pada "Eiffel, Tolong!"
Bisa dibilang menjual kata "Eiffel", yang jadi magnet buat pembaca di mana-mana di seluruh dunia, novel ini memulai dirinya dengan judul yang tepat. Judul juga bisa mengantar pembaca kecele menduga ini novel cinta macam "Eiffel, I'm in Love". Tapi, tidak!
Bersiapkan terseret dalam dunia thriller yang seru, penuh adegan laga, dan spionase macam serial Alias, CSI, atau Mission Impossible. (Salah satu pertanyaan saya waktu bertemu pengarangnya adalah, "Kamu suka nonton Alias, ya?"--soalnya saya suka sekali serial itu.) Tokoh-tokohnya yang masih remaja--dan mengakibatkan buku ini terpaksa masuk genre teenlit--tidak mengurangi keseruan cerita. Tapi jangan bayangkan juga ceritanya jadi kayak teen spy atau seri Alex Rider-nya Horrowitz.
Anyway, adalah Fay, remaja Jakarta kelas 2 SMA yang berlibur ke Paris sendirian. Tadinya dia ke Paris karena ikut ibunya yang tugas ke sana, tapi detik terakhir tugas ibunya dipindah ke Brazil. Rencananya Fay akan ikut sekolah bahasa Prancis selama 2 minggu, lalu ikut tur selama 3 hari.
Semangat, semangat, semangat! Bagi orang yang pernah menghabiskan 3 hari di Paris, saya langsung membayangkan kegiatan Fay. Apa dia ke Eiffel, Louvre, dkk?
Salah besar, sodara-sodara! Fay ternyata terjebak dalam konspirasi bisnis dan militer mengerikan yang dijalankan oleh Andrew, konglomerat yang mau menghalalkan segala cara demi berhasilnya bisnis yang dijalankannya.
Dianggap mirip sekali dengan keponakan saingan bisnisnya yang orang Malaysia, Andrew menculik Fay dan men-trainingnya sehingga menjadi fotokopi sang keponakan. Dua minggu yang seharusnya jadi 2 minggu terindah dalam hidup Fay berubah bersimbah air mata.
Fay yang gak hobi olahraga dipaksa lari lintas alam dan push-up setiap hari. Fay yang gak pernah dandan dipaksa belajar memoles wajah dan memakai sepatu hak tinggi. Dan Andrew tidak segan-segan menerapkan hukuman fisik bila Fay menolak.
Tapi bukannya tidak ada sparks yang menyenangkan. Fay berjumpa Reno dan Ken. Ken, keponakan Andrew, menjadi mentornya. Sementara Reno adalah teman les bahasanya. Meski awal hubungannya dengan Ken suram, pemuda ini malah membuatnya merasakan sekilas summer love. Sementara Reno selalu melindunginya bak kakak.
Saat Fay sudah sempurna berubah menjadi Sheena, si gadis Malaysia, ia diterjunkan masuk ke rumah saingan bisnis Andrew. Tapi tugas yang mustahil itu akhirnya...
Wah, seru bin asyik banget membaca novel yang sangat rapi ini. Serasa nonton film! Dan... baiklah saya hentikan resensi ini sebelum lebih memuji lagi.
Posted by Donna at 2:55 AM 5 comments
Nicholas Evans
Saya baru menginjak bab kelima The Divide, saat terpesona sungguh pada kepiawaian Nicholas Evans melukiskan emosi tokoh-tokohnya. Saya benar-benar bisa merasa ikut berada dalam setting cerita, dan terlibat dalam kejemuan yang dialami sang tokoh, Sarah Cooper.
Setting-nya sebagai berikut: pagi hari, Sarah ikut sarapan bersama Ben, mantan suaminya dan sheriff lokal. Mereka berada di Missoula, Montana, akan menjemput jenazah putri Sarah dan Ben. Evans menggambarkan kejadian itu dengan sangat detail, berapa pil penghilang rasa sakit yang ditelan Sarah, apa yang dialaminya sejak malam sebelumnya, sampai ke roti gandum yang dipesannya tapi tak mampu ditelannya. Saya langsung bisa berempati pada tokoh ini, dia datang untuk menjemput putrinya yang sudah meninggal, tapi terpaksa melayani basa-basi dengan mantan suami dan sheriff lokal itu. Sungguh dahsyat.
Tapi kemudian Evans mulai menarik-ulur rasa empati dan simpati pembaca pada tokoh-tokohnya. Bagaimana sebenarnya Sarah yang sepertinya patut dikasihani, ternyata sangat dingin dan tinggi hati. Bagaimana Ben yang sepertinya hangat dan menjadi korban, ternyata juga brengsek. Jadi mana yang benar? Evans sangat piawai menciptakan tokoh-tokoh yang abu-abu, dan justru malah jadi sangat duniawi dan wajar. Semua orang di dunia ini toh abu-abu, mejikuhibiniu, bukan? Orang-orang yang wajar bukanlah tokoh sinetron yang benar-benar hitam-putih, yang jahat benar-benar jahat, yang baik benar-benar baik. Weks, itu cuma terjadi di sinetron! Benar-benar dibuat-buat.
Ternyata ada yang menyebut Evans “the animal writer”. Apa pasal? Dalam dua dari empat novelnya, Evans mengambil tema binatang: The Horse Whisperer dan The Loop. Sementara dari judulnya saja The Horse Whisperer sudah tampak berkutat di dunia kuda, The Loop mengulik masalah serigala yang akan punah. Tapi apa benar Evans cuma menulis tentang binatang? “Kalaupun ada binatang yang saya bahas, itu the human animal,” kata Evans kecewa dalam situsnya www.nicholasevans.com. Sesungguhnya Evans justru sangat tertarik pada manusia, hubungan-hubungan antara para anggota keluarga, suami-istri, ayah-ibu-anak, kakak-adik, dan antarsahabat. Semua novelnya mengisahkan ikatan emosi yang sangat kuat antarmanusia. Ia juga sangat kuat menggambarkan emosi-emosi dan perdebatan yang muncul dalam diri manusia saat terjadi konflik benar-salah.
Ambil contoh novel ketiganya, The Smoke Jumper. Dalam novel ini Evans mengisahkan pergulatan kisah cinta segitiga yang tidak biasa. Bagaimana dua sahabat Ed dan Connor berebut cinta seorang gadis. Mana yang benar dan mana yang salah saat Connor jatuh cinta pada pacar sahabatnya? Bagaimana perasaan-perasaan itu memengaruhi tugas mereka sebagai smoke jumper alias pemadam kebakaran hutan? Bagaimana perasaan ketiga tokoh ini saat Ed kemudian menjadi buta? Evans dengan cerdik menempatkan tokoh-tokohnya sebagai tokoh sehari-hari---the guys next door---yang mungkin saja menjadi Anda atau saya. Semua memiliki sisi baik, semua sulit untuk dibenci, sehingga pembaca benar-benar bisa merasa ikut menjadi tokoh-tokoh tersebut dan terseret dalam pusaran emosi mereka.
Omong-omong soal sisi baik dalam tiap tokoh, rupanya kebiasaan Evans menciptakan tokoh demikian sudah dimulai sejak novel pertamanya, The Horse Whisperer. Bagaimana si ibu bisa saling jatuh cinta dengan si penjinak kuda, saat sebenarnya pernikahannya baik-baik saja dan suaminya sempurna? Pembaca ikut menangis karena tahu si ibu tak bisa meninggalkan suaminya demi si penjinak kuda, karena ya dia tidak bisa melakukan itu. Sisi emosional itulah yang membuat novel ini sangat kuat.
The Divide mengupas lebih dalam hubungan antar-anggota keluarga. Bagaimana kisahnya Ben dan Sarah dan anak-anak mereka. Bagaimana si sulung Abigail yang sempurna bisa berubah menjadi eco-terrorist, bahkan kemudian ditemukan sudah membeku dalam es di pegunungan Montana. Dalam novel keempat ini Evans lebih luwes dalam memberikan alasan-alasan bagi perpecahan keluarga Ben dan Sarah, tapi sayangnya jadi sedikit mengurangi tarik-ulur emosional yang dirasakan pembaca dalam The Horse Whisperer dan The Smoke Jumper.
Yang tidak berkurang adalah perencanaan dalam pengaturan plot. Saat membaca The Divide, saya menyadari betapa jagoannya Evans merangkai plot dan cerita serta menerakan emosi. Semua cerita terasa pas, tidak berlebihan atau berpanjang-panjang (salah satu yang sempat saya rasakan saat membaca The Smoke Jumper, sehingga novel ini meskipun sangat indah bagi saya agak antiklimaks). Saya sempat membalik-balik lagi beberapa adegan yang saya baca di The Divide. Wow, pasti Evans berpikir panjang sebelum menempatkan adegan ini, atau mengarang adegan itu. Semua ada pada tempatnya dengan porsi yang tepat. Inilah penulis yang membuat perencanaan dulu sebelum menulis, penulis yang menggodok dulu sampai matang, sehingga hasil tulisannya tidak bisa tidak menjadi hiburan yang berbobot bagi pembacanya.
Dan pujian terakhir bagi Evans adalah kepeduliannya pada lingkungan. Meskipun lahir dan besar di Inggris, Evans sangat tertarik pada wilayah Midwestern Amerika, tepatnya Montana. Ia menggambarkan daerah yang masih berhutan lebat itu dengan sangat indah. Kegiatan-kegiatan alamnya pun dia ceritakan dengan fasih. Pembaca diajak ikut naik gunung, kayaking, rafting, dan berkuda. Semua kegiatan alam bebas yang menantang dan seru itu membangkitkan sisi petualangan dalam diri pembaca. Dalam The Divide, Evans lebih menekankan lagi pentingnya pelestarian lingkungan dengan menyinggung langsung soal illegal logging dan konferensi-konferensi lingkungan hidup. Kalau salah satu penulis besar---Michael Crichton---menyinggung soal pemanasan global dalam rangka cerita yang jauh lebih bombastis dan multinasional dalam State of Fear, Evans menyampaikan pesan lingkungan hidupnya dengan mengajak pembaca turun langsung ke lapangan, menginjak tanah subur Montana dan mengisi paru-paru dengan aroma hutan yang menyegarkan.