Oleh: Ratih Kumala
Pertama kali saya berkenalan dengan Shakespeare lewat Romeo and Juliette yang saya tonton filmnya di TVRI, ketika saya masih SD. Film itu dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang sangat membantu saya sebab waktu itu saya tidak bisa berbahasa Inggris. Saya tidak tahu siapa itu William Shakespeare, tapi film Romeo and Juliette ketika itu lumayan membekas di benak saya. Beberapa tahun kemudian, saya baru tahu kalau film itu sejatinya diangkat dari karya seseorang bernama William Shakespeare. Beberapa tahun kemudian (lagi) saya juga baru tahu kalau karya Shakespeare itu bukan novel, novelet atau cerpen, melainkan naskah drama teater. Kesimpulannya: saya lumayan lambat mengenal siapa itu Shakespeare, hehehe….
Ketika kuliah di jurusan Sastra Inggris, agaknya rada memalukan kalau tidak mengenal karya-karya Shakespeare. Terlebih lagi karena dosen-dosen saya kerap menyebut-nyebut namanya. Saya sempat ke perpustakaan kampus dan membaca buku William Shakespeare, dan hasilnya … (sejujurnya) saya bingung! Bahasa yang digunakan masih jadul (atau ‘klasik’, sebutan yang lebih elegan). Bahasa Inggris klasik tidak pernah benar-benar diajarkan di kampus. Untuk memahami sebuah kalimat berbahasa Inggris klasik, saya waktu itu bolak-balik membuka kamus, lumayan melelahkan. Mungkin ini adalah pengakuan dosa paling blak-blakan yang pernah saya lakukan: sewaktu jadi mahasiswa Sastra Inggris, saya lebih suka menonton film yang diangkat dari karya William Shakespeare ketimbang membacanya (semoga Tuhan mengampuni saya). Kisah-kisah yang ditulis Shakespeare bagi saya lebih mudah dipahami dengan menonton televisi. Satu-satunya kalimat yang paling saya ingat dari Shakespeare adalah
“What’s in a Name?” (apalah arti sebuah nama?) Ketika Juliette ngomong sendiri di jendela kamarnya, sementara Romeo nguping setelah
tresspassing dengan cara lompat pagar. Lain itu, tidak. Alhasil, dari menonton itu: saya mengetahui jalan cerita karya-karya Shakespeare, tapi tidak menghapal kalimat per kalimat -ini hal yang lumayan memalukan sebagai seorang lulusan Sastra Inggris-. Mungkin saya satu-satunya orang yang mengakui hal (memalukan) ini; tapi saya tahu tidak sedikit mahasiswa Sastra Inggris (di Indonesia) yang melakukan hal sama seperti saya. Hanya saja mereka masih punya harga diri untuk tidak mengakuinya hehehehe.
Ketika masih kuliah, saya lebih suka membaca puisi-puisi karya Robert Frost, Emily Dickinson, Oscar Wilde, EE Cummings, dll. Entah kenapa, saya banyak jatuh cinta pada puisi-puisi berbahasa Inggris. Saya juga membaca prosa (novel/cerpen) berbahasa Inggris yang dijadikan bacaan wajib oleh dosen (umumnya karya klasik seperti
Gone With The Wind, karya-karya Mark Twain, dll). Karya sastra prosa yang lebih saya nikmati justru lebih banyak berbahasa Indonesia. Waktu itu, saya mirip Sponge Bob, menyerap bacaan sastra Indonesia yang mana pun. Jika ada prosa berbahasa Inggris yang betul-betul saya nikmati maka itu karya moderen seperti serial
Harry Potter. Kalau saya merasa sudah terlalu bosan melihat huruf, saya beralih ke komik. Saya punya langganan taman bacaan dekat rumah, di mana saya biasa menyewa komik, kebetulan di sana lebih banyak menyediakan manga (selain
Ko Ping Ho). Untuk yang satu ini, saya tidak pemilih. Saya melahap hampir segala jenis manga, baik untuk anak lelaki (seperti Kungfu Boy, Conan, Dragon Ball) maupun untuk anak perempuan (seperti
Candy-
Candy, Pop Corn, dan manga
Serial Cantik).
Kesenangan saya akan komik sampai sekarang masih terjaga. Saya masih membaca ulang
Asterix, ikut girang ketika
Tin Tin diterbitkan ulang (meskipun kalimat “sejuta topan badai” diganti, hiks…), juga mengikuti beberapa manga terbaru seperti
Miko,
Vegabound dan
Showa Man. Lebih dari itu, saya girang betul ketika dihadiahi seorang teman tiga buku membuat komik karya Scott McCloud:
Understanding Comics, Reinventing Comics dan
Making Comics. Akhir-akhir ini, saya juga sangat menikmati membaca novel grafis seperti karya-karya Frank Miller dan Marjane Satrapi. Entah kenapa, segala hal yang lebih visual (ada gambarnya) bagi saya sangat menghibur.
Ketika saya tahu karya-karya William Shakespeare disajikan dalam bentuk manga, reaksi saya pertama adalah: “hah?!” dengan heran. Apalagi ketika saya baca balon di manga (Bahasa Inggris) ini ternyata berbahasai Inggris klasik alias aseli tulisan Shakespeare (yang dulu sempat bikin saya bingung). Saya bertanya-tanya sendiri: apakah pembaca (Bahasa Inggris) akan memahaminya? Lalu, tiba-tiba saya tersadar: hey, ini Shakespeare dalam bentuk manga, jadi sesulit apapun karyanya, visual manga akan sangat membantu pembaca: inilah keuntungannya. Seperti menonton filmnya, hanya saja dalam film, penonton tidak bisa memperhatikan kalimat per kalimat dialog, terutama jika itu adalah Bahasa Inggris klasik, dan jika pun ada subtitle Bahasa Indonesia, penonton hanya diberikan waktu tiga hingga lima detik untuk membaca tiga baris subtittle. Lain halnya dengan membaca Shakespeare manga karya Adam Sexton dan Yali Lin ini.
Saat ini ada empat judul Shakespeare versi manga yang telah terbit dalam Bahasa Indonesia: Hamlet, Macbeth, Romeo & Juliet, dan Julius Caesar. Meskipun membaca Shakespeare dalam Bahasa Indonesia (bagaimanapun) berbeda “rasa” dengan membaca bahasa aseli, tapi Shakespeare versi manga bisa menjadi pintu perkenalan kita sebelum benar-benar membaca karya Shakespeare dengan bahasa Inggris klasik. Minimal, memperkenalkan jalan cerita mahakarya ini secara lebih intens kalimat per kalimat.
Sebuah karya sastra begitu dipuja, sehingga orang mencari cara agar bisa dinikmati semua kalangan dan semua umur. Itulah karya William Shakespeare.
Tentang Ratih Kumala:Ratih Kumala lahir di Jakarta, 4 Juni 1980. Ia lahir dan besar di keluarga Betawi-Jawa. Penulis yang menikahi Eka Kurniawan ini telah menerbitkan 3 buku. Novel terbarunya, Kronik Betawi, segera terbit pada bulan Juni 2009.