Wednesday, October 28, 2009

तेंतंग बुकू

A book is a set or collection of written, printed, illustrated, or blank sheets, made of paper, parchment, or other material, usually fastened together to hinge at one side. A single sheet within a book is called a leaf, and each side of a leaf is called a page. A book produced in electronic format is known as an e-book.

Books may also refer to a literature work, or a main division of such a work. In library and information science, a book is called a monograph, to distinguish it from serial periodicals such as magazines, journals or newspapers. The body of all written works including books is literature.

In novels, a book may be divided into several large sections, also called books (Book 1, Book 2, Book 3, etc).

A lover of books is usually referred to as a bibliophile, a bibliophilist, or a philobiblist, or, more informally, a bookworm.

A store where books are bought and sold is a bookstore or bookshop. Books can also be borrowed from libraries.


Wednesday, July 29, 2009

Palace of Illusions ~ Chitra Banerjee Divakaruni

“Mahabarata dari sudut pandang Dropadi.”

Waw! Sebagai penggemar Mahabarata saya sudah membaca berbagai versinya. Mulai dari cerita bergambar, sampai kitab lusuh yang berpanjang-panjang memuat percakapan Arjuna dan Kresna saat Arjuna dilanda kebimbangan di medan perang. Tapi belakangan saya agak malas membaca berbagai versi baru Mahabarata yang muncul di toko buku. What's new?

Inilah yang “new”, Mahabarata dari sudut pandang Dropadi. Tokoh kontroversial yang selama ini sangat sedikit diulas, meskipun perannya dalam mencetuskan perang raya di padang Kurusetra lumayan besar. Dan tentu saja versi Mahabarata yang ini sangat baru, karena dipandang dari mata seorang perempuan. Waw! (Sekali lagi.) Divakaruni benar-benar iseng, nekat, sangat imajinatif, dan berani! Dan hasilnya adalah kisah yang benar-benar baru. Penuh rasa, penuh detail, penuh emosi, sangat perempuan. Saya sangat menikmati membaca Mahabarata yang ini.

Diawali dengan latar belakang Dropadi (saya merasa agak aneh dengan penulisan nama ini karena lebih terbiasa dengan “Drupadi”) yang jarang-jarang terungkap, kisah ini awalnya mengalir mulus dan riang. Dropadi cilik sampai remaja adalah gadis cerdas yang selalu ingin tahu dan tidak sabaran. Juga agak tidak pede karena kulitnya hitam. Tapi dia diselimuti cinta kakaknya, Drestadyumna (susah bener, untung sepanjang cerita dia disebut Dre saja) dan sahabatnya Krishna.

Dre dan Dropadi lahir karena ayah mereka, Raja Dropada, ingin balas dendam pada Dorna, brahmana guru para Pandawa dan Korawa. Oleh karena itu Dre dididik komplet soal pemerintahan dan pertarungan, sementra Dropadi nebeng pendidikannya. Tapi sebagai gadis, Dropadi terpaksa tidak bisa mengikuti seluruh langkah Dre, dan harus juga belajar hal-hal kewanitaan.

Suatu saat Dropadi ikut pengasuhnya ke seorang brahmana peramal. Oleh sang brahmana, Byasa (yang menuliskan kisah Mahabarata, dan ikut berperan di dalamnya) Dropadi diberitahu dia akan memiliki 5 suami, dan masa depannya akan heboh banget, terutama karena sifatnya yang tidak sabaran dan pemarah. Dropadi tentu tidak percaya pada ramalan itu. Ia hanya senang karena sang brahmana memberinya nama baru, Panchali.

Selang beberapa lama, Raja Dropada membuat sayembara untuk menikahkan Dropadi. Sasarannya adalah Arjuna, supaya para Pandawa bisa menjadi sekutu mereka saat konfrontasi dengan Drona datang. Saat sayembara, Dropadi menghina Karna (sahabat Duryudana, Raja Angga dan yang disangka anak kusir kereta). Mulailah hubungan cinta dan benci keduanya. Seperti yang diinginkan, Arjuna memenangkan Dropadi dan membawanya kepada saudara-saudaranya. Tak disangka, di pintu rumah, gurauan Bima disambut Kunti (ibu para Pandawa) dengan “Apa pun yang kalian bawa itu harus dibagi untuk kelima putraku.” Dengan demikian jadilah Dropadi istri kelima Pandawa, sesuai ramalan Byasa. Dengan pengaturan tertentu, Dropadi berganti suami setiap satu tahun sekali.

Para Pandawa membawa Dropadi ke Hastinapura, lalu ke daerah yang diberikan Drestarata si raja buta kepada mereka. Di daerah baru itu mereka membangun Istana Khayalan, tempat yang sangat dicintai Dropadi. Wilayah yang asalnya gersang itu pun segera menjadi makmur, dan disebut Indraprastha.

Bencana datang dalam bentuk permainan dadu. Saat memenuhi undangan Duryudana untuk datang ke Hastinapura, Yudistira kalah main dadu dan kehilangan segalanya; kekayaan, istana, adik-adiknya, dan bahkan Dropadi. Dropadi diseret ke ruang singgasana, dan akan ditelanjangi. Dengan bantuan dewata, niat jahat itu gagal. Dropadi bersumpah tidak akan menyisir rambutnya lagi sebelum mengeramasinya dengan darah para Korawa.

Para Pandawa terbuang ke hutan selama 12 tahun. Dropadi menyertai suami-suaminya. Di tahun ke-13, mereka bersembunyi di istana Wirata. Selanjutnya menyusun kekuatan untuk menyerang para Korawa.

Di bagian ini cerita menjadi gelap karena Divakaruni dengan piawai memaparkan dendam dan kebencian perempuan yang dipermalukan. Perempuan yang harus mendorong para lelakinya untuk membela kehormatan dirinya. Perempuan yang berusaha dengan cara apa pun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Perempuan yang mengerikan.

Perang pecah, dan berakhir mengerikan. Meskipun Pandawa menang, tapi mereka kehilangan makna kemenangan itu sendiri. Saat mereka memerintah Hastinapura dan menjadikannya kerajaan yang makmur sekalipun, bayang-bayang dosa-dosa perang tidak bisa meninggalkan mereka.

Secara garis besar, kisah ini sama sekali tidak melenceng dari Mahabarata yang saya kenal. Tapi bumbu-bumbunya membuat kisah ini berbeda. Dan makna yang tersirat pada kisah ini sangat jelas. Belajarlah mengontrol emosi, belajarnya menjadi dewasa, buanglah dendam. Dan tentu saja, tidak ada manusia yang sempurna. Selain itu kisah cinta Dropadi dengan lelaki-lelakinya juga sangat menarik. Utamanya hubungannya dengan Karna dan Krishna. Betapa Dropadi mencintai Krishna secara platonis, selalu kehilangan Krishna, selalu ingin didampingi Raja Dwaraka itu. Sementara dengan Karna, hati Dropadi terbelah. Sedari remaja dia naksir sang Raja Angga, tapi takdir menetapkan mereka selalu berseberangan. Di detik terakhir, Dropadi baru tahu bahwa Karna pun mencintainya, tapi sudah takdir Karna untuk mati di padang Kurusetra.

Anyway, siapa pun yang tertarik pada Mahabarata atau pada seluk-beluk gelap pikiran perempuan harus membaca buku ini. It's a page turner, jelas tidak rugi menguliknya.

Sunday, July 12, 2009

Khatulistiwa-Edward Stefanus Murdani

Di negara kepulauan terbesar di dunia ini, sebetulnya menyedihkan tidak banyak novel yang menjadikan laut, berenang, berlayar, dan main-main air sebagai latar belakangnya. Syukurlah ada Khatulistiwa.

Tema pelayaran erat sekali membungkus semua alur cerita novel ini. Khatulistiwa adalah nama perahu layar mungil yang dimiliki Alex, tokoh utamanya. Yah, meskipun Indonesia negara kepulauan, tapi nggak semua orang di negara ini bisa punya perahu sih. Alex kebetulan beruntung karena kakeknya yang pengusaha perkapalan besar (jenis tanker gitu kali) mewariskan perahu layar ini pada cucu semata wayangnya.

Alex lebih banyak menghabiskan waktunya di atas Khatulistiwa dan berlayar mengelilingi Kepulauan Seribu di utara Jakarta. Pasalnya, dia memang gerah di rumah karena orangtuanya acap bertengkar soal ini-itu. Selain itu, Alex juga “menghindar” dari Siska, cewek yang ditaksirnya, karena mendapat peringatan dari ibu cewek itu bahwa Siska sudah dijodohkan dengan Randy, anak teman bisnis keluarga mereka.

Saat libur kelulusan SMA, Alex berniat berlayar agak jauh ke Kepulauan Karimun Jawa di utara Semarang, dan pulang untuk minta izin orangtuanya. Tak disangka, begitu sampai di rumah, dia menyaksikan orangtuanya sedang bertengkar dan ayahnya menyebut dirinya anak haram. Bukan hanya itu, ayahnya juga memukul ibunya. Alex balik memukul ayahnya, lalu lari kembali ke Khatulistiwa.

Setelah mengetahui ayah kandungnya ternyata tinggal di Kepulauan Natuna, Alex putar haluan ke utara, berniat pergi ke kepulauan dekat Singapura itu untuk mencari ayahnya. Siska ingin ikut, karena ingin menjauh juga dari Randy.

Mulailah kedua remaja itu menyusun rencana. Alex mengajari Siska berbagai hal mengenai pelayaran dan cara menjalankan kapal. Siska menyetok gudang Khatulistiwa dengan berbagai makanan enak untuk bekal selama perjalanan.

Persiapan mereka diganggu Randy yang sempat meracun Skipper—anjing golden retriever kesayangan Alex. Untung Skipper bisa diselamatkan.

Alex dan Siska bekerja keras supaya bisa berangkat secepatnya, tapi suatu malam Siska muncul dengan keadaan kacau balau, mengaku baru akan diperkosa Randy. Keadaan itu memaksa mereka untuk segera berlayar, siap atau tidak.

Perjalanan sampai ke Kepulauan Seribu cukup lancar. Tapi sampai di Pulau Sepa, Randy dan kawanannya menghadang mereka, memukuli Alex, dan membawa Siska. Dengan upaya keras, Alex berhasil membawa kembali Siska. Mereka langsung berangkat menuju Pulau Bangka.

Pulau Bangka berhasil mereka capai, dan baru mereka menghubungi orangtua mereka. Tidak heran, mereka dimarahi habis-habisan. Orangtua Siska bahkan mau melaporkan Alex ke polisi. Tapi di luar masalah itu, kedua remaja ini bersenang-senang menikmati laut Pulau Bangka yang jernih, dan kekayaan kuliner pempek, ikan bakar, dll, yang nikmat.

Perjalanan dilanjutkan ke Kepulauan Natuna. Mereka sempat dihadang perompak, cuaca buruk, juga sempat mengalami masalah di jalur laut yang padat. Tapi, sampai di Natuna, mereka ternyata berhasil menemukan ayah kandung Alex!

Apakah kisah ini berakhir bahagia? Masih ada kejutan seru di ujung cerita.

Si pengarang yang rupanya juga bukan anak laut (data diri menyebutkan dia tinggal di Bogor dan Bandung) pasti bekerja keras sehingga cerita pelayaran, bentuk kapal, kejadian-kejadian di laut, dan rute pelayaran Jakarta – Kepulauan Natuna bisa tampil sangat mendetail dan hidup. Bukan hanya itu, detail-detail kapal layar dan data teknis, deskripsi tentang laut dan kekayaan alam tempat-tempat yang dikunjungi Alex dan Siska juga sangat menggugah dan enak dinikmati. Selain itu deskripsi yang enak dinikmati juga deskripsi tentang makanan. Bekal kornet buatan Siska, spageti, lontong sayur buat sarapan, dan makanan yang mereka santap di Bangka. After all, bukankah kata orang angin laut itu membuat lapar?

Howl's Moving Castle-Diana Wynne Jones

Ini buku yang aneh. Tapi begitulah kebanyakan buku fantasi, bukan? Satu hal yang saya sukai dari buku ini (selain cover versi Indonesia-nya yang brilian banget!), adalah dia berbeda dengan filmnya. Terus terang, di tengah membaca Howl's Moving Castle, saya menonton animasinya. Animasinya, menurut saya, yah... jelek. Payah. Tidak menggugah. Dan jauh lebih aneh daripada bukunya. Sedih deh pokoknya.
Sementara bukunya, sebetulnya lucu. Lucu banget malah! Dan mengeksplorasi cerita yang sangat bisa dinikmati oleh pembaca anak-anak. Meskipun aneh... hahaha...

Jadi, begini... Cerita ini berlangsung di Ingary, negeri sihir, tempat nenek sihir atau penyihir itu hal yang wajar, dan orang biasa minta jampi-jampi untuk hidup sehari-hari dan takdir ini-itu merupakan hal biasa. Demikian pula takdir, Sophie Hatter, tokoh utama buku ini. Sophie ditakdirkan sial karena lahir sebagai anak pertama dari 3 bersaudara yang cewek semua. Takdir sial itu menjadi nyata saat Nenek Sihir dari Waste yang jahat karena satu dan lain hal yang baru ketauan di ujuuuuuuuuuuuung cerita, benci padanya, dan menyihirnya menjadi nenek-nenek.

Sophie yang aslinya masih remaja itu pergi dari rumah dan terpaksa berlindung di Istana Bergerak milik Penyihir Howl. Sebenarnya penduduk sekitar takut pada penyihir ini karena gosipnya dia suka memangsa gadis-gadis muda. Ndilalah, ternyata Howl cuma penyihir pemalas yang playboy cap duren tiga! Segala tingkah Howl yang bolak-balik naksir cewek dan patah hati inilah yang membuat kelucuan sepanjang cerita.

Sementara itu istana bergerak bisa berjalan terus karena ada Michael, murid Howl, yang bersih-bersih dan mengurus istana, serta Calcifer, si jin api yang tinggal di perapian dan membuat sihir supaya istana bisa berpindah-pindah tempat. Sophie segera bergabung dengan keduanya, dan berusaha keras supaya istana bisa terlihat rapi, bersih, dan mengurus Howl supaya tidak lupa mencari nafkah bagi mereka (dengan menjual mantra). Tentu saja, diam-diam Sophie membuat perjanjian saling membebaskan dengan Calcifer. Sophie akan mencoba mematahkan mantra yang mengikat Calcifer pada Howl, dan sebagai imbalannya Calcifer akan mengembalikan Sophie ke wujudnya yang gadis remaja.

Dalam perjalanan waktu, Sophie mendapati bahwa Howl mungkin naksir adik perempuannya. Oh, gawat! Sophie berusaha menggagalkan niat Howl. Tapi kemudian mendapati Michael ternyata pacaran dengan adik perempuannya yang lain! Sementara itu Howl pergi ke tanah Wales, lewat pintu ajaib, dan sepertinya naksir Miss Angorian. Sophie makin kelabakan. Di lain pihak, Howl mendapat perintah dari Raja untuk mencari adiknya, Pangeran Justin dan penyihir kerajaan, Suliman, yang hilang. Kemungkinan mereka hilang disihir Nenek Sihir dari Waste. Howl yang pemalas berusaha menghindar dari tugas itu dan melibatkan Sophie supaya berpura-pura jadi ibunya di depan raja dan memberikan rekomendasi buruk.

Cerita makin ruwet dan aneh saat ibu tiri Sophie serta adik-adiknya muncul, dan Nenek Sihir dari Waste berhasil melacak dan menyandera keluarga Howl supaya penyihir itu mau bertarung dengannya. Dan akhirnya Sophie memberanikan diri masuk ke markas besar Nenek Sihir dari Waste.

Ujungnya? Biarpun aneh dan ruwet, sebetulnya novel ini lucu dan menghibur dan penuh hal ajaib—bahkan bunga-bunga indah yang mekar dengan sihir. Jelas, berbeda jauh dengan animasinya yang tiba-tiba bercerita tentang perang. Perang? Hah? Di Ingary? Hahaha... Dalam cerita tentang para penyihir yang malas dan nenek-remaja yang sok tahu ini, kayaknya perang membutuhkan komitmen yang terlalu besar.

Tuesday, May 19, 2009

Rekomendasi Buku untuk Liburan Panjang di Akhir Pekan Mei

George's Secret Key to the Universe (Kunci Rahasia George ke Alam Semesta)
Lucy Hawking, Stephen Hawking
336 halaman; Rp58.000,-

Kisah petualangan yang menegangkan namun lucu. Memaparkan fakta ilmiah yang menarik tentang Alam Semesta serta planet-planet di dalamnya, termasuk gagasan-gagasan terbaru tentang lubang hitam dari Stephen Hawking. Dilengkapi foto-foto berwarna citra-citra sesungguhnya dari ruang angkasa!

Ketika babi peliharaan George menerobos masuk ke dalam kebun tetangga sebelah, George jadi berkenalan dengan para tetangga barunya---Annie dan ayahnya yang ilmuwan, Eric---dan dia menemukan kunci rahasia yang membuka sudut pandang baru baginya dalam melihat dunia. Dari angkasa luar.

Sebab Eric memiliki komputer paling canggih di dunia, Cosmos yang sangat cerdas, yang bisa membawa George dan teman-temannya ke mana pun di dalam Alam Semesta. Tiba-tiba saja George sudah dibawa berjalan-jalan di ruang angkasa yang mahaluas---melewati planet-planet, menembus badai asteroid, ke tepian Sistem Tata Surya kita dan lebih jauh lagi.

Tetapi ada seseorang yang menginginkan Cosmos---dan mempunyai rencana-rencana yang akan membawa Eric dan George ke dalam bahaya besar.

Dan tidak ada yang lebih berbahaya di angkasa luar selain lubang hitam...

Vengeance in Death (Pembalasan Dalam Kematian)
J.D. Robb
Buku Keenam Serial "In Death"
480 halaman; Rp58.000,-

Menggunakan nama pena J.D. Robb, Nora Roberts menghadirkan serial baru dengan nuansa roman-misteri yang mengisahkan perjalanan karier dan cinta Letnan Eve Dallas.
Dia dianugerahi otak jenius serta hati pembunuh. Dia yakin dirinya diutus Tuhan untuk membalaskan dendam-Nya. Dengan keahliannya dalam bidang elektronik, dia mengincar mangsanya secara diam-diam, merencanakan pembalasan yang pantas, kemudian memberitahu Letnan Eve Dallas tentang kejahatan yang akan dilakukannya dalam bentuk teka-teki rumit.

Meski berhasil memecahkan teka-teki itu, Eve selalu terlambat selangkah. Ia menemukan korban pertama dibantai di rumahnya sendiri. Demikian pula dengan korban kedua, dibunuh di rumah kontrakan mewah yang kosong. Keduanya mengalami siksaan yang luar biasa mengerikan sebelum kematian merenggut nyawa mereka. Dan ternyata, keduanya berkaitan dengan rahasia besar dari masa sepuluh tahun lalu--rahasia yang juga melibatkan suami Eve, Roarke....

Next
Michael Crichton
488 halaman; Rp60.000,-
(Karya terakhir Michael Crichton)

Selamat datang di dunia genetika masa kini. Melesat cepat dan tak terkendali. Ini bukan kisah rekaan masa depan----inilah dunia yang kita diami saat ini.

Kita hidup pada masa terjadinya lompatan-lompatan sains yang luar biasa, ketika kita bisa menjual sel telur dan sperma secara online demi imbalan ribuan dolar. Kita hidup pada masa para ahli telah berhasil memetakan gen-gen yang menentukan kepribadian, kebiasaan, dan penyakit-penyakit bawaan----atau benarkah begitu?

Gabungan fakta dan fiksi ini akan membuat kita berpikir bahwa tak satu hal pun sama seperti tampaknya, dan segala kemungkinan baru sedang menanti di balik tikungan. Kisah ini akan menantang kita berhadapan dengan realita sains dan mengguncang moralitas kita. Segala hal yang aneh dan ganjil berpadu dengan yang menakutkan dan mengguncang.

ATAU

State of Fear (Kondisi Ketakutan) Michael Crichton
632 halaman; Rp80.000,-


Benarkah dunia mengalami pemanasan global? Benarkah bencana alam terjadi karena ketidakpedulian pada alam? Bagaimana jika semua itu hanya omong kosong dan cuma alat untuk menakut-nakuti publik dan dijadikan isu sebagai alat memperoleh uang dari kalangan industri?

Peter Evans, pengacara miliuner George Morton yang rajin memberikan sumbangan untuk LSM lingkungan bernama NERF. Tapi Morton belakangan membatalkan sumbangan $10 juta-nya karena menemukan beberapa fakta ganjil tentang lembaga tersebut. Salah satunya dugaan keterlibatan LSM itu dengan organisasi teroris yang berniat menimbulkan tiga bencana alam di seluruh dunia, termasuk gelombang tsunami yang akan melanda Florida. Dibantu agen pemerintah yang bekerja sebagai dosen MIT, asisten George Morton yang cantik, dan anggota NERF yang "tobat", Peter Evans bertualang dari Antartika sampai Kepulauan Solomon untuk menyingkap intrik dan konspirasi di balik bencana alam yang sengaja ditimbulkan untuk menciptakan kondisi ketakutan


Cat and The Stinkwater War (Cat dan Perang Stinkwater)
Kate Saunders
256 halaman; Rp30.000,-

Buku yang harus dibaca oleh penggemar kucing! Dua jempol pokoknya!

Cat terkesiap. Gadis itu merasa punggungnya menggeliat dan melengkung. Tubuhnya menciut--sampai pakaiannya terlepas dan menumpuk di sekelilingnya.

Batu itu terasa hangat, lalu panas, kemudian membakar. Cat menjatuhkannya sambil menjerit, yang terdengar seperti eongan panjang dan serak.

Astaga! Ia berubah jadi kucing!

Tuesday, May 12, 2009

Shakespeare dalam Manga

Oleh: Ratih Kumala

Pertama kali saya berkenalan dengan Shakespeare lewat Romeo and Juliette yang saya tonton filmnya di TVRI, ketika saya masih SD. Film itu dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang sangat membantu saya sebab waktu itu saya tidak bisa berbahasa Inggris. Saya tidak tahu siapa itu William Shakespeare, tapi film Romeo and Juliette ketika itu lumayan membekas di benak saya. Beberapa tahun kemudian, saya baru tahu kalau film itu sejatinya diangkat dari karya seseorang bernama William Shakespeare. Beberapa tahun kemudian (lagi) saya juga baru tahu kalau karya Shakespeare itu bukan novel, novelet atau cerpen, melainkan naskah drama teater. Kesimpulannya: saya lumayan lambat mengenal siapa itu Shakespeare, hehehe….

Ketika kuliah di jurusan Sastra Inggris, agaknya rada memalukan kalau tidak mengenal karya-karya Shakespeare. Terlebih lagi karena dosen-dosen saya kerap menyebut-nyebut namanya. Saya sempat ke perpustakaan kampus dan membaca buku William Shakespeare, dan hasilnya … (sejujurnya) saya bingung! Bahasa yang digunakan masih jadul (atau ‘klasik’, sebutan yang lebih elegan). Bahasa Inggris klasik tidak pernah benar-benar diajarkan di kampus. Untuk memahami sebuah kalimat berbahasa Inggris klasik, saya waktu itu bolak-balik membuka kamus, lumayan melelahkan. Mungkin ini adalah pengakuan dosa paling blak-blakan yang pernah saya lakukan: sewaktu jadi mahasiswa Sastra Inggris, saya lebih suka menonton film yang diangkat dari karya William Shakespeare ketimbang membacanya (semoga Tuhan mengampuni saya). Kisah-kisah yang ditulis Shakespeare bagi saya lebih mudah dipahami dengan menonton televisi. Satu-satunya kalimat yang paling saya ingat dari Shakespeare adalah “What’s in a Name?” (apalah arti sebuah nama?) Ketika Juliette ngomong sendiri di jendela kamarnya, sementara Romeo nguping setelah tresspassing dengan cara lompat pagar. Lain itu, tidak. Alhasil, dari menonton itu: saya mengetahui jalan cerita karya-karya Shakespeare, tapi tidak menghapal kalimat per kalimat -ini hal yang lumayan memalukan sebagai seorang lulusan Sastra Inggris-. Mungkin saya satu-satunya orang yang mengakui hal (memalukan) ini; tapi saya tahu tidak sedikit mahasiswa Sastra Inggris (di Indonesia) yang melakukan hal sama seperti saya. Hanya saja mereka masih punya harga diri untuk tidak mengakuinya hehehehe.

Ketika masih kuliah, saya lebih suka membaca puisi-puisi karya Robert Frost, Emily Dickinson, Oscar Wilde, EE Cummings, dll. Entah kenapa, saya banyak jatuh cinta pada puisi-puisi berbahasa Inggris. Saya juga membaca prosa (novel/cerpen) berbahasa Inggris yang dijadikan bacaan wajib oleh dosen (umumnya karya klasik seperti Gone With The Wind, karya-karya Mark Twain, dll). Karya sastra prosa yang lebih saya nikmati justru lebih banyak berbahasa Indonesia. Waktu itu, saya mirip Sponge Bob, menyerap bacaan sastra Indonesia yang mana pun. Jika ada prosa berbahasa Inggris yang betul-betul saya nikmati maka itu karya moderen seperti serial Harry Potter. Kalau saya merasa sudah terlalu bosan melihat huruf, saya beralih ke komik. Saya punya langganan taman bacaan dekat rumah, di mana saya biasa menyewa komik, kebetulan di sana lebih banyak menyediakan manga (selain Ko Ping Ho). Untuk yang satu ini, saya tidak pemilih. Saya melahap hampir segala jenis manga, baik untuk anak lelaki (seperti Kungfu Boy, Conan, Dragon Ball) maupun untuk anak perempuan (seperti Candy-Candy, Pop Corn, dan manga Serial Cantik).

Kesenangan saya akan komik sampai sekarang masih terjaga. Saya masih membaca ulang Asterix, ikut girang ketika Tin Tin diterbitkan ulang (meskipun kalimat “sejuta topan badai” diganti, hiks…), juga mengikuti beberapa manga terbaru seperti Miko, Vegabound dan Showa Man. Lebih dari itu, saya girang betul ketika dihadiahi seorang teman tiga buku membuat komik karya Scott McCloud: Understanding Comics, Reinventing Comics dan Making Comics. Akhir-akhir ini, saya juga sangat menikmati membaca novel grafis seperti karya-karya Frank Miller dan Marjane Satrapi. Entah kenapa, segala hal yang lebih visual (ada gambarnya) bagi saya sangat menghibur.

Ketika saya tahu karya-karya William Shakespeare disajikan dalam bentuk manga, reaksi saya pertama adalah: “hah?!” dengan heran. Apalagi ketika saya baca balon di manga (Bahasa Inggris) ini ternyata berbahasai Inggris klasik alias aseli tulisan Shakespeare (yang dulu sempat bikin saya bingung). Saya bertanya-tanya sendiri: apakah pembaca (Bahasa Inggris) akan memahaminya? Lalu, tiba-tiba saya tersadar: hey, ini Shakespeare dalam bentuk manga, jadi sesulit apapun karyanya, visual manga akan sangat membantu pembaca: inilah keuntungannya. Seperti menonton filmnya, hanya saja dalam film, penonton tidak bisa memperhatikan kalimat per kalimat dialog, terutama jika itu adalah Bahasa Inggris klasik, dan jika pun ada subtitle Bahasa Indonesia, penonton hanya diberikan waktu tiga hingga lima detik untuk membaca tiga baris subtittle. Lain halnya dengan membaca Shakespeare manga karya Adam Sexton dan Yali Lin ini.

Saat ini ada empat judul Shakespeare versi manga yang telah terbit dalam Bahasa Indonesia: Hamlet, Macbeth, Romeo & Juliet, dan Julius Caesar. Meskipun membaca Shakespeare dalam Bahasa Indonesia (bagaimanapun) berbeda “rasa” dengan membaca bahasa aseli, tapi Shakespeare versi manga bisa menjadi pintu perkenalan kita sebelum benar-benar membaca karya Shakespeare dengan bahasa Inggris klasik. Minimal, memperkenalkan jalan cerita mahakarya ini secara lebih intens kalimat per kalimat.

Sebuah karya sastra begitu dipuja, sehingga orang mencari cara agar bisa dinikmati semua kalangan dan semua umur. Itulah karya William Shakespeare.

Tentang Ratih Kumala:
Ratih Kumala lahir di Jakarta, 4 Juni 1980. Ia lahir dan besar di keluarga Betawi-Jawa. Penulis yang menikahi Eka Kurniawan ini telah menerbitkan 3 buku. Novel terbarunya, Kronik Betawi, segera terbit pada bulan Juni 2009.

Tuesday, May 5, 2009

Brisingr~Christopher Paolini

“Buku yang membuat saya rela bergadang.”---Washington Post.

Dan tepat itulah yang saya lakukan satu setengah minggu ini. Brisingr edisi Indonesia yang tebalnya kurang-lebih 900 halaman itu membuat saya tidur tengah malam selama berhari-hari karena adegan-adegannya yang seru.

Saat membaca Eragon, saya merasa wagu karena banyak kemiripannya dengan The Lord of the Rings---mungkin juga karena masa itu trilogi LOTR juga lagi naik daun. Selain itu, tulisan Paolini pun masih terasa sangat kekanakan. Saat Eldest, dialog-dialog panjang pelajaran Eragon terasa membosankan, dan petualangan Roran terasa lebih seru. Tapi pada Brisingr, semua elemen cerita terasa seru dan perlu. Brisingr menyuguhkan petualangan demi petualangan, perang demi perang, perkelahian demi perkelahian baik secara fisik langsung maupun dengan sihir. Semuanya seru dan intens, dan meskipun ukuran bukunya yang hampir 900 halaman tampak masif, secara keseluruhan buku ini sama sekali tidak membosankan.

Paolini jelas telah berkembang dengan baik sebagai penulis (dan kalau dilihat dari fotonya, sebagai pemuda juga... hehehe). Ia bisa menautkan simpul-simpul lepas dan menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang ada pada buku-buku sebelumnya. Ia bisa memberi kilas balik dan penjelasan dengan sangat baik dengan menyelipkannya pada dialog-dialog, sehingga pembaca mengerti dan tidak merasa digurui. Ia bisa memberi gambaran sejelas film action pada adegan-adegan laganya. Dan utamanya, ia berhasil menciptakan dunia Alagaësia yang utuh, baik itu dunia sihirnya maupun dunia manusianya. Saat membaca Brisingr, saya tidak lagi berusaha membanding-bandingkan Kull dengan Uruk Hai atau elf di Alagaësia dengan elf di Middle Earth.

Cerita dibuka dengan seru saat Eragon membantu Roran merebut kembali Katrina dari tangan para Ra'zac. Tekanan kengerian ditambah Paolini dengan meninggalkan Eragon di Helgrind, sarang Ra'zac tanpa Saphira yang harus membawa pulang Roran dan Katrina ke markas Varden. Pertempuran Eragon dan Ra'zac yang seru diikuti kisah Eragon (dan Arya) menjelajah Kekaisaran untuk kembali ke Varden serta apa yang dialaminya saat itu sangat patut disimak.

Sementara itu di markas kaum Varden, Nasuada harus mempertahankan wibawa dan kepemimpinannya dengan Duel Pisau Panjang yang mengerikan. Dan Roran memutuskan untuk mengabdikan diri padanya (kedua hal ini sebetulnya tidak berkaitan secara langsung). Roran lalu terlibat dalam berbagai pertempuran “kecil” dan membuktikan dirinya pantas menjadi pejuang dan pemimpin.

Saat kembali ke Varden, Eragon (dan Saphira) harus menghadapi Murtagh dan Thorn sekali lagi. Dalam pertempuran kali ini Eragon dan Saphira yang dibantu dua belas elf perapal mantra dan Arya berhasil mengusir dan mengalahkan Murtagh dan Thorn. Tapi pertempuran “di tanah” mengalami kekacauan besar, saat pasukan Varden mendapati Galbatorix telah menciptakan prajurit-prajurit perang yang tak bisa mati kecuali dipenggal. Meskipun berhasil menghancurkan pasukan Galbatorix, kaum Varden mengalami kerugian besar.

Usai menikahkan Roran dan Katrina, Eragon ditugasi oleh Nasuada untuk pergi kepada kaum kurcaci di Pegunungan Beor untuk memastikan raja kurcaci yang baru mendukung perjuangan kaum Varden. Sekali lagi Eragon dan Saphira harus berpisah. Eragon pergi ditemani Nar Garhzvog, pemimpin Kull. Sampai di tempat saudara angkatnya, Grimzborith Orik yang mengepalagi klan Ingeitum, Eragon mendapati bahwa ia mungkin harus mengikuti rapat kaum kurcaci yang bisa berlangsung berminggu-minggu dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk mempercepat prosesnya.

Saat tiba di kota bawah tanah kaum kurcaci, ternyata secara tidak langsung Eragon dapat mempercepat proses pemilihan raja itu karena percobaan pembunuhan yang dilancarkan padanya oleh salah satu pemimpin klan. Orik terpilih menjadi raja baru, dan dukungannya pada kaum Varden bisa dipastikan. Eragon dan Saphira menghadiri upacara penobatannya, lalu terbang ke kota kaum elf, Ellesmera, di tengah hutan Du Weldenvarden.

Di sana, saat bertemu dengan gurunya, Oromis dan naganya Glaedr, Eragon mendapati bahwa ternyata dirinya bukan putra Morzan dan adik Murtagh. Dengan lega, Eragon mengetahui bahwa ayahnya ternyata Brom, yang ia anggap gurunya yang pertama. Berikutnya, Eragon---yang sepanjang berbagai pertempuran merasa tidak memiliki senjata yang tepat sejak Za'roc diambil Murtagh dari tangannya---berusaha membujuk elf tua Rhunon untuk membuatkan pedang baginya. Rhunon sudah bersumpah tidak akan membuat pedang lagi sejak senjata buatannya dipakai untuk membantai naga dan penunggangnya oleh Galbatorix. Tapi, kalaupun ia mau melanggar sumpahnya, ia tidak memiliki bahan untuk membuat pedang lagi karena bahan tersebut besi yang terkandung dalam komet yang jatuh di Du Weldenvarden.

Mengikuti saran Solembum, si kucing jadi-jadian, Eragon dan Saphira mencari besi tersebut di bawah akar pohon Menoa yang tertua di Du Weldenvarden. Mereka membangkitkan kemarahan pohon tersebut, tapi berhasil meyakinkannya untuk menyerahkan besi itu. Semalaman Eragon menjadi “alat” Rhunon, yang untuk menjaga sumpahnya tidak menempa sendiri besi tersebut, untuk membuat pedangnya sendiri. Paginya, pedang biru seperti sisik Saphira telah jadi. Pedang terindah yang “dibuat” Rhunon. Eragon menamai pedang itu Brisingr, alias api dalam bahasa kuno. Setiap kali ia mengucapkan nama pedang tersebut, pedang itu menyalakan api biru.

Kunjungan Eragon dan Saphira pada guru-guru mereka juga memberikan pengetahuan baru tentang Eldunari naga, jantung dari jantung naga, tempat mereka menyimpan seluruh kesadaran dan pengetahuan mereka. Mereka juga mengetahui bahwa kekuatan Galbatorix datang dari kumpulan Eldunari yang ditawannya. Pada akhirnya, sebelum Oromis dan Glaedr ikut terbang untuk berperang bersama Ratu Islanzadi, Glaedr memberikan Eldunari-nya untuk dijaga Eragon dan Saphira.

Kembali ke kaum Varden, Eragon dan Saphira segera terlibat dalam perang menjatuhkan kota Feinster. Reuni dengan Arya, Roran, dan yang lain yang awalnya gembira harus diakhiri dengan sedih saat lewat Eldunari Glaedr, mereka mendapat kejutan besar.

Demikian buku ketiga ini ditutup dengan baik oleh Paolini, meninggalkan banyak pertanyaan untuk dijawab pada buku keempat. Antara lain pertanyaan yang berkaitan dengan ramalan mengenai nasib Eragon yang beberapa kali dikutuk untuk meninggalkan Alagaësia. Apakah setelah menaklukkan Galbatorix, satu-satunya penunggang naga yang merdeka itu harus meninggalkan tanahnya? Atau jangan-jangan Galbatorix memang tak terkalahkan? Rasanya pertanyaan terakhir ini---meskipun apa pun mungkin saja terjadi di dunia fiksi---tidak mungkin terjadi. Semua kisah epik kebaikan vs. kejahatan pasti berakhir dengan kekalahan pihak yang jahat. Tapi bagaimana si jahat mati? Semua pasti menunggu-nunggu pertempuran akhir antara Eragon dan Saphira vs. Galbatorix dan Shruikan. Sssshhh... penantian yang panjang pun dimulai...

Eiffel, Tolong!~Clio Freya

Ada beberapa buku yang membuat saya bangga terlibat dalam kelahirannya. Novel ini salah satunya. Bangganya saya itu berkaitan dengan betapa rapinya novel ini. Sebenarnya, selain untuk meluruskan beberapa titik-koma, novel ini tidak perlu editor.

Kenapa rekomendasi saya bisa begitu berbunga-bunga? Saya tidak biasa memuji, bahkan agak muak dengan novel-novel yang dipuja-puji orang. Euh, apa novel-novel itu tidak bisa "Speak for themselves"? Jadi, moga-moga puji-pujian saya ini tidak membuat yang membaca resensi ini malah jadi muak pada "Eiffel, Tolong!"

Bisa dibilang menjual kata "Eiffel", yang jadi magnet buat pembaca di mana-mana di seluruh dunia, novel ini memulai dirinya dengan judul yang tepat. Judul juga bisa mengantar pembaca kecele menduga ini novel cinta macam "Eiffel, I'm in Love". Tapi, tidak!

Bersiapkan terseret dalam dunia thriller yang seru, penuh adegan laga, dan spionase macam serial Alias, CSI, atau Mission Impossible. (Salah satu pertanyaan saya waktu bertemu pengarangnya adalah, "Kamu suka nonton Alias, ya?"--soalnya saya suka sekali serial itu.) Tokoh-tokohnya yang masih remaja--dan mengakibatkan buku ini terpaksa masuk genre teenlit--tidak mengurangi keseruan cerita. Tapi jangan bayangkan juga ceritanya jadi kayak teen spy atau seri Alex Rider-nya Horrowitz.

Anyway, adalah Fay, remaja Jakarta kelas 2 SMA yang berlibur ke Paris sendirian. Tadinya dia ke Paris karena ikut ibunya yang tugas ke sana, tapi detik terakhir tugas ibunya dipindah ke Brazil. Rencananya Fay akan ikut sekolah bahasa Prancis selama 2 minggu, lalu ikut tur selama 3 hari.

Semangat, semangat, semangat! Bagi orang yang pernah menghabiskan 3 hari di Paris, saya langsung membayangkan kegiatan Fay. Apa dia ke Eiffel, Louvre, dkk?

Salah besar, sodara-sodara! Fay ternyata terjebak dalam konspirasi bisnis dan militer mengerikan yang dijalankan oleh Andrew, konglomerat yang mau menghalalkan segala cara demi berhasilnya bisnis yang dijalankannya.

Dianggap mirip sekali dengan keponakan saingan bisnisnya yang orang Malaysia, Andrew menculik Fay dan men-trainingnya sehingga menjadi fotokopi sang keponakan. Dua minggu yang seharusnya jadi 2 minggu terindah dalam hidup Fay berubah bersimbah air mata.

Fay yang gak hobi olahraga dipaksa lari lintas alam dan push-up setiap hari. Fay yang gak pernah dandan dipaksa belajar memoles wajah dan memakai sepatu hak tinggi. Dan Andrew tidak segan-segan menerapkan hukuman fisik bila Fay menolak.

Tapi bukannya tidak ada sparks yang menyenangkan. Fay berjumpa Reno dan Ken. Ken, keponakan Andrew, menjadi mentornya. Sementara Reno adalah teman les bahasanya. Meski awal hubungannya dengan Ken suram, pemuda ini malah membuatnya merasakan sekilas summer love. Sementara Reno selalu melindunginya bak kakak.

Saat Fay sudah sempurna berubah menjadi Sheena, si gadis Malaysia, ia diterjunkan masuk ke rumah saingan bisnis Andrew. Tapi tugas yang mustahil itu akhirnya...

Wah, seru bin asyik banget membaca novel yang sangat rapi ini. Serasa nonton film! Dan... baiklah saya hentikan resensi ini sebelum lebih memuji lagi.

Nicholas Evans

Saya baru menginjak bab kelima The Divide, saat terpesona sungguh pada kepiawaian Nicholas Evans melukiskan emosi tokoh-tokohnya. Saya benar-benar bisa merasa ikut berada dalam setting cerita, dan terlibat dalam kejemuan yang dialami sang tokoh, Sarah Cooper.

Setting-nya sebagai berikut: pagi hari, Sarah ikut sarapan bersama Ben, mantan suaminya dan sheriff lokal. Mereka berada di Missoula, Montana, akan menjemput jenazah putri Sarah dan Ben. Evans menggambarkan kejadian itu dengan sangat detail, berapa pil penghilang rasa sakit yang ditelan Sarah, apa yang dialaminya sejak malam sebelumnya, sampai ke roti gandum yang dipesannya tapi tak mampu ditelannya. Saya langsung bisa berempati pada tokoh ini, dia datang untuk menjemput putrinya yang sudah meninggal, tapi terpaksa melayani basa-basi dengan mantan suami dan sheriff lokal itu. Sungguh dahsyat.

Tapi kemudian Evans mulai menarik-ulur rasa empati dan simpati pembaca pada tokoh-tokohnya. Bagaimana sebenarnya Sarah yang sepertinya patut dikasihani, ternyata sangat dingin dan tinggi hati. Bagaimana Ben yang sepertinya hangat dan menjadi korban, ternyata juga brengsek. Jadi mana yang benar? Evans sangat piawai menciptakan tokoh-tokoh yang abu-abu, dan justru malah jadi sangat duniawi dan wajar. Semua orang di dunia ini toh abu-abu, mejikuhibiniu, bukan? Orang-orang yang wajar bukanlah tokoh sinetron yang benar-benar hitam-putih, yang jahat benar-benar jahat, yang baik benar-benar baik. Weks, itu cuma terjadi di sinetron! Benar-benar dibuat-buat.

Ternyata ada yang menyebut Evans “the animal writer”. Apa pasal? Dalam dua dari empat novelnya, Evans mengambil tema binatang: The Horse Whisperer dan The Loop. Sementara dari judulnya saja The Horse Whisperer sudah tampak berkutat di dunia kuda, The Loop mengulik masalah serigala yang akan punah. Tapi apa benar Evans cuma menulis tentang binatang? “Kalaupun ada binatang yang saya bahas, itu the human animal,” kata Evans kecewa dalam situsnya www.nicholasevans.com. Sesungguhnya Evans justru sangat tertarik pada manusia, hubungan-hubungan antara para anggota keluarga, suami-istri, ayah-ibu-anak, kakak-adik, dan antarsahabat. Semua novelnya mengisahkan ikatan emosi yang sangat kuat antarmanusia. Ia juga sangat kuat menggambarkan emosi-emosi dan perdebatan yang muncul dalam diri manusia saat terjadi konflik benar-salah.

Ambil contoh novel ketiganya, The Smoke Jumper. Dalam novel ini Evans mengisahkan pergulatan kisah cinta segitiga yang tidak biasa. Bagaimana dua sahabat Ed dan Connor berebut cinta seorang gadis. Mana yang benar dan mana yang salah saat Connor jatuh cinta pada pacar sahabatnya? Bagaimana perasaan-perasaan itu memengaruhi tugas mereka sebagai smoke jumper alias pemadam kebakaran hutan? Bagaimana perasaan ketiga tokoh ini saat Ed kemudian menjadi buta? Evans dengan cerdik menempatkan tokoh-tokohnya sebagai tokoh sehari-hari---the guys next door---yang mungkin saja menjadi Anda atau saya. Semua memiliki sisi baik, semua sulit untuk dibenci, sehingga pembaca benar-benar bisa merasa ikut menjadi tokoh-tokoh tersebut dan terseret dalam pusaran emosi mereka.

Omong-omong soal sisi baik dalam tiap tokoh, rupanya kebiasaan Evans menciptakan tokoh demikian sudah dimulai sejak novel pertamanya, The Horse Whisperer. Bagaimana si ibu bisa saling jatuh cinta dengan si penjinak kuda, saat sebenarnya pernikahannya baik-baik saja dan suaminya sempurna? Pembaca ikut menangis karena tahu si ibu tak bisa meninggalkan suaminya demi si penjinak kuda, karena ya dia tidak bisa melakukan itu. Sisi emosional itulah yang membuat novel ini sangat kuat.

The Divide mengupas lebih dalam hubungan antar-anggota keluarga. Bagaimana kisahnya Ben dan Sarah dan anak-anak mereka. Bagaimana si sulung Abigail yang sempurna bisa berubah menjadi eco-terrorist, bahkan kemudian ditemukan sudah membeku dalam es di pegunungan Montana. Dalam novel keempat ini Evans lebih luwes dalam memberikan alasan-alasan bagi perpecahan keluarga Ben dan Sarah, tapi sayangnya jadi sedikit mengurangi tarik-ulur emosional yang dirasakan pembaca dalam The Horse Whisperer dan The Smoke Jumper.

Yang tidak berkurang adalah perencanaan dalam pengaturan plot. Saat membaca The Divide, saya menyadari betapa jagoannya Evans merangkai plot dan cerita serta menerakan emosi. Semua cerita terasa pas, tidak berlebihan atau berpanjang-panjang (salah satu yang sempat saya rasakan saat membaca The Smoke Jumper, sehingga novel ini meskipun sangat indah bagi saya agak antiklimaks). Saya sempat membalik-balik lagi beberapa adegan yang saya baca di The Divide. Wow, pasti Evans berpikir panjang sebelum menempatkan adegan ini, atau mengarang adegan itu. Semua ada pada tempatnya dengan porsi yang tepat. Inilah penulis yang membuat perencanaan dulu sebelum menulis, penulis yang menggodok dulu sampai matang, sehingga hasil tulisannya tidak bisa tidak menjadi hiburan yang berbobot bagi pembacanya.

Dan pujian terakhir bagi Evans adalah kepeduliannya pada lingkungan. Meskipun lahir dan besar di Inggris, Evans sangat tertarik pada wilayah Midwestern Amerika, tepatnya Montana. Ia menggambarkan daerah yang masih berhutan lebat itu dengan sangat indah. Kegiatan-kegiatan alamnya pun dia ceritakan dengan fasih. Pembaca diajak ikut naik gunung, kayaking, rafting, dan berkuda. Semua kegiatan alam bebas yang menantang dan seru itu membangkitkan sisi petualangan dalam diri pembaca. Dalam The Divide, Evans lebih menekankan lagi pentingnya pelestarian lingkungan dengan menyinggung langsung soal illegal logging dan konferensi-konferensi lingkungan hidup. Kalau salah satu penulis besar---Michael Crichton---menyinggung soal pemanasan global dalam rangka cerita yang jauh lebih bombastis dan multinasional dalam State of Fear, Evans menyampaikan pesan lingkungan hidupnya dengan mengajak pembaca turun langsung ke lapangan, menginjak tanah subur Montana dan mengisi paru-paru dengan aroma hutan yang menyegarkan.

Saturday, March 21, 2009

Naskah Novel Seperti Apa Yang Saya Sukai?

Judul di atas adalah jawaban dari pertanyaan, "Mbak, gimana sih caranya supaya novel saya bisa nembus ke GPU? Seperti apa naskah yang Mbak sukai?" Ah, mari saya tuliskan tipsnya di sini.

1.Tokoh
Novel-novel laris biasanya memiliki tokoh-tokoh yang melekat di benak pembaca. Sebut saja nama-nama tokoh seperti Harry Potter, Scarlett O'Hara, Holden Caulfield, atau Edward Cullen. Buat tokoh dengan karakter yang kuat, nama yang khas bisa membantu. Tapi yang terpenting adalah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk 3 dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas.

Keputusan-keputusan yang diambil si tokoh dalam perjalanannya di sepanjang novel itu harus sesuai dengan karakter si tokoh. Seorang Edward Cullen akan melemparkan dirinya di depan mobil demi menyelamatkan gadis yang dicintainya, sementara Holden Caulfield akan memutar bola matanya lalu menganalisis kejadian tersebut dengan sinis. Scarlett O'Hara akan membunuh orang lebih dulu dibanding harus mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan keluarganya, sementara Harry Potter tidak ragu mengorbankan nyawanya demi sahabat-sahabatnya.

Dan tolong deh, nggak perlu menyebutkan semua karakteristik tokoh lengkap dengan sifat-sifatnya pada halaman 2, paragraf pertama sehabis si tokoh datang terlambat ke sekolah. Misalnya, "Len adalah gadis berusia 16 tahun berambut pendek berponi dan hobi main basket. Dia sedikit tomboy tapi baik hati makanya dia punya banyak teman. Len anak tunggal konglomerat yang setiap hari diantar jemput ke sekolah dengan Jaguar. Dia berbintang Libra, makanya dia sering plin-plan mengambil keputusan. Len naksir Leo, anak basket yang juga ketua OSIS. Len paling suka pelajaran seni di sekolahnya, mungkin karena ibunya pelukis. "

Dijamin pada halaman 20, Len sudah tidak menarik lagi karena saya nyaris sudah tahu "segalanya" tentang Len dalam satu paragraf, dan pada halaman 30 saya sudah malas bacanya...

2.Alur Cerita
Kadang-kadang pengarang sering mengajak pembacanya muter-muter nggak keruan hanya karena si penulis kepingin aja memasukkan jalinan peristiwa atau dialog yang kalau ditanya kenapa dia melakukannya, jawabannya adalah, "Because I like it."

Alur cerita seharusnya dibuat untuk menghasilkan efek tertentu. Ada hubungan sebab akibat yang terjadi di dalam alur. Kejadian A menghasilkan peristiwa B, yang berlanjut ke C, dan seterusnya. Bahkan dialog pun harus ada tujuannya. Bukan cuma, "hm, lucu nih kalo gue masukin adegan tokohnya nongkrong kongkow-kongkow di Starbucks lalu ngobrol-ngobrol seperti yang suka gue lakuin sama temen-temen gue."

Atau yang lebih menyebalkan adalah pengarang-pengarang yang suka banget pamer pengetahuan yang nggak nyambung sama alur cerita, hanya untuk menunjukkan, "Nihhh... gue ceritain ya... Gue kasih tau nih tentang gimana membuat roket." Hanya karena dia tahu caranya...

3.Tema Cerita
Tidak perlu membuat cerita yang harus BEDA dan ORISINAL yang TIDAK ADA DUANYA, walaupun beda, orisinal, dan tak ada duanya memang menarik perhatian pada pandangan pertama. Daur ulang adalah hal biasa, dan tambahkan bumbumu sendiri. Baca saja Twilight Saga, Shakespeare akan menari dalam kuburnya melihat bagaimana konsep kisah cinta terlarang yang tak kesampaian dan hanya bisa dipisahkan maut yang ditulisnya 400 tahun lalu diramu sedemikian rupa oleh Stephenie Meyer. Sementara Joss Whedon akan nyengir mendengar konsep “vampire with a soul”. " Ke mane aja, Mbak Steph?" Mungkin itu kata Anne Rice. Dan yeah, sedikit cinta segitiga tidak pernah merugikan untuk dijadikan tema atau subtema.

Banyak pengarang memulai cerita dengan membawa kegelisahan dan gagasan, tapi melupakan fakta bahwa tulang punggung fiksi adalah cerita. Sehingga cerita dipaksakan masuk untuk memuat gagasan dan kegelisahan tersebut. Jangan melemparkan kegelisahanmu bulat-bulat kepada pembaca. Mulailah dengan cerita, selipkan kegelisahan dan gagasan itu dalam bab demi bab dalam novel. Selain membuat pembaca jadi penasaran setiap membalik halaman, efek cuci otaknya dijamin akan lebih dahsyat.

Tulisan ini di-cross posting dari Notes Facebook Hetih.

Saturday, March 7, 2009

DapatkanThe Tales of Beedle The Bard Gratis!

Kepingin mendapatkan The Tales of Beedle the Bard - JK. Rowling GRATIS?

Caranya gampang banget!
Gramedia Pustaka Utama menyediakan 30 buku The Tales of Beedle the Bard buat kamu.

Buat kamu yang punya blog atau website, pasang banner The Tales of Beedle the Bard di blog kamu. Copy lalu pasang banner yang bisa kamu pilih di header atau bagian kanan blog ini. Ada tiga pilihan banner yang bisa kamu sesuaikan dengan blog/situs web kamu.

Syaratnya:
1. Blog bukanlah blog spam atau blog yang mengandung unsur pornografi atau SARA.
2. Blogger harus tinggal di Indonesia.
3. Banner minimal harus dipasang sampai tanggal 10 April 2009.
4. Setelah banner dipasang, kirim link situs atau blog kamu ke hetih@gramedia.com dan yola@gramedia.com
5. GPU akan memilih 30 blog/situs web pertama yang masuk. Keputusan juri dalam penentuan pemenang adalah mutlak.

Jadi tunggu apa lagi? Siapa cepat dia dapat!

(Disebarkan oleh Hetih. Maret 2009)

Saturday, February 28, 2009

Kuis berhadiah The Road - Cormac McCarthy

Mau dapetin hadiah buku The Road karya Cormac McCarthy? Gratis dari Gramedia Pustaka Utama.

Caranya mudah sekali, jawab pertanyaan berikut: "Siapakah Cormac McCarthy?"
Silakan cari jawabannya via google atau ensiklopedia atau apalah, dan kirimkan melalui e-mail ke hetih@gramedia.com dan fanny@gramedia.com.

Jawaban ditunggu sampai tanggal 10 Maret 2009. Redaksi akan memilih tiga pemenang dari e-mail yang masuk. Ayo tunggu apa lagi, buruan kirim jawabannya.

The Road (Jalan)
Pengarang: Cormac McCarthy
Harga : Rp 35.000
Tebal : 264 Halaman

Terbit : Januari 2009

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama


Buku pemenang Pulitzer 2007 dan finalis National Book Critics Circle Award.

Kisah tentang seorang ayah dan anak lelakinya yang masih kecil yang tengah berjalan melintasi Amerika yang telah hangus terbakar, mengarah perlahan-lahan ke wilayah pantai. Tak ada yang bergerak di lanskap yang telah rusak binasa itu, selain abu tertutup angin. Mereka tak punya apa-apa selain sepucuk pistol untuk membela diri dari orang-orang yang mengintai di jalan, pakaian yg melekat di badan, satu kereta berisi makanan-makanan sisa---dan satu sama lain.

Novel ini juga merupakan salah satu buku pilihan Oprah's Book Club dan diangkat ke layar lebar dengan pemeran utama Viggo Mortensen.

Pujian-pujian untuk buku ini:
Karya masterpiece yang akan masuk dalam jajaran buku klasik - Herald

Kau akan terus membacanya, terpukau setengah mati, terpesona, terpana. Semua
yang bisa dilakukan oleh novel modern ada di sini - Guardian

Karya dengan keindahan luar biasa yang membuatmu sulit untuk berpaling. Kau akan
terpukau hingga hilang kesadaran. - The Times

Menakutkan dan brilian - Guardian Books of the Year

Memesona, indah, mengharukan, menyedihkan.... buku yang sangat, sangat hebat - BBC Radio 4

Buku yang menimbulkan kengerian dan menggugah inspirasi - New York Times

(Disebarkan oleh Hetih, Februari 2009)

Tuesday, February 24, 2009

Memorable Opening Sentences from Novels

Namaku Salmon, seperti nama ikan, dan nama depanku Susie. Umurku empat belas saat dibunuh pada tanggal 6 Desember 1973. Alice Sebold, The Lovely Bones

Where's Papa going with that ax? E.B. White. Charlotte's Web

Every summer Lin Kong returned to Goose Village to divorce his wife, Shuyu. Ha Jin, Waiting

Aku tak pernah terlalu memikirkan bagaimana aku akan mati---meskipun aku punya cukup alasan beberapa bulan terakhir ini---tapi kalaupun memiliki alasan, aku tak pernah membayangkan akan seperti ini. Stephenie Meyer, Twilight

I was born twice: first, as a baby girl, on a remarkably smogless Detroit day in January of 1960; and then again, as a teenage boy, in an emergency room near Petoskey, Michigan, in August of 1974. Jeffrey Eugenides, Middlesex

What can you say about a twenty-year old girl who died? Erich Segal, Love Story

If you really want to hear about it, the first thing you'll probably want to know is where I was born, and what my lousy childhood was like, and how my parents were occupied and all before they had me, and all that David Copperfield kind of crap, but I don't feel like going into it, if you want to know the truth. J. D. Salinger, The Catcher in the Rye

It was a nice day. Terry Pratchett and Neil Gaiman, Good Omens

He was an old man who fished alone in a skiff in the Gulf Stream and he had gone eighty-four days now without taking a fish. Ernest Hemingway, The Old Man and the Sea

Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon yang tak pernah kita tahu namanya atau umurnya. Ayu Utami, Saman

(Disebarkan oleh Hetih. Februari 2009)

Wednesday, February 11, 2009

Foto-Foto Pindahan

Di Gedung Lama Sebelum Pindahan



Tumpengan di Gedung Baru

Ceritanya ini Resepsionis
Ruang Rapat
Ruang Kerja


Ruang Kerja (Ada Orangnya)
Foto Dulu di Gedung Baru

Wednesday, February 4, 2009

Pemenang Lomba Resensi Online

Halo semua,

Berikut ini adalah nama-nama blogger pemenang lomba resensi akhir tahun 2008 Gramedia Pustaka Utama.

Tiga pemenang yang mendapatkan paket buku @Rp.300.000,- dari Gramedia Pustaka Utama adalah:

http://jodypojoh.blogdrive.com/archive/157.html
http://jodypojoh.blogdrive.com/archive/151.html
http://jodypojoh.blogdrive.com/archive/155.html

http://eviwidi.wordpress.com/2008/12/09/resensi-buku-weedflower-%E2%80%93-cynthia-kadohata/

http://sinarbulan.multiply.com/journal/item/388/Ulasan_Novel_Terjemahan_Bos_dari_Neraka
http://sinarbulan.multiply.com/journal/item/349/Ulasan_Novel_Remaja_Terjemahan_Keluarga_Penderwick

Selamat kepada para pemenang. Terima kasih atas partisipasi teman-teman yang lain. Nantikan lomba-lomba lainnya di blog ini... :)

(Disebarkan oleh Hetih)

Monday, January 26, 2009

Resmi Pindah Ke Kantor Baru. Yay!

Hari ini kami resmi berkantor di tempat baru. Kalau dilihat dari luar, kantor yang masih berwilayah di Palmerah ini tampak mentereng dan mewah dibanding gedung kami sebelumnya. Kalau dulu partisi kantor berwarna biru-abu-abu, di gedung ini partisinya berwarna hijau-putih. Eniwei, nggak penting deh menceritakan deskripsi kantor baru ini.

Mari kita bicara soal perasaan, cieee...

Hari pertama masuk di kantor baru sudah diwarnai dengan hujan. Basah kuyup sampai kantor. Salah masuk pintu. Tapi nggak sempat bete karena girang mau lihat kantor baru, hihihi. Telat 12 menit, hiks gara-gara muter-muter kampungan cari mesin absen. Kalau nggak muter telatnya paling 10 menit, hahaha.

Sejujurnya saya merindukan kantor lama, yang lebih memberi privasi dibanding kantor sekarang yang bersistem “terbuka”. Untung kantor ini menganut prinsip, blogging is a must. Jadi ya enak-enak aja blogging pas jam kerja. Meja kerjanya juga lebih sempit, tapi yang menyenangkan adalah jendela-jendela besar di dekat kami. Kalau lagi bete atau suntuk bisa jadi tempat mencari ilham atau kenalan sama penghuni gedung seberang. :p
Yang fun lagi, ada sofa di dekat tembok bagian pracetak, entah apa maksudnya, mungkin bisa buat buka pijat refleksi atau ngopi sore-sore.

Tidak enaknya dari ruangan bersistem terbuka adalah kita nggak bisa terlalu berisik dengan menggumamkan lagu Nidji atau Letto keras-keras, tanpa didengar teman lain atau nanti dikomplain disuruh ikut audisi Indonesian Idol. Terus susah kalau telat atau makan siang kelamaan, huhuhu, pasti setengah mata akan melirik kedatangan kita di luar jam lazim. Gawat deh... masa kalau mau makan siang ke PS mesti berombongan seperti akhir tahun kemarin? Huahaha... gimana kalau ada Metro Big Sale?

Jangan komplain melulu ah, hayo bersyukur. Hm, apa ya? Oh, saya suka dengan terangnya ruangan ini, bersihnya, jendelanya (oh, udah nyebut jendela ya?). Oh, karena saya duduk di dekat editor senior senangnya mereka suka membagikan makanan. Tadi pagi aja udah sarapan lasagna dan kue imlekan, hihihi. Bakal sehat dan gemuk nih. Dan yang jelas saya (mungkin) akan (tampak) lebih rajin karena saya duduk di antara bos dan bos. =))

(Disebarkan oleh Hetih)