Tuesday, December 9, 2008

Mau Jadi Penulis? Jadilah Pembaca

Minggu lalu seorang sahabat saya menyatakan dia ingin menulis buku. Tentu saja saya sambut baik keinginan itu, siapa tahu cocok, saya bisa merekomendasikan buku karyanya itu ke kantor, lalu terbit, dan terjadilah yang namanya win-win situation—semua senang.

Maka kami membahas buku yang ingin dia tulis tersebut, yang adalah buku kumpulan resep. Dalam bayangannya, dia ingin membuat buku hard cover ukuran besar, dan memuat sekitar 100 resep. Tapi dia ingin menujukan buku tersebut bagi ibu-ibu muda yang baru menikah dan belajar masak.

Waduh, saya langsung menebak bahwa sahabat saya ini kurang mengenal target market-nya. Sekarang bayangkan dulu buku hard cover berukuran besar yang luks, isinya 100 resep sehingga tentu cukup tebal. Bayangkan harganya. Saya taksir harganya mungkin sekitar Rp100.000.

Setelahnya bayangkan ibu muda yang baru belajar masak. Buku macam apa yang akan dia beli? Mungkin buku tipis yang bisa dilipat dan dibawa ke dapurnya untuk disandarkan di dinding, tempat dia bisa membaca langkah demi langkah memasak yang harus dia lakukan. Mungkin buku yang spesifik membahas jenis masakan tertentu seperti masakan sayuran, masakan ayam, atau masakan sea food. Dan karena dia ibu muda yang mungkin baru menikah dan mungkin keuangan keluarganya belum stabil, maka saya rasa dia akan memilih membeli buku masak yang range harganya sekitar Rp15.000-30.000.

Sekarang apa hubungannya ilustrasi ini dengan judul posting di atas? Kembali ke pemikiran saya bahwa sahabat saya itu tidak mengenal target market-nya. Menurut saya, setiap pengarang harus mengerti target tulisannya. Pengarang novel remaja mesti mengenal dunia remaja. Pengarang novel percintaan harus kenal dunia ibu-ibu atau perempuan dewasa muda yang banyak membeli jenis novel begitu. Pengarang travel writings harus tahu kesukaan para backpacker. Dan sebagainya.

Sebelum mulai menulis, sebaiknya seorang penulis menempatkan diri atau membayangkan dirinya menjadi pembaca buku yang akan ditulisnya itu. Atau okelah, kalau terlalu lama membayang-bayangkan nanti ide tulisannya lenyap. Jadi, oke, buatlah dulu tulisan itu. Tumpahkanlah dulu semua keluar. Setelahnya, sebelum minta pendapat orang terdekat (bukankah pembaca pertama selalu orang-orang terdekat?), coba bayangkan diri kamu jadi pembacanya. Bukan sebagai diri kamu—kamu harus keluar dari diri kamu, harus jadi orang lain (karena pengarang kadang tidak bisa melihat lubang-lubang pada tulisannya sendiri). Bayangkan diri kamu ada di toko buku dan melihat buku karya kamu itu sudah terbit dan dipajang di rak. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan mengambilnya? Membaca sinopsisnya? Atau... melewatinya begitu saja?

Kalau kira-kira yang terjadi yang terakhir, waks! Pahitnya, lebih baik kamu simpan saja naskah itu. Tapi yang lumayan asem saja, yah, kamu jadi bisa melontarkan pertanyaan, kenapa kira-kira naskah itu jadi naskah yang dilewati? Dari situ mungkin kamu bisa memperbaikinya.

Dari sudut pandang pembaca/pembeli buku, kamu bisa mendapat poin-poin penting bagi naskah kamu. Kamu bisa menelaah ulang apakah tema yang kamu angkat dalam tulisan kamu cukup menarik? Apakah pembaca mendapat keuntungan tertentu setelah membaca karya kamu (tambahan pengetahuan atau kepuasan)? Apakah cover yang kamu bayangkan cukup eye-catching untuk bersaing dengan ribuan atau bahkan jutaan buku lain di toko buku? Apakah sinopsis yang kamu rancang bisa menarik perhatian calon pembaca sehingga mau membeli buku kamu? Bahkan sampai ke hal-hal praktis seperti apakah buku ini nanti akan terlalu tebal sehingga pembaca malas mulai membacanya (meskipun Twilight Saga sudah begitu ngetop, salah satu teman tetap malas membacanya karena melihat ketebalannya), apakah kamu bisa minta pada penerbit untuk men-setting ukuran khusus sehingga buku kamu gampang dibawa-bawa oleh pembaca? Atau apakah kamu bisa minta jenis kertas khusus sehingga buku kamu ringan bila dibawa atau harganya bisa lebih murah?

Semua ini akan lebih membantu kamu saat mencipta. Kamu jadi punya bayangan yang utuh akan karya akan akan kamu ciptakan, dalam bahasan ini adalah buku yang kamu karang. Kalau kamu punya gambaran yang utuh, kamu akan lebih semangat mengerjakan naskah kamu, dan naskah kamu juga akan lebih mudah tembus ke penerbit. Jadilah pembaca pertama naskah kamu sendiri, bayangkan kekurangan dan kelebihannya, dan selamat berkarya!

(Disebarkan Oleh Donna)

4 comments:

Anonymous said...

Ya ampun, Mbak Donna, baru aja ada yg mempertanyakan ketebalan naskahku yg Nocturnal di sini nih:

http://fikfanindo.blogspot.com/

Pas banget! Menurutku target pasar dan jenis buku juga menentukan ketebalannya toh?

Anonymous said...

Hai Poppy,

Sejak JK Rowling berhasil menjual Harry Potter setebal itu, dia sudah mendobrak paradigma jumlah halaman utk buku anak.

Nggak ada batasan utk jumlah halaman sebenarnya selama si pengarang bisa menuliskannya dengan pas dan baik.

Target market ikut berperan tapi tidak jadi penentu jumlah halaman. Teenlit berjudul Cewek!!! karya Esti Kinasih aja 424 halaman.

Hayooo aja sih, Pop, kalau dikau mau bikin fantasi epik. Aku rasa dikau sudah punya modal "coba-coba" yg cukup dgn 3 bukumu. Asal jgn nafsu besar isinya
ngawur... Hehehe.

Btw, emang km pernah dipesenin sama GPU supaya nulis Nocturnal jgn tebal2?

Anonymous said...

Nggak pernah ada pesan2 tentang jumlah halaman kok Mbak Hetih, makanya aku bilang justru karena aku nggak pede makanya gak mau nulis tebel2 dulu, hehe, jadi bukan karena alasan Teenlit harus sekian halaman.

Udah ada calon naskah fantasy baru nih, tapi plot-nya masih harus disusun. Pelan2 lah Mbak, biar hasilnya juga nggak berantakan, hehe.

Donna said...

hai, pop! maap ya baru bales, agak susah nih koneksi di rumah. biarpun gak ada aturan berapa halaman, tapi menurutku, kamu mesti coba nempatin diri kamu sebagai target reader kamu. apa iya mereka mau baca naskah sekian halaman? kalau emang mau bikin naskah tebal ya kudu menarik banget, biar target reader kamu mau baca. itu imho lhoooo