Sunday, November 30, 2008

Bagaimana Mengirim Naskah yang Menarik Perhatian Editor?

Salah satu pertanyaan yang paling sering saya jawab di milis maupun di e-mail kantor adalah: “Apa persyaratan mengirim naskah novel ke Gramedia Pustaka Utama (GPU)?”

Oke, mari kita bahas persyaratan umumnya:
1.naskah novel remaja panjangnya sekitar 100-150 halaman, novel dewasa 150-200 halaman
2.ukuran kertas A4
3.ketik komputer rapi dengan spasi 1,5
4.jenis font yang mudah dibaca, misalnya Times New Roman ukuran 12
5.sertakan data diri
6.sertakan sinopsis
7.kirim ke alamat redaksi fiksi GPU yang ada di sampul belakang tiap novelnya

Tapi pukul rata setiap bulan kira-kira ada sekitar 100 naskah yang masuk ke meja sekretariat redaksi. Kalau semuanya—termasuk naskah kamu—berukuran A4, ketik 1.5 spasi, dengan jenis font tersebut di atas, bagaimana mencuri perhatian editor?

Jawabannya jadilah kreatif. Kamu bisa mengirim naskah kamu dalam amplop khusus. Atau kamu bisa menjilid naskah kamu dengan rapi, bukan sekadar dengan lakban hitam. Kamu juga bisa menyertakan desain cover yang lucu. Selain itu tidak usah terpaku pada jenis font yang dianjurkan. Sebenarnya yang dianjurkan adalah font yang enak dibaca, dan font yang enak dibaca bukan hanya Times New Roman ukuran 12 poin.

Tapi bila menjilid dengan ring besi rasanya terlalu mahal, atau mencetak cover desain pribadi terlalu rumit, apa yang bisa kamu lakukan? Sederhana saja sebetulnya. Jadilah penulis yang rapi. Kirimkan naskah yang bersih dari kesalahan ejaan. Bila saat kamu periksa ulang hasil cetakan ternyata masih ada kesalahan, jangan di-tip-ex lalu diperbaiki dengan tulisan tangan, tapi print ulang halaman tersebut. Gunakan printer dengan tinta memadai sehingga hasil cetakannya tegas dan bersih, enak dilihat. Susun semua kelengkapan dengan runut dan rapi. Misalnya, data diri, sinopsis, baru kemudian masuk ke isi novel.

Bila mendesain dan menghias memang bukan sisi kuatmu (tentu saja kalau bisa mendesain, kamu jadi desainer grafis, bukan pengarang), gunakan yang memang menjadi bakatmu untuk mencuri perhatian editor. Tulislah data diri kamu semenarik mungkin. Saya pernah membaca curriculum vitae yang dibuat seolah si penulisnya sedang menjadi terdakwa di pengadilan—kreatif dan menarik sekali, kan? Kadang data diri yang lucu dan menarik (sebutkan saja semua pengalaman kamu terutama yang mendukung novel kamu) sudah membuat “a foot in the door” bagi novel kamu.

Selanjutnya tentu saja sinopsis. Sinopsis pendek sangat penting. Panjangnya sekitar setengah halaman atau 3-5 alinea saja. Buatlah semenarik mungkin. Tokoh-tokoh dan poin-poin penting cerita harus ada. Tunjukkan di mana serunya novel kamu. Saat menulis sinopsis pendek ini, bayangkan si pembaca ada di toko buku yang hiruk-pikuk dengan pilihan beragam buku. Bagaimana cara kamu menariknya untuk membeli buku kamu?

Lalu karena kiriman naskah ini ditujukan untuk dibaca editor, ada baiknya juga kamu sertakan sinopsis panjang. Sinopsis panjang ini isinya lebih mendetail, menguraikan seluruh alur cerita, dan membeberkan rahasianya, tapi panjangnya jangan lebih dari 3 halaman. Jangan membuat si editor belum-belum sudah bosan dengan tulisan yang berpanjang-panjang.

Dan akhirnya, menginjak bagian yang paling penting: naskah. Bila kamu sudah melakukan saran saya di atas, yaitu mengirimkan naskah yang “bersih”, maka secara sekilas tampilan naskah kamu pasti sudah lumayan enak dilihat. Selanjutnya, harap kamu perhatikan bahwa novel biasa menggunakan indent paragraph, bukan hanging. Perhatikan juga kebiasaan penerbit tujuan kamu dalam hal ejaan, bahasa selingkung, gaya penulisan percakapan, dll. Bila kamu sanggup, terapkan gaya penerbit tersebut pada naskah kamu.

Editor pasti lebih senang menilai naskah yang bersih dan menarik, dan dengan begitu tentu saja kans tembusnya naskah kamu untuk diterbitkan jadi lebih besar.

(Disebarkan oleh Donna. Desember 2008)

Pemenang Lomba Review Novel Grafis

Halo semua,

Berikut ini adalah nama-nama blogger pemenang lomba review Novel Grafis terbitan Gramedia Pustaka Utama.

Tiga pemenang yang mendapatkan paket buku @Rp.250.000,- dari Gramedia Pustaka Utama adalah:
http://nocturno.multiply.com/reviews/item/91/Embroideries_Marjane_Satrapi
http://bacaan-ally.blogspot.com/2008/11/embroideries.html

http://halamanganjil.blogspot.com/2008/09/cinta-di-balik-jeruji-oleh-septina.html

http://harahope.multiply.com/reviews/item/24

Selamat kepada para pemenang. Terima kasih atas partisipasi teman-teman yang lain. Nantikan lomba review lain di blog ini... :)

(Disebarkan oleh Hetih. Desember 2008)

Wednesday, November 26, 2008

Buku Unggulan Desember 2008



Hening (Silence) – Shusaku Endo
Novel ini mengambil setting di Jepang pada abad ke 17, pada periode Edo. Yesuit Portugis, Sebastian Rodrigues, dikirim ke Jepang untuk mencari tahu keadaan mantan gurunya, Ferreira, yang konon dikabarkan telah murtad karena tidak tahan menanggung siksaan. Pada masa itu di Jepang penganut dan penyebar agama Kristen diburu, dipaksa murtad, dan dibunuh oleh penguasa.

Sesampainya di Jepang, Rodrigues harus bertahan hidup dalam kondisi yang serba minim. Dia kekurangan makanan dan nyaris tak punya tempat tinggal, itu pun masih ditambah dengan orang-orang yang tidak segan mengkhianatinya demi memperoleh imbalan. Kemudian Rodrigues pun tertangkap dan harus menjalani siksaan. Hingga Rodrigues bertanya jikalau Tuhan yang selama ini dianggapnya sumber kasih kenapa Dia bungkam dan hening, tidak berbuat apa-apa.

Pada akhirnya, pertanyaan yang utama adalah: Sanggupkah manusia mempertahankan keyakinannya di tengah masa-masa penuh penganiayaan? Dan benarkah Tuhan hanya diam berpangku tangan melihat penderitaan?

Kutipan Favorit:
Dosa bukanlah apa yang biasanya dikira orang, pikirnya; dosa bukanlah karena mencuri dan berbohong. Dosa adalah kalau orang menginjak-injak kehidupan orang lain secara brutal dan sama sekali tidak peduli akan luka-luka yang ditimbulkannya. (hal. 145)

Kristus Tuhan: Jalan Menuju Kana - Anne Rice
O Tuhan, Allah yang Esa, Allah Tritunggal, apa pun yang telah kukatakan di dalam buku-buku ini berasal dari-Mu, kiranya orang-orang kepunyaan-Mu mengakuinya. Apa pun yang berasal dariku, biarlah Engkau dan orang-orang kepunyaan-Mu sudi mengampuninya.
St. Agustinus.

Anne Rice sudah menulis kisah tentang vampir bahkan ketika Stephenie Meyer masih duduk di TK. The Vampire Chronicles-nya yang legendaris telah membubungkan nama Anne Rice menjadi novelis dalam konsep vampir yang radikal. Hingga saat ini buku-bukunya terjual lebih dari 100 juta eksemplar di seluruh dunia.

Pada tahun 2004, Anne Rice kembali ke iman Katolik-nya yang sudah lama dia tinggalkan. Kini dalam usia 67 tahun, Anne Rice menerbitkan novel kedua Christ the Lord: Jalan Menuju Kana.

Dalam buku pertama: Christ the Lord: Out of Egypt (Kristus Tuhan: Meninggalkan Mesir), Anne Rice mengisahkan masa kanak-kanak Yesus serta perjalanan meninggalkan Mesir bersama kaum keluarganya.

Dalam buku kedua ini: Kristus Tuhan: Jalan Menuju Kana, dikisahkan tentang Yesus yang telah dewasa, pada suatu musim dingin tak berhujan, berdebu, dan banyak desas-desus tentang kegelisahan yang mulai menggeliat di Yudea. Legenda tentang kelahirannya yang ajaib telah banyak dibicarakan orang, tetapi selama ini dia hidup sebagai manusia biasa di antara manusia. Mereka yang mengenalnya dan menyayanginya menunggu-nunggu pertanda tentang takdir yang akan dijalaninya kelak.

Dikisahkan pula bagaimana dia mendapatkan pembaptisan dari Yohanes, konfrontasinya dengan Iblis, dan mukjizat mengubah air menjadi anggur dalam pesta perkawinan di Kana. Dan sebagaimana buku terdahulu, Jalan Menuju Kana juga didasarkan pada Injil serta Perjanjian Baru. Kekuatan buku ini bersumber dari semangat yang dibawa sang pengarang dalam penulisannya dan bagaimana ia memunculkan suara, keberadaan, dan kata-kata Yesus yang menceritakan kisahnya.

***

Dua penulis ini. Shusaku Endo dan Anne Rice, adalah penulis-penulis yang pulang ke iman awal mereka. Anne Rice dibaptis sejak lahir dalam keluarga Irlandia Katolik yang taat. Shusaku Endo dibaptis menjadi Katolik semasa kanak-kanak. Ibaratnya, mereka memiliki agama yang siap pakai. Namun seiring bertambahnya usia, mereka mulai mempertanyakan iman mereka

Pada masa kuliah Anne Rice meninggalkan agamanya, dan menjadi atheis. Baru pada tahun 2004, Anne Rice bertobat dan kembali memeluk agama Katolik. Berkali-kali Shusaku Endo merasa ingin menyingkirkan ke-Katolik-annya, tapi pada akhirnya dia tidak sanggup.

Melalui medium novel, Shusaku Endo dan Anne Rice menuliskan kisah spektakuler tentang cinta mereka pada Tuhan dan agama yang setelah melewati pencarian dan perjalanan panjang akhirnya membawa mereka sampai ke rumah. Perjalanan pulang yang mendamaikan diri serta kembali ke ke-Katolik-an mereka.

Twilight - Stephenie Meyer
Aduh, novel ini sih udah nggak usah diceritain lagi kali yaaa?
Tapi senang aja melihat edisi khusus novel yang dicetak terbatas ini, secara ada foto-fotonya yang diambil dari film. Edward oh Edward deh pokoknya... Dan aku suka banget cover filmnya... pas banget buat jadi sampul novel. When you can live forever, what do you live for?< (Disebarkan oleh Hetih. November 2008)

Sunday, November 23, 2008

Porcupine: Jadi Kakak Pemberani

Dari dulu, gue suka banget nonton film bertema perang. Mulai dari seri Band of Brothers yang keren banget, Windtalkers, Tour of Duty (masih ada yang ingat serial ini nggak, ya?), dan banyak judul lainnya. Kenapa? Karena, buat gue, film-film ini menunjukkan sifat aslinya seseorang. Ketika keadaan sudah begitu mendesak, ketika masa depan betul-betul tidak bisa diprediksi, tentara-tentara itu nggak bisa lagi menutupi karakter asli mereka. Kadang, keadaan terdesak justru bisa brings out the best in people. Dan yang juga nggak kalah penting, film-film itu membuat kita belajar untuk jangan lagi berperang, karena ada terlalu banyak yang harus dikorbankan.

Misalnya keluarga, orang-orang yang harus menderita ketika orang yang mereka sayang nggak bisa pulang lagi. Itu baru buat tentara-tentara yang harus dikirim untuk berperang. Belum lagi penduduk di daerah perangnya.

Nah, kali ini gue bukan nonton film perang, tapi baca buku yang menceritakan kisah yang sering kali cuma dijadikan latar belakang, padahal ini penting banget. Apa yang terjadi pada sebuah keluarga ketika kepala keluarganya harus pergi atas nama tugas.

Sebetulnya ini buku anak-anak, atau lebih tepatnya buku remaja, karena buku ini dikategorikan sebagai teenlit. Meski begitu, Menjadi Kakak (judul aslinya Porcupine) bukan jenis buku yang bisa dibaca sekilas, cepat-cepat, terburu-buru---setidaknya buat gue. Tokoh utamanya Jack Cooper, anak cewek umur 12 tahun pada awal cerita dan berulang tahun ke-13 pada bagian-bagian akhir buku.

Awalnya diceritakan kejadian-kejadian normal di rumah keluarga Cooper. Dengan Jack, yang nama aslinya Jacqueline, yang tomboi dan punya dua adik, Tessa dan Simon. Jack ini tipikalnya daddy’s girl yang jago berantem, nggak ribet, mahir pake alat-alat pertukangan, pokoknya tipe-tipe anak cewek tough deh. Kebalikan banget sama Tessa yang girlie banget dan jadi mommy’s girl, lengkap dengan sepatu-sepatu bagus dan kepangan cantik. Sedangkan Simon anak cowok bungsu yang jago banget main Lego.

Nggak berapa lama, Mr. Cooper harus bertugas ke Afghanistan, dia bukan pergi untuk berperang, tapi jadi tentara penjaga perdamaian PBB. Tapi waktu Mr. Cooper pamitan, ada satu hal yang nggak biasa. Diam-diam, ayah Jack menitipkan arlojinya pada Jack sambil berbisik, “Keep it safe for me.” Mr. Cooper juga sempat meminta Jack untuk menjaga ibu dan adik-adiknya.

Meskipun pergi “cuma”sebagai tentara penjaga perdamaian, hasil akhirnya sama: Mr. Cooper meninggal, gara-gara friendly fire. Dan kehidupan keluarga Cooper langsung berubah drastis. Mrs. Cooper ternyata nggak kuat menghadapi perubahan ini dan menutup diri.

Sampai akhirnya anak-anak harus tinggal dengan nenek buyut mereka (Gran) di kota lain. Padahal Gran sama sekali nggak menyetujui pernikahan ibu dan ayah mereka dulu. Bisa dibayangkan gimana jadinya, kan? Jack harus berusaha keras menyesuaikan diri dengan segala macam perubahan di sekelilingnya, sekaligus membantu adik-adiknya memahami semua perubahan itu.

Jack yang sering kesal sama Tessa akhirnya “berdamai” ketika Tessa berusaha kabur dari rumah Gran. Sekesal-kesalnya Jack, dia tahu mereka bertiga nggak boleh terpisah. Sampai akhirnya, sejak malam itu Jack mulai menambahkan Tessa dalam doa-doanya: And ever since Tessa ran away, I’ve started adding her in my prayers, too. I never did before, because I didn’t know she needed it, but I do now, and I think it helps. Dengan kata-kata sesederhana itu, Meg Tilly---sang penulis---berhasil nunjukin gimana Jack maju selangkah lagi.

Yang pasti, kita nggak perlu balik jadi anak kecil buat bisa merasakan apa yang dirasakan Jack---dan belajar banyak dari Jack. Gimana Jack begitu bahagia ketika suatu malam mimpi ketemu ayahnya, betapa marahnya Jack ketika kaca arloji ayahnya retak waktu dia ngebela Simon yang dikeroyok, gimana kesalnya Jack pada Tessa karena adiknya itu kadang suka egois, atau gimana Jack berusaha banget untuk jadi anak yang tangguh dan nggak pernah mengeluh. Gimana Jack berusaha berani menghadapi hidup.

Menjadi Kakak sebetulnya buku buat semua orang, segala usia. Buku ini ngingetin gue tentang banyak hal, terutama tentang keluarga, what it really means to be a family. Waktu ada beberapa tetangga yang manas-manasin Gran untuk menjual tanahnya dan nggak ngurus cucu-cucunya lagi, melaporkan bahwa Jack nonjok anak cowok di sekolah sampai hidung anak itu retak (waktu Jack membela Simon) dan nyebut Jack sebagai “hooligan”, Gran cuma ngomong gini: “They’re good kids. And I won’t have anybody saying otherwise. Is that clear?” Sederhana banget, kan? Tapi kata-kata sederhana ini punya arti sangat besar buat Jack yang saat itu lagi nguping di ujung tangga. Hihihi… jadi inget kelakuan gue dulu, nguping, mondar-mandir nggak jelas pas ada tamu… siapa tahu lagi ngomongin gue.

Buku ini nunjukin lagi bahwa di balik cerita-cerita perang yang gue suka itu ada cerita lain. Bahwa behind a good story lies great stories. Tapi yang paling penting, lewat buku ini gue jadi tahu bahwa even a porcupine could be petted! You just have to know how….

(Disebarkan oleh Nina. Oktober 2008)

Friday, November 21, 2008

Petualangan Tintin: Permata Castafiore

Permata Castafiore sangat berbeda dari kisah-kisah petualangan Tintin yang lain. Di buku ini, Tintin memecahkan misteri yang terjadi di kediamannya sendiri. Dari awal sampai akhir kisah ini, kita tidak beranjak dari Puri Moulinsart. Hergé memang mengatakan ingin menyederhanakan kisah Tintin, maka ia pun menulis kisah yang bagai novel detektif karya Agatha Christie.

Selain itu, dalam buku ini Hergé juga sebetulnya mengungkapkan banyak hal yang betul-betul terjadi dalam kehidupannya sendiri. Misalnya keinginannya untuk beristirahat di rumah, seperti yang diutarakan Kapten Haddock. Tuan Bolt (Boullu, dalam edisi Prancis) si tukang bangunan sebetulnya juga ada di kehidupan nyata, dan seperti di buku ini, orang itu juga sama susahnya dipanggil.

Kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Tristan Bior, perancang favorit Bianca Castafiore, sebetulnya adalah plesetan dari Christian Dior, perancang busana terkenal dari Prancis. Dan Bianca Castafiore sendiri jelas menggambarkan Maria Callas, penyanyi opera terkenal.

Untuk para pembaca yang teliti, Hergé memberi petunjuk tentang salah satu buku favoritnya. Di halaman 43, tampak Tintin sedang membaca buku Treasure Island karangan R.L. Stevenson, yang bersama Robinson Crusoe (Defoe) dan The Three Musketeers termasuk dalam sepuluh buku yang paling disukainya.

Karena bersimpati pada kaum gipsi, Hergé tadinya ingin lebih fokus pada kelompok minoritas ini. Dalam beberapa dialog di buku ini, kita bisa melihat bagaimana perasaan Hergé terhadap mereka. Misalnya Kapten Haddock, yang mengizinkan para gipsi berkemah di halaman Puri Moulinsart, juga Tintin yang membela mereka di hadapan Dupondt. Hergé menuangkan keahliannya menggambar pada panel yang menunjukkan rombongan gipsi sedang berkumpul di depan api unggun sambil bermain musik. Settingnya, diterangi sinar bulan purnama dan cahaya api unggun, sangatlah indah.

Kalau dalam Tintin di Tibet kita hanya sedikit melihat Profesor Lakmus, di Permata Castafiore ini kita bisa melihat bagaimana si profesor jenius itu menampilkan temuan terbarunya: televisi berwarna, benda yang ketika kisah ini pertama kali diterbitkan, sama sekali belum dikenal publik. Kita juga melihat bagaimana Lakmus jatuh cinta pada Bianca Castafiore, sampai mengabadikan nama penyanyi itu menjadi nama mawar ciptaannya.

Biarpun Permata Castafiore menarik dari segi cerita, ternyata buku ini kurang populer. Sepertinya para pembaca lebih suka "ramuan" kisah petualangan Tintin yang biasa, yaitu petualangan ke berbagai tempat dan adanya para "bandit". Karena itulah, Hergé kembali ke ramuan lama ini di dua kisah petualangan Tintin selanjutnya: Penerbangan 714 ke Sydney dan Tintin dan Picaros.

Sumber: Tintin The Complete Companion (Michael Farr)

(disebarkan oleh Dini)

Monday, November 17, 2008

I Love to Quote

Gue punya kebiasaan mengumpulkan kutipan-kutipan dari berbagai buku. Udah lupa juga sih sejak kapan kebiasaan ini dimulai. Dan masih berlanjut sampai sekarang. Kadang ada kutipan yang sifatnya laten, sampai sekarang masih suka diselipkan di sela-sela diskusi. Ada juga yang berlalu begitu aja, yang ‘rasa’nya hanya kena sewaktu masih membaca buku bersangkutan, tapi tidak berapa lama setelah bukunya selesai, tamat juga riwayat si kutipan.

Ternyata emang agak tricky juga memilih kutipan itu, tapi lama-lama makin jagolah, memilih mana yang memang bisa memperkaya dan mana yang nggak. Sayangnya, gara-gara tidak terorganisir dan agak sembrono, banyak kutipan gue yang hilang. Karena gue menulis kutipan itu di mana aja, kertas bekas bon, diktat kuliahan, notes punya temen, notes punya sendiri, kadang-kadang di HP. Dan biasanya gue lupa menyalinnya di My Quotation Book (MQB), terus kertasnya terbuang entah ke mana.

Yeah, I know, payah memang. Habis mau gimana lagi, karena dulu itu gue selalu membawa buku ke mana-mana, di mana pun gue bisa baca. Lagi nunggu giliran di dokter gigi, nunggu bus, di warung, di waktu jeda antar kuliah, di rumah sambil tiduran, di mana aja dan dalam kondisi apa pun. Dan ketika menemukan kalimat menarik, pasti ada dorongan untuk menuliskannya, terutama karena zaman itu gue lebih sering meminjam buku daripada membelinya. Daripada kutipan canggih itu hilang begitu saja seiring dengan dikembalikannya si buku pada yang punya, mendingan gue catat dulu gimana pun caranya. Tapi yah, kadang kita hanya bisa berharap, kutipan yangg gue kumpulin teteup aja raib entah ke mana. Sekarang, dengan hidup gue yang sudah agak lebih disiplin (terima kasih pada setengah delapan sampai setengah lima jam kerja dari Senin sampai Jumat), bahkan kutipan-kutipan di kertas mana pun itu udah rutin gue salin di MQB.

Terus kenapa gue suka ngutip? Well, terkadang ketika membaca sesuatu dan tubuh kita menimbulkan reaksi tertentu, ada kemungkinan kalimat yang kita baca memiliki makna yang dalam. Memang pasti subjektif sih, kondisi emosional seseorang pada saat dia membaca pun akan sangat memengaruhi penilaian mengenai apakah kutipan ini memiliki makna mendalam yang universal atau tidak. Bahkan jenis kelamin pun punya andil yang nggak sedikit untuk menentukan pilihan kutipan.

Kadang-kadang gue juga suka mikir, kenapa sih bukan gue aja yang membuat sesuatu lalu dikutip orang lain. Suka iri sama penulis-penulis lama (lamaaaa… banget), karena mereka lebih dahulu hidup dan lebih dahulu mengeluarkan pemikirannya menjadi bentuk tertulis, hehehe… Pernah nggak kamu memikirkan sesuatu yang kamu rasa itu pemikiran kamu yang paling brilian, tapi kemudian kamu menemukan bahwa pemikiran kamu itu sudah ada yang lebih dulu memikirkannya, bahkan sudah dituliskan? Damn, buku yang gue baca itu dicetak tahun 1910!!! Hahaha….

Luckily, pekerjaan gue yang sebagai editor ini membuat gue bisa mengumpulkan lebih banyak kutipan daripada biasanya. Gimana nggak, tiap beres ngedit Harlequin pasti cari kutipan untuk bagian belakang pembatas buku. Belum kutipan-kutipan dari berbagai buku lain. Whoa… buku kutipan gue itu jadi cepat penuh.

Kemarin-kemarin sempet baca proof novel Jodi Picoult berjudul Vanishing Act/Hati yang Hilang. Man, euh… gue mesti bilang apa ya. Gue cinta Paulo Coelho, apalagi Sang Alkemis. Gue juga mengutip dari buku itu, gue lupa apa tepatnya, tapi sesuatu yang bunyinya seperti ini: Ketika kau menginginkan sesuatu, maka seluruh alam raya akan membantumu (ini termasuk kutipan yang kertasnya ilang, =D). Dan itu tuh laten banget, terutama dengan my side job sebagai ‘tong sampah’, itu kalimat juara untuk memotivasi teman-teman gue yang lagi terpuruk. Terus, ketika gue baca Vanishing Act, gue selingkuh, hahaha… Nggak, nggak, bukan selingkuh, gue poliandri! Apa boleh buat, Coelho emang canggih dan akan tetap canggih. Tapi Picoult lagi nempel di hati nih.

Jadi, di Hati yang Hilang, Picoult cerita tentang anak yang hilang, terus yang menarik adalah ketika salah seorang tokohnya menggambarkan dirinya, seorang ibu yang mengandung selama sembilan lalu melahirkan bayinya, dia mengatakan “ketika kau mendapatkannya kau tidak menyadari bahwa sebenarnya kau kehilangan dirinya”. Iya, bayangin deh selama sembilan bulan kamu dan bayimu selalu bersama-sama, ketika kamu mendapatkan bayimu di tanganmu (aka. melahirkan) sebenarnya kamu kehilangan dia karena dia tidak lagi menjadi bagian darimu dan suatu saat dia akan menghadapi dunianya sendiri. Aduh, pusing… tapi begitulah, semoga mengerti maksud gue.

Ibu Picoult ini jago banget deh bikin analogi-analogi keren, dan tersebar di berbagai bagian dalam bukunya. Wittuwwiw… kamu harus baca sendiri, atau kapan-kapan kita bahas buku-bukunya Picoult di sini ya.

Wait… wait… sebagai penutup, gue mau kasih satu kutipan. Ini sebenernya kutipan dari film (yah, lu bisa mendapatkan kutipan dari mana pun, bukan?) tapi masih nyambung banget sama perbukuan, soalnya ini dari film Beatrix Potter. Gini nih: “There’s something delicious about writing the first few words of a story. You can never quite tell where they’ll take you. Mine took me here, where I belong.”

(Disebarkan oleh Rere. November 2008)

Thursday, November 13, 2008

Everything’s Gonna Be All Right…

Frankfurt am Main, 15 Oktober 2008

Arloji di tangan menunjukkan pukul 21.45 waktu setempat ketika saya dan Mbak Yanti keluar dari hotel. Setelah mencegat taksi dan sedikit berbahasa Tarzan sambil menunjuk-nunjuk kertas berisi alamat sebuah kelab malam, mobil pun melaju dengan kecepatan cukup tinggi.

Kami tiba di King Kamehameha Club tak sampai lima belas menit. Tepat waktu untuk menghadiri pesta perayaan 100 juta kopi terjualnya buku-buku karya Paulo Coelho di seluruh dunia. Ya, malam itu kami, bersama wartawan, penerbit, para sahabat dari industri perbukuan diundang penulis besar asal Brazil tersebut. Di dalam pesta itu, Paulo juga akan menerima penghargaan dari Guinness Book of Records 2009 sebagai penulis dengan satu buku yang paling banyak diterjemahkan di dunia (The Alchemist, 67 bahasa).

Kami baru saja hendak menitipkan jaket ketika sang penulis besar sendiri keluar dan berdiri di dekat pintu masuk untuk menyambut para tamunya. Ah, sial! batin saya. Andaikata kami ngaret dikit, tangan ini sudah berjabatan dengan salah satu penulis besar abad ini yang hidup dan tulisannya telah begitu banyak menyentuh dan menginspirasi para pembacanya. Mau keluar lagi buat ikut masuk barisan, rasanya konyol. Mau menyela barisan dari depan dan mencuri momen untuk foto bersama, takut membuat macet aliran tamu yang mulai berdatangan dan dipelototi Mr. Coelho dan Monica, sang agen. Apalagi kelakuan norak itu bakal terekam kamera para wartawan TV maupun media cetak yang terus stand by di sana. Alhasil, saya pun cuma bisa menjepret Mr. Coelho dari jarak satu meter (ah, so close and yet so far away!) dan terus menunggu di sana untuk mencari kesempatan nyelak yang tak pernah datang itu…

Akhirnya saya dan Mbak Yanti menyerah dan beranjak masuk. Kami disambut waitress muda dan cantik yang menawarkan wine. Kalau nggak ingat besok harus berseliweran di hall-hall Frankfurt Book Fair, ingin rasanya menerima tawaran si waitress. Kapan lagi dapat kesempatan dugem di Frankfurt? Hehehe. Jadilah kami menenggak (biar keren) Coca Cola sambil menikmati alunan suara merdu penyanyi cantik yang menyanyikan serangkaian lagu berbahasa Inggris dan Spanyol.
Kelab itu tidak terlalu besar. Terdiri atas dua lantai, di lantai bawah terdapat beberapa sofa di sepanjang salah satu sisi dinding, sementara di atas pengunjung hanya bisa berdiri sambil bersandar ke pagar pembatasnya yang terbuat dari kaca. Di atas beberapa meja di tengah ruangan terdapat beberapa booklet berjudul The Winner Stands Alone. Judul yang diambil dari karya terbaru Paulo Coelho (yang menurut info bakal terbit tahun depan), dengan gambar Mr. Coelho yang tampak ceria dalam kaus hitamnya. Di atas kepala terdapat dua layar besar yang terus-menerus menampilkan versi cover The Alchemist dari berbagai negara. Mata tidak boleh terpejam sedetik pun kalau mau menemukan cover versi GPU.

Semua sofa ternyata sudah di-reserved. Saya dan Mbak Yanti harus puas duduk bertengger di dekat undakan pendek menuju sofa-sofa tersebut. Lumayanlah. Setidaknya kami punya jarak pandang yang cukup enak ke panggung. Maklum, dengan tinggi cewek Asia yang tak seberapa, kami nggak bakal bisa melihat panggung kalau kaki menjejak lantai.

Tak lama kemudian Mr. Coelho melangkah masuk dan acara pun dimulai. Dibuka dengan penyerahan penghargaan oleh pihak Guinnes Book of Records, Paulo pun naik ke panggung dan disambut tepuk tangan meriah. Dengan rendah hati beliau menyampaikan bahwa pencapaiannya ini tak bisa disangkal merupakan hasil kerja keras dan kepercayaan Monica, sang agen, yang dua puluh tahun lalu menghampiri Paulo dan bertekad memperkenalkan karya-karya Paulo ke seluruh dunia. Perayaan malam itu pun dipersembahkan Paulo bagi Monica.

Kilatan blitz menyambar-nyambar sepanjang pembukaan acara. Termasuk blitz dari kamera saya, sebelum mendadak ngadat. Ah! Tangan menepuk jidat bibir berucap "bodoh!" Dengan segala kesibukan di Book Fair siang tadi, saya lupa men-charge baterai kamera saya! Pinjam baterai kamera Mbak Yanti ternyata beda bentuk. Mau mengoperasikannya tangan canggung karena tidak terbiasa dengan tombol-tombol yang berlainan. Sial, sial, sial! Lagi-lagi kesempatan mengabadikan peristiwa penting dalam dunia perbukuan ini batal. Bibir sudah maju beberapa senti dari asalnya yang memang tidak terlalu tipis.

Acara berlanjut dengan acara nyanyi-nyanyi. Teman baik Paulo, penyanyi Brazil Gilberto Gil menghangatkan suasana malam itu dengan menyanyikan lagu No Woman, No Cry. Suaranya empuk banget, reggae banget, pokoknya enak banget. Dan serunya, di tengah-tengah lagu, Paulo ikut bernyanyi! Suara penulis (yang belakangan saya baca memang pernah jadi rock star) itu nggak kalah bagusnya. Beberapa orang sudah mulai berjoget. Argh. Makin menyesali kebodohan diri. Kapan lagi, kapan lagi bisa melihat dan mendengar seorang Paulo Coelho bernyanyi secara live?

Tapi duo Paulo-Gilberto tidak membiarkan kekesalan saya berlarut-larut. Ketika musik makin rancak, kaki mulai diketuk-ketukkan ke lantai. Dan ketika mereka mengajak hadirin ikut mendendangkan "Everything's gonna be all right, no woman, no cry…" saya nggak tahan lagi. Badan ikut bergoyang dengan sendirinya dan mulut pun mulai ikut bernyanyi. Tanpa malu-malu seperti biasanya, tapi juga tetap menjaga diri supaya jangan sampai malu-maluin bos yang duduk di samping.
Akhirnya Paulo turun dari panggung dan beranjak bersama rombongannya ke ruang pribadi di kelab itu. Tamu lain masih melanjutkan dengan acara minum-minum dan obrolan santai. Jam 23.30. Saya dan Mbak Yanti tahu diri untuk pulang dan beristirahat, siap-siap untuk sederet appointment keesokan paginya. Kami berjalan keluar kelab dengan jaket tertutup rapat mengingat angin musim gugur yang makin menggigit. Sempat lama menunggu taksi di jalanan yang sangat lengang, tapi kegembiraan bisa ikut serta dalam perayaan Paulo Coelho lumayan membuat hati hangat.

Dan tiap kali pikiran saya mulai berniat menyesali diri lagi, saya langsung menghentikannya. Bagaimanapun juga, bukankah memori otak saya jauh melebihi kapasitas memory card kamera tercanggih sekalipun? Meski nggak ada foto kenang-kenangan saya bersama Paulo Coelho, saya cuma perlu memejamkan mata, maka rekaman suasana malam itu, semua kegembiraan dan kemeriahan malam itu, akan segera terputar kembali. Buktinya malam ini, tepat satu bulan setelah acara itu, saya masih bisa mendengar nyanyian Paulo yang agak-agak parau itu dengan sangat jelas: everything's gonna be all right…

(disebarkan oleh Dharma. November 2008)

Wednesday, November 12, 2008

Pemenang Adikarya Ikapi 2008

Dalam pembukaan Indonesia Book Fair 2008 tgl 12 November 2008 di JCC Senayan, Yayasan Adikarya IKAPI memberi penghargaan kepada buku-buku anak dan remaja. Dari 219 judul yang dikirimkan 22 penerbit, ketua juri yang dipimpin Djoko Lelono memutuskan pemenangnya sebagai berikut:

Kategori Buku Cerita Anak:

1. Bocah-bocah di Pagar karya Yuli Anita Bezari (Dar! Mizan)
2. Jojo Kucing Tinggal Di Mana? karya Koen Setyawan (Gramedia Pustaka Utama)
3. Jangan Bilang Siapa-siapa karya Clara Ng (Gramedia Pustaka Utama)

Kategori Buku Cerita Remaja:

1. 100 Jam karya Amalia Suryani dan Andryan Suhardi (Gramedia Pustaka Utama)
2. Guruku Culun Sekali karya Galang L. (Femmeline / Grup Syaamil)
3. Love For Show karya Andi Eriawan (Gagas Media)

Ilustrator Buku Anak:

1. Iwan Darmawan pada Jojo Kucing Pakai Apa? (Gramedia Pustaka Utama)
2. Yudianto Rahardjo pada Apakah Kamu Bangau? (Gramedia Pustaka Utama)
3. Sutarjo pada Dalam Perut Ikan Paus (Remaja Rosdakarya)

Selamat kepada para pemenang Adikarya Ikapi tahun 2008 ini. Sampai bertemu tahun depan ya. :)

(disebarkan oleh Hetih)


Tuesday, November 11, 2008

Bosan Jadi Editor

Apa sih suka-dukanya menjadi editor? Pertanyaan tersebut mampir berkali-kali kepada saya. Sukanya? Wah, banyak, karena senang membaca, dengan sendirinya pekerjaan ini memberikan saya ruang sebanyak-banyaknya untuk membaca. Dukanya? Karena membaca sudah menjadi pekerjaan, kadang-kadang membaca sudah tidak lagi menjadi suatu kegiatan yang sifatnya menyenangkan.

Tapi duka semacam itu jarang terjadi. Selama delapan tahun menjadi editor, hanya dua kali saya mengalami editor's block kelas berat. Pernah suatu hari saya masuk kantor, menyalakan komputer, dan mendadak saya benci sekali membaca. Jadilah saya browsing internet dan menemukan kata-kata Nora Roberts yang menampar saya, "I don't have writer's block. I'm a profesional writer." Sebagaimana pekerjaan profesional lainnya, saya tidak bisa punya block.

Saya jadi merasa sedikit disindir oleh kalimat tersebut. Pekerjaan saya bukan lagi sekadar hobi membaca. Ya, benar, saya memulainya dengan kegemaran dan minat membaca, namun menjadi editor tidak semata-mata tentang membaca.

Editor menjadi bagian dari suatu sistem penerbitan yang besar. Ibarat restoran, editor adalah sous chef-nya. Ibarat rumah sakit, editor adalah perawatnya. Ibarat bisnis musik, editor adalah arrangernya.

Dulu, semasa saya kanak-kanak, saya selalu menyentuh buku dengan cara yang khidmat. Bagi saya, buku adalah cinta pertama. Saya membayangkan diri saya bisa menjadi bagian dari proses penerbitan buku tersebut. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, saya terkadang lupa saat sudah mencapai hal tersebut. Menggapai impian berbeda dengan hidup dalam impian tersebut.

Ini bukan komplain atau keluhan bahwa saya bosan jadi editor. Tapi untuk menunjukkan bahwa kadang-kadang dewa* pun ternyata manusia biasa.

Tapi rasa cinta saya terhadap buku dan membaca selalu mengalahkan rasa bosan yang terkadang muncul. Kecintaan tersebut kembali memanggil saya pulang setiap kali saya memalingkan kepala saya terhadap cinta pertama saya itu.

(Disebarkan oleh Hetih. November 2008)
*Kata Stephen King dalam On Writing, editor adalah dewa.

Friday, November 7, 2008

Petualangan Tintin: LAUT MERAH

Petualangan Tintin: Laut Merah aslinya berjudul Coke en Stock. Buku yang pertama kali terbit tahun 1958 ini bisa dibilang merupakan ajang reuni banyak "bandit" serial Tintin. Ada Jenderal Alcazar (Si Kuping Belah), Emir Ben Kalish Ezab dan Abdallah (Tintin di Negeri Emas Hitam), Rastapopoulos dan Oliveira da Figueira (Cerutu sang Firaun), Allan (Kepiting Bercapit Emas), Dr. J.W. Müller (Pulau Hitam), bahkan Dawson (Lotus Biru).

Sejak awal kita sudah diajak terlibat dalam berbagai petualangan seru, dari perdagangan senjata, kudeta di Timur Tengah, sampai perdagangan budak. Inilah yang mendasari judul bahasa Prancis-nya, yang dalam pesan bersandi kisah ini diterjemahkan menjadi batu bara di kapal. Istilah ini mengacu ke orang-orang Afrika yang akan naik haji lewat laut tapi sebetulnya akan diperjualbelikan sebagai budak.

Hergé mengangkat topik perbudakan ini untuk membuktikan ia tidaklah rasis seperti yang dituduhkan orang karena Tintin di Congo. Namun niat baiknya berubah jadi bumerang. Empat tahun setelah buku Laut Merah terbit, ada artikel di Jeune Afrique yang menuduhnya rasis karena ia menggambarkan orang-orang Afrika di kisah ini menggunakan bahasa pidgin. Akhirnya Hergé merevisinya pada tahun 1967, memperbaiki tata bahasa orang-orang Afrika itu dan menggunakan cara Amerika yang mengurangi huruf dalam kata-kata, sehingga missié yang diprotes pun menjadi M'sieur.

Keseriusan Hergé menggarap karya-karyanya memang tidak usah diragukan lagi. Agar gambar kapal Ramona betul-betul akurat, ia dan Bob De Moor pulang-pergi dari Antwerp ke Gothenburg naik kapal. Penyelam yang akan memasang bom di kapal yang ditumpangi Tintin, Haddock, Milo, dan Szut juga dibuat berdasarkan foto penyelam Angkatan Laut Inggris yang bernama Lionel Crabb. Pria ini tidak pernah kembali dari misinya memeriksa lambung kapal Sovyet yang sedang berkunjung ke Inggris dan beberapa waktu kemudian tubuhnya yang sudah tak berkepala ditemukan terdampar di pantai.

Hal lain yang bisa kita lihat dalam buku ini adalah tingginya minat Hergé terhadap seni lukis. Di halaman 10 kita bisa melihat lukisan Le Canal du Loing karya Alfred Sisley, di halaman 36 ada lukisan Picasso, dan di halaman 51 tampak secuil lukisan Miro. Bahkan Senhor Oliveira da Figueira pun memasang lukisan dengan pigura indah yang tergantung miring di dinding rumahnya.

Akhirnya, di panel terakhir buku ini, kita bisa melihat Hergé sendiri. Dia muncul sebagai pria berjas hujan panjang di tengah jalan. Sedangkan Edgar-Pierre Jacobs tampak sebagai lelaki berdasi kupu-kupu dan berkacamata yang sedang mendengarkan musik dari radio.


Sumber: Tintin The Complete Companion (Michael Farr)

(Disebarkan oleh Dini. November 2008)

Tuesday, November 4, 2008

Penyelamat Kakakku (My Sister's Keeper) - Jodi Picoult

Aku berkenalan dengan My Sister's Keeper lewat temanku yang meneteskan air mata di kantor ketika mendapat tugas membaca proof buku ini. Karena penasaran akhirnya aku memutuskan membaca buku itu sendiri. Tidak lama setelah mulai membaca buku itu mataku berkaca-kaca dan, akhirnya, ikut meneteskan air mata dan menghabiskan berlembar-lembar tisu.

Buku ini sendiri berkisah tentang keluarga beranggotakan lima orang. Keluarga yang mungkin hanya akan menjadi keluarga "biasa" jika putri tertua keluarga itu tidak mengidap leukemia. Sebagian besar cerita tentang keluarga dengan anggota keluarga yang mengidap penyakit mematikan berfokus pada si penderita. Tapi tidak demikian dengan buku ini. Fokus cerita buku ini bukanlah Kate, si penderita leukemia, melainkan Anna, adik Kate.

Siapa sebenarnya Anna? Anna adalah anak yang lahir melalui prosedur bayi tabung. Anak yang dirancang secara genetik agar bisa menjadi penyelamat hidup kakaknya.

Kate baru berusia dua tahun ketika didiagnosis menderita APL---leukemia promielostik akut--- penyakit leukemia langka. Kate hanya punya satu harapan untuk selamat: donor allergenic---saudara yang sama sempurna. Dan ketika Brian, kakak Kate, ternyata tidak bisa menjadi donor,
orangtua Kate, Sara dan Brian, akhirnya memutuskan untuk memiliki anak lagi. Bukan sembarang anak, tapi anak yang diprogram agar bisa memiliki kecocokan sempurna dengan Kate.

Beberapa saat setelah kelahirannya, Anna sudah harus menyumbangkan darah dari tali pusatnya. Beberapa tahun kemudian dia tanpa henti menjadi donor leukosit, sel induk, atau umsum tulang setiap kali Kate membutuhkan. Meskipun tubuhnya sehat, Anna harus menjalani puluhan suntikan, transfusi darah, dan operasi. Setiap kali Kate di rumah sakit, Anna pasti akan ada di sana untuk menyediakan apa pun yang saat itu dibutuhkan Kate.

Sampai suatu ketika, pada usianya yang ketiga belas, Anna mulai mempertanyakan siapa dirinya dan tujuan hidupnya. Puncaknya, ketika diminta menyerahkan ginjalnya kepada sang kakak, Anna akhirnya menggugat orangtuanya untuk memperoleh hak atas tubuhnya sendiri.

Aku punya dua orang adik. Jika aku diminta mendonorkan sesuatu untuk adikku aku akan melakukannya tanpa pikir panjang. Aku yakin hampir semua orang akan melakukannya tanpa ragu. Lalu kenapa Anna merasa keberatan melakukannya? Apakah Anna sebegitu kejam hingga tega menjatuhkan vonis hukuman mati bagi kakaknya dengan menolak menjadi donor kakaknya lagi?

Anna sebenarnya bukanlah sedang mencari perhatian seperti yang dituduhkan ibunya. Dia sedang berteriak meminta bantuan karena tidak bisa mengenali siapa dirinya. Selamanya dia merasa hanya sebagai penolong Kate. Dia tidak merasa dirinya sebagai pribadi utuh. Dia selalu menjadi bagian Kate. Gadis yang merasa diinginkan hanya untuk menjadi alat yang bisa digunakan untuk menolong kakaknya. Anak yang merasa tak kasatmata hingga orangtuanya membutuhkan darah atau bagian tubuhnya yang lain untuk Kate. Gadis yang untuk sekali dalam hidupnya ingin diberi kesempatan untuk memilih. Semua itu akhirnya menjadi bagian alasan Anna meminta pengacara untuk mewakilinya mengajukan petisi hak atas kebebasan medis.

Sara, sang ibu, merasa ia tanpa ragu akan dengan sukarela menjadi donor untuk Kate. Ia menganggap Anna akan merasakan hal yang sama sehingga tidak pernah mempertanyakan kesediaan Anna untuk menjadi donor bagi Kate.

Biasanya pada prosedur-prosedur medis, dan pada banyak hal lain, orangtua diizinkan membuat keputusan bagi anak karena mereka dianggap melakukannya demi kepentingan si anak. Tapi bagaimana jika mereka dibutakan oleh kepentingan anak yang lain?

Bagaimana jika karena ingin menyelamatkan salah satu anaknya, anak yang lain menjadi korban? Bahkan meski tidak ada yang dikorbankan oleh keputusan itu, apa jaminan bahwa keputusan orangtua untuk anak merupakan keputusan yang terbaik? Hal inilah menurutku yang paling menarik dari buku ini. Betapa sebenarnya kita tak selalu bisa membedakan antara hitam dan putih dengan mudah. Atau juga antara benar dan salah. Bahkan ketika kita tahu itu tindakan yang benar, belum tentu itu tindakan yang baik. Ya, berusaha sekeras mungkin untuk menyelamatkan anak kita adalah tindakan yang benar, tapi apakah mengorbankan anak yang satunya lagi merupakan hal yang baik?

Selain ceritanya yang menurutku kompleks, gaya penceritaan buku ini juga unik. Buku ini diceritakan melalui sudut pandang tujuh orang. Jadi selain menceritakan Anna, buku ini juga menceritakan konflik yang dialami anggota keluarga Fitzgerald yang lain, juga pengacara dan wali ad litem Anna.

Buku ini sendiri sekarang sudah diangkat ke layar lebar. Aku tidak sabar untuk melihat akting Cameron Diaz yang akan memerankan Sara dalam film ini. Buat yang mau nonton juga, aku menyarankan untuk membaca bukunya dulu sebelum nonton. Buat yang udah nonton dan merasa filmnya kurang bagus, ingat: Don't judge a book by it's movie.

(Disebarkan oleh Dian. November 2008)

Kehidupan di Pintu Kulkas - Alice Kuipers


“A book about making time for those you love when time itself is running out...”

Ada banyak cara menulis kisah cinta. Salah satunya dengan pesan-pesan singkat yang ditempelkan di pintu kulkas. Singkat, padat, nyaris tak menyentuh kata-kata puitis dan indah yang biasanya menjadi salah satu instrumen setia dalam kisah cinta yang mengharu biru. Bahkan ada kalanya pesan itu hanya berupa daftar barang belanjaan yang mesti dibeli: susu, apel, wortel untuk Peter si kelinci, jus (kau boleh pilih rasa apa). Atau mungkin teriakan supaya si ibu tidak lupa meninggalkan uang saku. Dan yang lebih singkat lagi: “Mom, aku dapat A!”

Tapi toh kita bisa temukan juga jejak-jejak cinta di antara singkat dan bergegasnya kehidupan yang dikisahkan di pintu kulkas itu. Dan betapa dalam... Dan meski tak satu kata puitis pun ditemukan di sana, kau ingin tahu hasilnya? Cucuran air mata dan hati yang diremas-remas, yang mengartikan cinta itu ada, dan akan tetap ada lama setelah kehidupan di pintu kulkas itu berakhir.

Oh ya, satu lagi yang membuat buku ini istimewa, setidaknya untuk saya: buku ini mengingatkan betapa banyak yang dapat dikatakan dalam begitu sedikit kata-kata, asalkan kita bersedia menyediakan waktu untuk mengatakannya.

(Disebarkan oleh Rosi. November 2008)

Monday, November 3, 2008

Bukuku Jendelaku

Aku tidak ingat kapan persisnya mulai suka membaca buku. Tapi kalau tidak salah setelah lagi-lagi mendapat buku sebagai hadiah dari teman-teman dan keluarga setiap kali ulang tahun, aku pun “terpaksa” melahap semua buku itu daripada dibiarkan bersarang jaring laba-laba. Sebuah keterpaksaan yang berbuah manis, tentunya.

Aku jadi keranjingan baca buku. Mengunci diri di kamar agar tidak ada yang mengganggu, melupakan makan dan minum, seharian berdiam diri di kamar, hanya demi menuntaskan rasa penasaran sewaktu membaca lembar demi lembar kisah di dalamnya, membayangkan setiap kejadian secara detail di benak, mengira-ngira kejadian selanjutnya, menebak setiap ending, berharap menjalani kisah seperti si tokoh di buku. Ahh... what an intoxicating experience!

Kisah-kisah Disney, H.C. Andersen, S.A. Conan Doyle dan Enid Blyton menjadi buku “wajib” waktu masih kecil dulu. Sambil bawa roti lapis selai kacang dan sebotol sirup, aku bersama adik akan bersepeda ke taman dekat rumah, mencari tempat di bawah pohon dan mengeluarkan salah satu seri Lima Sekawan, kemudian membuka halaman di mana George dkk tengah bersantap siang. Kemudian sambil membacakannya untuk adikku, aku membayangkan kami tengah berpiknik seperti George, Julian, Dick, Anne, dan Timmy, minus petualangan-petualangan mereka.

Menjelang remaja, kisah-kisah petualangan digantikan cerita-cerita mengenai pencarian jati diri, teman-teman, dan cinta. Dulu aku suka banget sama Judy Blume, terutama yang Are You There God? It’s me, Margaret. Karena tiga hal tadi, lengkap dibahas di sana. Tapi selain kisah-kisah manis percintaan remaja, aku juga keranjingan cerita horor! Hehehe. Jadi waktu muncul seri Fear Street dengan berbagai kisah seramnya, wah, senangnya bukan main! Emang sih bikin kepikiran aja, tapi rasa penasaran setiap mencari dalang di setiap kisah seram, serunya bukan main. Dulu aku senang banget sama seri ini yang berjudul Moonlight, di situ cewek tokoh utamanya ditaksir sama cowok separuh serigala jadi-jadian. Seram memang, tapi dulu sih ngebayanginnya keren (nggak tahu kenapa?). Lucunya, sekarang Stephanie Meyer ngeluarin Twilight saga yang juga mengangkat kisah manusia dengan makhluk supranatural. Fantastis!

Masuk masa kuliah, cerita-cerita lebih dewasa mulai menarik minatku. Jatuh cintaku pada serial chicklit bermula saat membaca Confessions of a Shopaholic. Sejak baca itu (dan masih sampai sekarang..) setiap kali membeli barang apa pun yang agak mahal, selalu terlintas kalimat andalannya Becky, “Ahh, ini kan untuk investasi. Jadi mahal sedikit tidak apa-apa. Karena nanti semua orang akan memanggilku, the girl with the blue dangling earrings, the girl with the yellow leather jacket, the girl with the khaki leather boots, bla, bla, bla.” Haha… Ceritanya Jemima juga aku suka. Saat dia berhasil menurunkan berat badannya berkat olahraga, aku juga ikut terinspirasi ngurusin badan karena kebetulan masa kuliah dulu rada gemuk. Although in the end I realized that, just like Jemima, beauty is only skin deep.

Saat itulah aku mulai baca bukunya James Redfield dan Paulo Coelho. Buku-buku mereka sarat dengan pesan-pesan spiritual dan moral yang universal. Dengan bukunya Redfield, aku awalnya tertarik sama sampul depannya yang bagus. Yang pertama kali aku baca tuh yang Rahasia Shambala. Wah baca dari halaman pertama saja sudah bikin aku penasaran dan hati damai, gitu. Ceritanya benar-benar bagus. Aku sih jadi kepingin ke Tibet dan Pegunungan Himalaya sejak baca itu. Meski nggak tahu kapan, tapi untuk saat ini rasanya cukup puas membayangkan suasana dan pemandangan di Tibet yang diramu dengan piawai oleh Redfield di bukunya itu.

Buku pada akhirnya memang menjadi “jendela dunia” bagiku untuk meresap dan merenungkan kisah-kisah di berbagai pelosok bumi ini. Dan bergabung menjadi salah satu editor di GPU, membuka jendela itu semakin lebar untukku mengarungi setiap cerita yang sarat dengan pengalaman dan kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kisah-kisah dongeng, petualangan, cinta, fantasi, setia menemani setiap fase hidupku. Menyedotku ke dalam halaman-halamannya yang sarat makna dan pesan. Sampai terkadang tanpa sadar (dan disadari), mengikutsertakan fiksi-fiksi itu dalam nyata. Fiksi melebur dalam nyata, memengaruhi cara berpikir, cara bersikap, bahkan cara berbicara.

Kini aku sudah tidak sabar lagi pengin baca Dongeng Ketiga Belas karya Diane Setterfield yang katanya seru, gothic, dan rumit. Dan sembari membolak-balik halaman-halaman Bibliophile, mencari bacaan-bacaan baru lain yang menarik minatku, sayup-sayup terdengar Chantal Kreviazuk menyanyikan lagu yang liriknya sudah tidak asing lagi bagiku, “… it feels like home to me, it feels like home to me, it feels like I’m on my way where I belong…

(Disebarkan oleh Mei. Oktober 2008)

Sunday, November 2, 2008

Awan Ide Melayang-layang

“Dari mana sih idenya?” Itu pertanyaan standar yang selalu dilontarkan pada pengarang mana pun di mana pun di seluruh dunia ini. Saya bukan published novelist---yet (harapan selalu ada... hehehe), tapi mungkin saya bisa berbagi sedikit soal dari mana datangnya ide itu.

Buat saya, datangnya ide bisa dibagi dalam dua kelompok besar: yang dipaksa dan yang datang begitu saja.

Yang datang begitu saja hampir selalu datang dalam suasana santai:
· saat mandi
Jangan salah, kamar mandi bisa mendatangkan banyak ide cerita lho. Mungkin karena suasananya yang dingin, mungkin karena saat membersihkan diri kita juga membersihkan aura kita hingga ide mudah datang. Saat ngebom di wc pun jadi saat yang tepat bagi munculnya ide, mungkin karena saat ngebom kita sering melamun.
Konon kabarnya, wapres pertama kita, Bung Hatta juga penganut aliran kamar mandi ini. Di kamar mandinya sampai disediakan meja tulis, kertas, dan alat tulisnya sekalian, biar ide-ide segar yang muncul bisa cepat dituangkan di atas kertas dan tidak kabur entah ke mana.
· setengah tidur
Tidur-tidur ayam bisa membuat kita melamun ngalor-ngidul, akibatnya ide-ide cerita tiba-tiba bermunculan. Salah satu teman saya bilang dia menyimpan buku catatan dekat tempat tidurnya supaya kalau ada ide cerita, dia bisa langsung bangun dan menuliskannya. Saya pernah mencoba sih, tapiii... kemudian rasanya lebih enak bablas tidur ya... (makanya sampai sekarang belum jadi published novelist... hehehe)
· saat jalan kaki sendirian
Saat jalan kaki sendirian tanpa teman ngobrol, tanpa sadar kamu akan mengamati sekitarmu. Apakah mobil tua di sana benar-benar sudah teronggok lima tahun tanpa tersentuh? Apakah bakul jamu itu sebenarnya orang kaya di desanya? Pertanyaan-pertanyaan yang tanpa sadar muncul bisa jadi awal cerita.
· saat baca buku, nonton film, atau mendengarkan lagu
Saat menemukan tokoh yang unik di buku atau film mungkin kita jadi teringat ada tokoh yang kurang-lebih sama dalam kehidupan kita, lalu ingin menulis tentang dia. Atau mungkin ada jalan cerita buku atau film yang melenceng dari keinginan kita hingga ingin kita reka ulang sendiri. Sementara saat mendengar lagu tertentu, mungkin tanpa sengaja perasaan kita jadi mellow atau riang, yang menimbulkan ide baru untuk tulisan kita.

Yang dipaksa:
· dengan brainstorming dan mind maping
Tulis semua ide di kertas, jelek-bagus, cetek-deep, semua saja (brain storming). Atau tulis satu ide, lalu kaitannya ide itu dengan hal lain, sambungkan dengan yang lain lagi (mind maping).
· sengaja nonton film, baca buku, atau mendengarkan lagu
Punya ide tapi masih kasar banget dan bingung bagaimana mengembangkannya, atau punya perasaan tertentu dan pengin nulis tapi nggak jelas arahnya ke mana? Cari buku, film, atau lagu yang mendukung ide atau perasaan itu, nikmati dan mungkin membantu. Atau lebih blank lagi, benar-benar tidak punya ide? Cari buku, film, atau lagu yang lagi in atau dibilang orang bagus, mungkin ada satu atau dua ide yang bisa dicuri dari sana.
· mengamati lingkungan sekitar
Lingkungan kita punya banyak potensi cerita. Paling dekat saja, orangtua atau saudara di rumah, pasti ada tingkah polah atau pemikiran mereka yang bisa jadi sumber ide. Itu baru lingkungan terdekat, bagaimana lingkungan yang lebih luas? Sekolah, kampus, tempat kerja?
· membongkar peti kenangan
Ingat-ingat lagi pas pertama kali pacaran rasanya kayak apa atau bagaimana asyiknya ngegeng pas SMA. Mungkin ada satu-dua detail yang layak dikembangkan jadi cerita.
· latihan menulis
Tulislah sesuatu sedikit setiap hari. Dengan memaksa diri menulis, pelan-pelan ide akan muncul dengan lancar.
· baca koran/majalah
Setiap hari ada aja peristiwa yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di kepala kita. Kenapa anak orang utan bisa lahir di kebun binatang di Austria, misalnya. Dari pertanyaan ini bisa aja muncul ide cerita tentang kisah cinta si pengasuh orang utan itu lho...

Nah, moga-moga tips ini bisa berguna buat menggali ide dari gumpalan abu-abu dalam kepala kita itu. Soal menuangkannya dengan runut, mengalir, dan menggugah rasa... hmm... itu nanti mungkin bisa dikulik di postingan yang lain. Ciao!

(Disebarkan oleh Donna. November 2008)