Tuesday, October 28, 2008

Pengarang Baik Hati

Punya pekerjaan jadi sekretaris di perusahaan penerbitan membuat saya menemui manusia dalam berbagai edisi. Kebanyakan pengarang, yang mau menerbitkan karyanya di tempat saya bekerja.

Sejarah membuktikan bahwa pada saat mereka menyerahkan naskah, mereka datang dengan cukup sopan, baik, rendah hati. Ada yang optimis, ada yang pesimis. Tapi dengan berjalannya waktu dan lamanya naskahnya belum selesai dibaca editor, keluar deh sifat-sifat aslinya. Mulai jutek, nggak sabaran. Bahkan ada yang pernah ngasih nasihat, "Mbak, coba deh tim editornya ditambah, biar kita-kita yang pengarang ini nggak terlalu lama digantungin."

Memang sih, pengarang pasti nggak sabar nunggu naskahnya selesai dibaca. Tapi yah, naskah yang masuk tiap tahun semakin banyak. Untuk perbandingan, waktu saya baru masuk GPU,
cuma 300-an judul yang masuk dalam satu tahun (2004). Sementara tahun ini, baru sampai bulan Oktober saja sudah 900 judul naskah yang masuk meja redaksi. Belum lagi kalo ada lomba. Seperti yang baru aja lewat, lomba cerita konyol remaja. Kami terus memperbaiki diri, kok. Semoga ke depannya proses seleksi naskah ini bisa lebih cepat lagi.

Tapi, ada beberapa juga makhluk langka yang dinamakan pengarang yang baik. Biasanya mereka mengerti kalo naskahnya musti ngantre dulu, jadi butuh waktu minimal 3 bulan buat dinilai. Kalo nelepon saya untuk konfirmasi naskahnya, tidak pernah mereka bicara dengan nada yang tinggi, selalu sopan dan tahu aturan, seperti layaknya menelepon ke sebuah instansi. Sayangnya di dalam rimba kepenulisan, mereka termasuk edisi langka. Kaum minoritas. Hampir punah. Jadi, kalo di antara 200 pengarang saya nemuin satu yang seperti itu, langsung pengin dikasih air keras, biar tetap awet.

(Disebarkan oleh Michelle, Oktober 2008)

Sunday, October 26, 2008

Lomba Resensi Online Novel Grafis

Menyambut terbitnya dua novel grafis terbitan Gramedia Pustaka Utama pada bulan Oktober ini, Chicken with Plum dan Che. Lomba resensi online bulan ini adalah novel grafis terbitan Gramedia Pustaka Utama. Berikut ini judul-judul yang bisa dipilih untuk diresensi:

Chicken With Plums - Marjane Satrapi
Embroideries - Marjane Satrapi
Che - Spain Rodriguez
White Lama - Bees, Jodorowsky
History of Violence - John Wagner
Epileptik - David B.
Seri Age of Bronze: Seribu Kapal dan Pengorbanan - Eric Shanower
Seri Usagi Yojimbo - Stan Sakai
V for Vendetta - Alan Moore
Balada Seorang Penyiar - Marc Males
Love Me Better - Rosalind B. Penfold

Cara ikut lombanya?
Gampang banget!
Buat resensinya, lalu pasang di blog. Boleh salah satu atau beberapa judul sekaligus. Makin banyak, makin oke.

Nah kalau udah dipost, kirim link blog tersebut sekalian resensinya ke email: hetih@gramedia.com dan tanti@gramedia.com dengan subjek e-mail: Review Novel Grafis.
Jangan lupa pasang juga link resensinya di komen postingan ini.

Nanti akan dipilih 3 orang yg akan mendapat hadiah paket buku GPU @Rp250.000,-.

Oya, deadline posting di blog s/d tgl 30 November 2008.
Jadi, buruan baca bukunya dan tulis reviewnya... sekarang juga!

(Disebarkan oleh Hetih. Oktober 2008)

Secuil Cerita Tentang Twilight Saga

Nggak seperti kebanyakan orang, buku pertama dalam Twilight Saga yang aku baca justru buku kedua. Ngebacanya juga tidak dengan sengaja, tapi karena Mbak Rosi ngasih tugas untuk bacaproof New Moon. Meskipun awalnya rada keder karena itu buku tebal banget, akhirnya aku malah nggak bisa berhenti baca, pengin cepet-cepet sampe ke halaman paling akhir. Jadi, akhirnya gue malah harus berterima kasih karena dikasih tugas yang sangat menyenangkan ;-)

Banyak orang bilang anak-anak muda zaman sekarang, terutama remajanya, nggak suka baca buku. Kalian setuju? Nggak dong, ya? Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, buku-buku remaja juga berhasil mencapai angka penjualan fantastis. Salah satu contohnya ya Twilight Saga ini.

Semuanya dimulai bulan Oktober 2005 ketika Little, Brown and Co. di Amrik sana menerbitkan novel pertama karya Stephenie Meyer yang berjudul Twilight. Dan cuma dalam waktu satu bulan, Twilight berhasil masuk dalam daftar New York Times Best Seller List untuk kategori young adult.

Selain dari New York Times, buku ini juga dilabeli Amazon.com sebagai “Best Book of the Decade… So Far”. Kira-kira dua bulan lalu, waktu aku browsing ke situs Amazon, sudah ada 1.675 orang yang menulis review buku ini, dan 1.331 di antaranya ngasih rating 5 bintang. Menariknya, orang-orang yang membuat review atau ngomongin buku ini di berbagai forum nggak cuma remaja, tapi ada ibu-ibu, bahkan nenek-nenek. Lumayan, dong? Maksudnya lumayan bikin penasaran, terutama buat kalian yang belum baca...

Saking cintanya sama buku ini, para fans menyebut diri mereka sebagai Twilighters. Bahkan penduduk kota Forks, kota yang sungguhan ada di negara bagian Washington, bikin hari khusus buat Stephenie Meyer. Sekarang ini, film layar lebar Twilight juga sedang dalam tahap akhir produksi. Menurut gosip-gosip yang beredar di internet filmnya bakal rilis bulan November/Desember 2008.

Karena kena virus New Moon, aku coba meng-google frasa “Twilight, Stephenie Meyer”, dan menghasilkan jutaan entri, mulai dari situs resmiTwilight, forum-forum diskusi, sampai puluhan YouTube personal yang menyediakan trailer film Twilight. Bahkan MTV juga menyediakan trailer ini di halaman depan situsnya.

Dan ternyata, Twilight nggak cuma disukai publik remaja di Amerika. Sekarang, Twilight sudah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, termasuk Indonesia. Waktu aku coba browsing ke forum-forum diskusi dan blog orang Indonesia, udah ada buzz yang cukup seru tentang Twilight Saga di kalangan netters Indonesia.

Gimana sih cerita novel ini?

Dengan buzz sebesar itu, kalian pasti nanya, emang gimana sih ceritanya? Kalo kalian mau tahu ringkasan cerita lengkapnya, mendingan klik artikel yang dibuat Mbak Michelle deh.

Buat gue, di balik kisah cinta Bella-Edward yang pastinya bikin banyak cewek terpesona (not me! I vote for Jacob!=)), Stephenie Meyer menceritakan hal yang universal banget, yang dialami hampir tiap remaja meski dengan tingkat beda-beda. Tiap orang pasti pernah melalui masa-masa ketika mereka merasa bingung, pengin banget mencari jalan sendiri, tapi juga sekaligus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan. Atau ketika mereka jadi makin dewasa dan harus belajar bahwa tiap pilihan pasti punya konsekuensi, seperti Bella yang harus mikir seberapa banyak dia rela berkorban untuk bisa bareng terus sama Edward. Atau mungkin seberapa rela dia ngelepas Edward buat mendapatkan hal-hal lain? (Ha... ha... ha... I wish!)

Selain ceritanya, aku pikir pasti menarik juga untuk mikirin judul yang dipakai Meyer buat keempat bukunya. Dimulai dari Twilight, kata yang kira-kira menggambarkan senja ketika matahari udah terbenam dan suasana mulai gelap. Terus dilanjutkan dengan New Moon, suasana malam ketika lagi ada bulan baru. Masih inget dong pelajaran SD bahwa waktu bulan baru tuh bagian bulan yang keliatan dari bumi baru sedikit? Dilanjutkan sama Eclipse (gerhana) ketika betul-betul nggak ada cahaya di langit. Dan saga ini diakhiri dengan buku berjudul Breaking Dawn, saat-saat ketika fajar mulai menyingsing. Jadi pertanyaannya, di pikiran gue nih, pencerahan seperti apa yang bakal didapat Bella di akhir cerita, ya?

Dan pemikiran ini membuat gue nggak sabar nunggu-nunggu Breaking Dawn. Soalnya, kalau cuma berhenti di Eclipse, berarti aku akan tetap berada di kegelapan...:p Bagaimana konflik utama nantinya akan diselesaikan dan pencerahan seperti apa yang bakal didapat Bella memang tergantung sepenuhnya pada Meyer. Makanya, see you all in Breaking Dawn!

(Disebarkan oleh Nina. Oktober 2008)

Wednesday, October 22, 2008

Tintin di Tibet


Buku berjudul asli Tintin au Tibet ini terbit pada tahun 1960, merupakan buku ke-20 dalam serial Petualangan Tintin. Kisahnya tentang usaha Tintin menemukan teman lamanya Zhang yang menjadi korban akibat pesawatnya jatuh di Tibet.

Ketika menulis kisah ini, Hergé sedang menghadapi berbagai masalah. Pernikahannya yang sudah berusia dua puluh enam tahun dengan Germaine Kieckens goyah. Ia juga terus-menerus dituntut untuk memproduksi Tintin. Karena itulah ia diganggu mimpi buruk yang sering berisi hal-hal serbaputih.

Inilah yang kemudian muncul dalam Tintin di Tibet: hamparan salju di Himalaya. Kisah ini juga memuat keyakinan Hergé tentang persahabatan, baik antara Tintin dan Zhang, Haddock dan Tintin atau, yang paling menyentuh, antara yeti dan Zhang.

Tintin di Tibet bisa dibilang semacam terapi penyembuhan bagi Hergé, karena ketika ia selesai membuatnya, mimpi-mimpinya yang serbaputih pun menghilang. Ia juga telah bercerai dari Germaine dan memulai hidup baru bersama Fanny Vlaminck, seniman muda yang bekerja di studio Hergé. Hebatnya efek kisah petualangan di Tibet ini membuat Hergé menganggap kisah Tintin ini sebagai favoritnya.

Tadinya Hergé berniat menulis tentang Indian lagi, karena merasa masih banyak yang perlu ditulis tentang suku Indian, meski ia cukup berhasil mengungkapkan banyak eksploitasi yang dialami suku itu dalam Tintin di Amerika. Namun ia lantas memutuskan menulis tentang tempat yang sama sekali baru tapi tetap berhubungan dengan masa lalunya, yaitu teman lamanya: Chang, pematung muda dari China yang belajar di Belgia. Hergé kehilangan kontak dengannya karena kekacauan akibat invasi China ke Jepang, Perang Dunia, dan revolusi komunis. Baru pada tahun 1975 ia berhasil melacak Chang, yang pada tahun 1981 kembali ke Brussels dan akhirnya menetap di Paris.

Dalam kisah yang sangat personal bagi Hergé ini, ia juga menghadirkan dua hal yang diminatinya: indra keenam dan mistik dalam Buddhisme Tibet. Seperti yang kita ketahui, Tintin bermimpi tentang Zhang yang terluka di tengah salju dan meminta pertolongannya. Karena mimpi inilah Tintin berangkat ke Nepal biarpun semua orang bersikap skeptis karena tipis sekali harapan ada korban pesawat jatuh itu yang masih hidup.

Masalah indra keenam ini lantas menyatu dengan mistik ketika salah satu pendeta Buddha di Tibet yang bernama Kilat Terang tahu-tahu melayang dan melihat visi tentang Tintin dan teman-temannya yang dalam bahaya besar karena terkubur salju longsor.

Sedangkan tentang yeti, Hergé bisa dibilang menampilkan fenomena yang melanda masyarakat pada akhir tahun 1950an. Koran-koran dipenuhi laporan tentang munculnya yeti, jejak kaki misterius (seperti yang tampak di cover buku ini), dan berbagai penjelasannya. Hergé menggambarkan yeti sebagai makhluk yang memiliki banyak sifat manusiawi. Yeti merawat Zhang yang terluka dan menyayangi anak itu sehingga ia melolong sedih ketika Zhang dan rombongannya meninggalkan Tibet.

Salah satu hal yang paling mengagumkan dalam buku ini adalah keakuratan Hergé dalam menggambarkan banyak hal di dalamnya. Ini tidaklah mengherankan, karena Hergé menggunakan banyak referensi, misalnya buku-buku karya Alexandra David-Neel, ahli tentang Tibet. Kemah yang didirikan sherpa Tharkey, deskripsi tentang tsampa (makanan Tibet), tugu chorten, chang (bir sangat keras khas Tibet), juga tradisi penyambutan tamu kehormatan berupa pemberian syal sutra, semua itu dibuat Hergé berdasarkan buku-buku David-Neel.

Referensi Hergé yang lain adalah majalah National Geographic. Banyak lanskap dalam panel Tintin di Tibet yang dibuatnya berdasarkan foto-foto di majalah itu. Misalnya gua salju tempat Zhang berlindung dan prosesi para lama, lengkap dengan atribut dan alat musik mereka. Kehebatan Hergé soal lanskap bisa kita lihat pada tiga panel yang secara berurutan menggambarkan satu pemandangan pegunungan sehingga kita bisa membayangkan luasnya.

Akhirnya, Tintin di Tibet bukan hanya merupakan karya yang luar biasa karena latar belakang kehidupan pribadi Hergé ketika menulisnya, tapi juga karena menunjukkan keprihatinan Hergé tentang nasib negeri itu yang diekspansi China pada tahun 1950-an. Pada tahun 2001, Hergé Foundation mendesak penarikan edisi bahasa China buku ini, yang diterbitkan dengan judul Tintin in China's Tibet. Buku ini kemudian diterbitkan kembali dengan terjemahan judul yang benar. Pada 1 Juni 2006, Tintin menjadi tokoh fiktif pertama yang dianugrahi penghargaan Truth of Light oleh Dalai Lama. Edisi bahasa Tibet buku ini diterbitkan Casterman pada tahun 1994.

Sumber:
-Tintin The Complete Companion (Michael Farr)
-Wikipedia

(Disebarkan oleh Dini. Oktober 2008)

Laika, Anjing yang Terbang di Antara Bintang-Bintang

Selain kucing dan kuda, anjing menjadi binatang yang paling banyak diabadikan dalam literatur. Tidak mengherankan, sebab sejak awal mula peradaban, anjing telah berinteraksi dengan manusia, sebagai binatang kesayangan, pekerja, pelindung, maupun bahan eksperimen. Dalam literatur, kita banyak menjumpai tokoh anjing, baik sebagai musuh ataupun sahabat. Dalam serial Lima Sekawan, ada Timmy yang sangat sayang pada George; Tintin mempunyai Snowy yang lucu dan cerdas; Nicholas Sparks mengisahkan tentang Singer, anjing Great Dane yang setia sampai mati pada majikannya dalam The Guardian; Kate DiCamillo menuturkan kisah mengharukan dalam Because of Winn-Dixie; juga ada Squirrel yang merindukan rumah yang hangat dalam A Dog’s Life karya Ann M. Martin.

Dan sekarang giliran Laika diabadikan dalam bentuk novel grafis. Laika adalah anjing kecil telantar yang diambil dari jalanan di Moscow, untuk diikutsertakan sebagai binatang percobaan dalam program Sputnik 2, pada tanggal 3 November 1957.


Novel grafis ini dibuka dengan pemandangan padang salju di Rusia, dan seorang pria bernama Korolev. Delapan belas tahun kemudian, dia menjadi Chief Designer Sputnik. Kesuksesan peluncuran Sputnik membuat Perdana Menteri Nikita Khrushchev menuntut peluncuran kendaraan orbital kedua. Tenggat waktu yang diberikan hanya satu bulan… dan kali ini harus membawa makhluk hidup di dalamnya. Pada masa itu, Amerika dan Rusia yang terlibat perang dingin, saling berlomba menjadi yang pertama dan paling unggul dalam proyek antariksa mereka. Sebelum mengirim manusia ke angkasa luar, binatanglah yang lebih dulu dikirim. Amerika menggunakan simpanse, sementara Rusia menggunakan anjing. Yang dipilih anjing-anjing jalanan, dengan asumsi mereka sudah terbiasa menghadapi kondisi hidup yang berat, sehingga akan lebih tangguh ketika menjalani eksperimen-eksperimen. Laika terpilih karena di antara calon-calon lainnya, dialah yang paling manis sifatnya, dan paling sabar menjalani apa pun. Eksperimen ini mengukir jalan bagi pengiriman manusia ke angkasa luar. Namun kebenaran tentang peristiwa sesungguhnya yang terjadi atas Laika baru berpuluh tahun kemudian diungkapkan. Setelah keruntuhan rezim Soviet, pada tahun 1998, Oleg Gazenko, salah satu ilmuwan yang terlibat dalam eksperimen tersebut, menyatakan penyesalannya atas apa yang terjadi. Dan pada tanggal 11 April 2008, sebuah monumen untuk mengenang Laika diresmikan di Moscow.

Laika bukan sekadar kisah tentang anjing. Berbagai unsur berbaur di dalamnya. Ada unsur politik, penelitian-penelitian ruang angkasa, interaksi antara manusia dengan hewan-hewan yang terlibat dalam program Sputnik 2, dan hal-hal yang dilakukan manusia atas nama ilmu pengetahuan dan kemajuan. Banyak pula momen inspiratif serta mengharukan untuk mengimbangi kisah tragis yang tak terelakkan ini. Nick Abadzis, penulis sekaligus ilustrator Laika, melakukan riset mendalam sebelum memulai proyek Laika. Nick khusus datang ke Moscow untuk mencari informasi tentang para insinyur, teknisi, dan dokter-dokter yang selama ini tidak ditonjolkan oleh rezim Soviet, dan terutama tentang Korolev, Chief Engineer yang merancang Sputnik 1 dan 2. Rumah Korolev di Rusia telah dijadikan museum dan dari sanalah Nick mengumpulkan kesan-kesan tentang kepribadian Korolev serta orang-orang yang bekerja bersamanya. Kunjungan ke Moscow itu juga digunakannya untuk mendapatkan rasa tentang negeri itu, budayanya, serta orang-orangnya.

Tidak perlu menjadi pencinta anjing untuk bisa merasa tersentuh dengan kisah ini. Laika adalah bacaan untuk setiap orang.

(disebarkan oleh Tanti, Oktober 2008)

Tuesday, October 21, 2008

Kitab Tentang yang Telah Hilang - John Connolly

Entah bagaimana saya mulai bercerita tentang buku ini. The Book of Lost Things atau terjemahannya Kitab Tentang yang Telah Hilang adalah novel fantasi karya John Connolly yang dikenal sebagai pengarang novel kriminal. Jadi wajar saja jika buku ini diwarnai ketegangan-ketegangan ala novel thriller.

Saya tidak bisa berhenti membaca buku yang sinting ini. Ceritanya mengalir dalam twist-twist yang membuat bulu kuduk berdiri. Emosi saya habis dipermainkan oleh isi cerita. Takut, cemas, bahkan sedih berputar-putar dalam hati saya. Yang pasti seusai membaca buku ini saya akan membaca novel John Connolly yang lain.

Buku ini dimulai ketika ibu David sakit keras. David---tokoh utama dalam buku ini---adalah anak lelaki berusia 12 tahun. Setting pada masa perang dunia kedua menambah kesuraman dan kepedihan yang dirasakan David. Ia melakukan segala yang bisa dilakukannya agar ibunya tidak meninggal, tapi siapalah yang bisa mencegah kematian?

Kesedihan David makin menjadi-jadi ketika ayahnya menikah lagi dengan Rose dan ia memiliki adik tiri. David juga harus pindah ke rumah keluarga Rose yang besar. Di rumah besar itu, David sering melihat penampakan sosok manusia bungkuk. David merasa makin tidak bahagia, sering bertengkar dengan ibu tirinya, dan membenci adik tirinya setengah mati. Ia kepingin ibunya tidak usah meninggal dan ia bisa hidup bahagia bersama ayah dan ibunya seperti dulu. Kecintaan David terhadap buku dan dongeng membuatnya melarikan diri dari kepedihan ke dalam buku-buku "warisan" Jonathan, paman Rose.

Suatu malam serangan bom dari pesawat terbang "mengantar" David masuk ke alam lain. Alam di mana dunia dongeng yang biasa dibacanya menjadi nyata. Namun negeri dongeng itu tidaklah polos dan indah seperti yang biasa dibacanya. Negeri dongeng yang dimasuki David adalah dunia yang sadis, menyeramkan, dan keji tak kenal ampun. Di sana Snow White, Putri Tidur, dan Tudung merah bukanlah seperti yang dibacanya dalam buku cerita. Di dunia macam itulah David tersesat dan tak bisa pulang.

Untuk bisa pulang ke dunia nyata, konon David harus bertemu dengan sang raja penguasa negeri yang memiliki kitab misterius: Kitab Tentang yang Telah Hilang. Akan tetapi perjalanan menemui sang raja penuh dengan bahaya. Makhluk jadi-jadian dan kawanan manusia serigala yang ingin mengudeta raja tua itu kini siap berperang dan menghabisi siapa pun yang menghalangi jalan mereka.

Di negeri itu David bertemu dan dibantu oleh tukang kayu baik hati dan Roland sang kesatria yang menyimpan banyak rahasia. Dan di negeri itu pula David berhadapan dengan lelaki bungkuk yang selama ini menguntitnya dan memiliki maksud jahat yang tak terbayangkan terhadapnya. David menghadapi pembunuhan, mutilasi, homoseksualitas, dan kanibalisme di negeri dongeng tersebut. Melalui segala petualangan yang dilewatinya, David yang masuk ke negeri ini sebagai anak lugu perlahan-lahan mencapai kedewasaan.

Walaupun bercerita tentang dongeng dan tokoh utamanya berusia 12 tahun, Kitab Tentang yang Telah Hilang bukanlah buku yang pantas untuk anak-anak atau pra-remaja. Kisah-kisah di negeri dongeng ini memiliki unsur sadisme dan seksual yang bejat. Ya, ibaratnya sehabis membaca novel ini, saya tidak bisa membayangkan cerita dongeng dengan cara yang sama lagi.

(Disebarkan oleh Hetih. Oktober 2008)

Monday, October 20, 2008

Walking Bookshop


“Buku apa itu?”
“Buku cerita.” Sambil terus baca
“Rame?”
“Lumayan.” Masih terus baca.
“Emang nyeritain apa sih?”
“Jadi ya, ini cerita tentang anak kecil yang…” Buku itu dia tutup, jari telunjuknya terselip di antara halaman untuk menandakan bagian yang sedang dia baca. Dia bercerita dengan penuh semangat. Kadang-kadang tangannya bergerak-gerak mencoba ikut mendeskripsikan sekaligus menekankan ceritanya. Matanya terkadang melotot, kadang menyipit. Mulutnya terus mengoceh. Blablabla… panjang pokoknya. Lalu, “Ya, gitu. Keren, kan?”
“Keren. Boleh pinjam?”
“Boleh. Nanti ya, kalo gue udah selesai. Nih, kamu baca yang ini aja dulu.” Mengeluarkan buku lain dari ransel yang disimpan di dekat kakinya terus diasungkan pada temannya, lalu kembali membaca.
Si tukang tanya melihat buku tersebut, menatap si tukang baca yang kembali serius menekuni bukunya, balik lagi menatap buku di tangannya, membalik-balik halaman buku itu. Lalu, “Bang, teh botolnya lagi dong. Yang dingin.”

***

Di halte bus. Panas banget. Cewek itu dengerin musik pake mp3 player sambil baca buku. Gue geleng-geleng keheranan. Kok bisa sih baca buku sambil dengerin musik? Kalo gue baca, ya baca, dengerin musik, ya dengerin musik. Kalo di-mix suka kacau, musiknya nggak tersimak baik, jalan cerita di buku asal lewat doang. Curang! Kenapa cowok cenderung tidak bisa multitasking? Dia baca buku apa sih? Zahir. Paulo Coelho? Gue mengedikkan bahu, rasa-rasanya pernah denger nama itu.

Bus yang ditunggu agaknya masih lama. Bahkan kalo pas lagi jam-jam sibuknya bisa cuma datang tiap sejam sekali. Nasib, keterima kuliah di kota besar yang ternyata tempat kuliahnya di pinggiran kota, bahkan sebenarnya bukan di kota itu sendiri. Soalnya setelah diperhatiin, untuk sampai kampus harus ngelewatin dua perbatasan, pertama perbatasan kota dengan kabupaten kota itu, satu lagi perbatasan kabupaten tersebut dengan kabupaten lain. Gue juga bingung, kok bisa-bisanya Unpad-Bandung, tapi kampus di Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Hallooo...?

Mutung nih kalau bengong gini terus. Baca juga ah... ransel pun diobrak-abrik. Hape, botol minum, tempat pensil, rokok, korek, binder, makalah tugas. Nah, ini ada buku. Yah... ini sih buku pengantar tidur, gue pun mendesah. Di sampul buku setebal sekian ratus halaman itu tertulis Teori-teori Komunikasi.


***

Macet berat! Sial, kenapa hampir tiap weekend, Bandung macet, ya? Untung jalannya menurun. Nggak usah ngegas, gelindingin aja, kalo berhenti tinggal nginjek rem. Maju, lepas rem. Berhenti, ngerem lagi.
Tarik rem tangan. Merem...

Tin... Tin...! Ups, sori, Bos. Maju dikiiiitttt banget. Terus... ngek, ngerem lagi. Oh, crap! Bersedekap. Manyun. Menghela napas. Nengok ke kursi belakang. Eldest! Jok supir gue recline ke belakang sampe mentok, biar gampang ngambil bukunya. Kursinya diatur lagi.

Mana pembatasnya, ya? Oh, ini dia. Bekas bon pembelian cat acrylic dan kuas di Balubur itu terselip di halaman 267. Eragon berlutut di depan ratu para Elf...

Sambil sesekali ngeliat ke depan. Sesekali lepas rem tangan. Injek rem, lepas rem, injek rem, tarik rem tangan lagi. Baca lagi. Satu jam, dari IKIP yang sekarang jadi UPI sampai Setiabudi bawah. Lalu lintas setelah Rumah Mode pun lumayan lengang.

Halaman 306. ...Birgit akan tetap membantunya memburu Ra’zac.
Bon gue simpen di halaman terakhir yang udah gue baca. Eldest ditaruh di jok penumpang. Tancap gas!!!

***

Dulu gue dipanggil walking dictionary, walaupun sebenarnya vocabulary gue juga nggak canggih-canggih amat. Tapi, untuk ukuran anak SMP waktu itu sih lumayan deh.

Umur agak nambah dikit, panggilan berubah, walking directory phone number. Entah gimana, kalo ada teman yang bilang, “Re, Ucup.” Yang ada di kepala gue bukan tampang si Ucup atau pertanyaan kenapa dia nyebut nama Ucup setelah manggil gue atau pertanyaan ada apa dengan Ucup atau, “Ucup? Mana?” Tapi nomor telepon rumah Ucup, 6076***. Sayangnya, kemampuan ini terdegradasi ketika hape mulai mengambil alih fungsi laci penyimpanan nomor-nomor telepon di otak gue. Sekarang sih enak, tinggal tut... tat... tit... tut.... Abdul. Pencet tombol yang ada warna hijaunya. Beres. Tinggal, “Halo, Abdul?”

Sekarang, temen-temen manggil gue walking bookshop. Kenapa? Well, teman-teman gue itu suka bertanya, “Di mana sekarang, Re?”
“Jakarta.”
“Kerja? Kerja di mana?”
“Di Gramedia Pus...”
“Wah, asyik. Bisa titip buku dong?”
“Euh, bisa...”
“Dapet diskon nggak?”
“Euh, dapet. Tapi cuma yang terbitan Kelompok Kompas-Gramedia doang.”
“Nggak apa-apa. Nanti gue pesen lewat lu ya.”

Walhasil, Mbak Hetih kebanjiran pesanan. Sampe dia pun bertanya, “Jualan di mana sih, Re?”
“Ngemper, Mbak.”

(disebarkan oleh Rere. Oktober 2008)

Sunday, October 19, 2008

Kisah Cinta Editor dan Pengarang

Kisah ini tidak selalu manis. Kadang hubungan editor dan pengarang bisa juga diwarnai adegan piring terbang dan gelas pecah.

Tapi apakah benar sehari-harinya pekerjaan saya lempar-lemparan piring bersama pengarang? Sebetulnya tidak. Sebetulnya hubungan saya dan pengarang-pengarang saya (kecuali beberapa) lumayan harmonis. Saya sempat jalan-jalan bersama beberapa pengarang saya. Beberapa dari mereka juga main ke rumah saat saya melahirkan.

Jadi bagaimana supaya kisah cinta editor dan pengarang berakhir bahagia? Saya akan menceritakannya dari sisi editor dan tugas-tugasnya.

Pertama, tentu saja datanglah sebundel naskah di meja editor (saya). Saya membacanya dan menilainya layak terbit. Lalu saya mengontak si pengarang (karena itu jangan lupa cantumkan nomor telepon yang mudah dihubungi--ehm, HP maksudnya, jangan kasih nomor telepon tetangga lagi--dan alamat e-mail). Hubungan pun dimulai dengan perkenalan. Ada editor yang supel dan bisa langsung ketawa-ketiwi bersama pengarangnya seperti teman saya si Vera. Saya sendiri tidak terlalu pandai bicara, jadi biasa setelah memperkenalkan diri saya langsung menyatakan maksud, dan dengan demikian kita menginjak poin kedua.

Kedua, saya akan memberitahu kekurangan dan kelemahan naskah yang saya baca itu. Di mana “bolongnya” alur, di mana kakunya bahasa (biasa pada percakapan). Atau kalau perubahan terlalu banyak, bisa juga saya hanya menceritakan garis besar lalu mengirim balik naskah yang sudah diberi catatan. Mendapat masukan begini, pengarang punya banyak reaksi. Ada yang ngambek, ada yang nggak ngambek tapi ogah mengubah apa pun (ya, ya, setiap titik-koma dalam naskah sudah dipikirkan matang-matang sebelum dibubuhkan di sana), tapi ada yang menerima dengan sukacita dan riang gembira.

Maka masuk ke tahap ketiga, pengarang merevisi naskah dan mengirim balik kepada saya. Ada pengarang yang begitu diintip naskah revisinya sudah oke banget, semua masukan dijalankan dan naskah jadi makin oke, bahkan bisa nyaris tak perlu editing lagi. Tapi, ada juga pengarang yang malah ngelantur, yang diminta apaaaa yang direvisi apaaaa. Ada juga yang ogah melakukan revisi.

Apa pun hasil revisinya, pada tahap keempat, naskah akan diedit. Kalau naskah sudah oke, editing hanya mencakup tata bahasa dan ejaan. Tapi kalau naskah masih berantakan, catatan di sana-sini atau bahkan pemotongan besar-besaran tentu masih harus dilakukan.

Kelima, saya biasa mengirim naskah hasil editing saya kembali ke si pengarang. Pengarang saya minta memeriksa ulang dan menanyakan ini-itu yang dirasanya kurang memuaskan.

Setelah pengarang puas, masuk ke langkah keenam, naskah akan di-setting, lalu setelahnya dibaca proof-nya. Dalam proses pembacaan proof, masih mungkin ada masukan lagi dari editor yang membacanya. Pernah saya sebagai pembaca proof menyatakan satu bab (SATU BAB) itu tidak nyambung dengan cerita keseluruhan dan bisa dibuang daripada membuat naskah terlalu panjang. Pernah juga editor lain yang membaca naskah yang saya edit menyatakan naskah tersebut kacau-balau yang berbuntut satu naskah (SATU NASKAH) ditulis ulang oleh pengarangnya. Jadi jangan sepelekan langkah keenam ini.

Tujuh, kalau semua langkah itu terlewati mulus, naskah akan dicetak, terbit, dan terpajang di toko buku. Tapi apakah hubungan editor dan pengarang sudah berakhir? Tentu tidak, saat buku sudah ada di pasar, mulailah proses memasarkan buku. Caranya? Temu pengarang, book launching, talkshow radio, dll. Saya pernah menemani pengarang saya jadi pembicara di suatu seminar membaca, tapi biasanya sih saya cuma menemani di belakang panggung saja.

Di luar masalah promosi ini bagaimana hubungan editor dan pengarang? Bisa manis seperti yang sudah saya kisahkan pada alinea kedua di atas. Utamanya, hubungan yang dijalin dengan sopan dan hangat tentu bisa terus mengikat tali silaturahmi, bahkan meningkatkan hubungan kerja jadi hubungan pertemanan yang erat dan akrab.

(disebarkan oleh Donna)

Thursday, October 16, 2008

Trilogi D'Angel - Luna Torashyngu

Tak terasa dalam 3 tahun sejarah penerbitan karyanya di GPU, Luna sudah menerakan angka 9. Pukul rata itu berarti ada 3 buku per tahun. Sungguh produktif untuk ukuran penulis cerita remaja Indonesia.

Tak heran, namanya pun mulai dikenal akrab di kalangan pecinta TeenLit Indonesia. Poling majalah GADIS bahkan memilihnya jadi salah satu dari tiga pengarang cerita remaja lokal yang paling ngetop (dua lainnya adalah Esti Kinasih dan Rachmania Arunita).

Menurut saya, Luna mengawali karier menulisnya dengan strategi yang baik---entah disengaja ataupun tidak---yaitu merebut pasar dengan cerita-cerita cinta yang ringan, agak dorama, lembut, dan sangat berselera pasar remaja. Begitu pasar sudah di tangan, Luna mulai mengeksplorasi ranah yang tidak awam bagi pasar remaja: science fiction.

Luna mulai menunjukkan kelasnya pada Beauty and the Best (2006) dan mengulangi lagi kepiawaiannya merangkai cerita pada Lovasket (2007). Kedua novel ini sangat mengalir, alurnya padat, logika ceritanya terjaga baik. Memang kekuatan utama novel-novel Luna ada pada logika cerita yang sangat masuk akal dan alur yang padat hingga membuat pembaca menolak meletakkan novelnya hingga tamat. Ini juga yang disajikannya pada trilogi D'Angel.

Trilogi ini membawa Luna ke ranah science fiction, tanpa meninggalkan naungannya pada genre TeenLit. Dengan tokoh Fika yang masih remaja kelas 1 SMA (pada buku pertama, D'Angel), Luna tetap bisa bebas menggunakan bahasa yang tidak kaku dan lincah, meskipun tema yang ditawarkan bisa saja jadi berat bila pemilihan tokohnya bukan remaja. Kesan lincah khas remaja ini juga tidak hilang meskipun tema lalu meluas kepada spionase, militer, konspirasi internasional, dan percobaan ilmiah. Luna juga tidak berpanjang-panjang memusingkan pembacanya dengan teori-teori sulit. Teori ilmiah sekadar memenuhi logika cerita, sehingga cerita tidak timpang, dan novelnya masih sangat bisa dinikmati tanpa mengerutkan dahi.

Alkisah Rafika Handayani adalah siswi unggulan di sekolahnya. Bintang lapangan voli, juga bintang kelas. Fisiknya pun cantik bening, hingga memikat salah satu kakak kelasnya dan akhirnya mereka pacaran. Tapi saat merayakan peristiwa jadian itu, Fika diculik. Mulailah thriller kejar-kejaran dari basement salah satu mal di Jakarta yang diwarnai adegan tembak-tembakan. Kenapa Fika diculik? Andika, cowok yang menolongnya memberitahu bahwa Fika sebenarnya bukan manusia. Dia bisa sangat sempurna secara fisik dan otak karena dia adalah Genoid hasil percobaan yang mencoba membuat manusia sempurna. Saat ini nyawanya terancam karena Jenderal Rastaji ingin membuat pasukan yang terdiri atas Genoid, dan membutuhkan Fika sebagai contoh. Kejar-mengejar makin seru, dan ditutup dengan hancurnya laboratorium Genoid di dekat Bogor. Fika yang kehidupannya hancur lari ke Malaysia.

Buku kedua, D'Angel: Rose, dibuka dengan ditemukannya Fika di Malaysia. Fika diminta pulang ke Indonesia (meskipun dia dituduh melakukan pembunuhan) untuk membantu polisi menemukan putri seorang koruptor. Fika kembali menjadi anak SMA. Meskipun tugasnya berat, Fika merasa kembali menemukan dunianya. Fika mendapatkan sahabat-sahabat baru, tapi di lain pihak musuh lamanya, Jenderal Rastaji muncul lagi, semakin kuat serta sadis. Jenderal Rastaji juga mengincar putri koruptor yang dicari Fika, demi mendapatkan dana yang tersimpan di salah satu bank di Swiss. Akhirnya jenderal keji ini menculik sahabat-sahabat baru Fika. Ia harus menggunakan kemampuan Genoid-nya dan berkelahi habis-habisan dengan Genoid lain untuk menyelamatkan teman-temannya. Tapi di penghujung cerita, Jenderal Rastaji terbunuh.

Layaknya kisah thriller bersambung, benarkah sang musuh besar sudah mati? Pada D'Angel: Princess, Fika diminta menjadi pengawal putri presiden, karena ada ancaman pembunuhan keluarga presiden. Sekali lagi Fika menyamar jadi anak SMA supaya bisa membayangi sang putri, Gya. Tapi Gya bukan pribadi yang menyenangkan. Merasa teman-teman hanya mendekatinya untuk mencari keuntungan, Gya memasang topeng judes dan dingin. Fika berusaha mencairkan kebekuan hati Gya sambil menjalankan tugasnya. Dan akhirnya Fika menghadapi konfrontasi final dengan musuh besarnya. Kali ini Fika harus melawan Genoid yang lebih kuat. Juga menata hatinya lagi karena Andika kembali muncul.

Dilirik dari sudut cerita, kisah trilogi D'Angel sangat berbeda dengan TeenLit pop yang merajai pasar. D'Angel yang full action ala film Hollywood ini benar-benar bisa jadi pilihan bacaan seru yang menghibur.

Rupanya kiprah Luna di ranah science fiction-action-TeenLit ini belum akan usai. Atau mungkin tepatnya, Luna justru "pulang ke rumah". Dan membawa warna baru bagi dunia TeenLit Indonesia.

(disebarkan oleh Donna, Oktober 2008)

Twilight


“I decided as long as I was going to hell, I might as well do it thoroughly.”

Perempuan mana yang nggak lumer kalo ada cowok ganteng, perkasa, berkulit pualam dan bermata keemasan, bicara seperti ini kepadanya?
Tak terkecuali Bella Swan. Seorang siswi sekolah menengah yang berpenampilan biasa-biasa saja.

Sejak pertama kali Bella melihat Edward Cullen di kantin sekolahnya yang baru di kota Forks, ia sudah sangat tertarik padanya. Ada sesuatu pada sosok Edward yang membuat dia—dan keluarganya—terlihat lebih menonjol dibanding orang lain. Sayangnya, sikap Edward ke Bella pada awal perkenalan mereka sungguh tidak menyenangkan. Entah kenapa, Edward terlihat benci dan jijik sekali sama Bella.

Suatu ketika, Bella dan teman-temannya yang baru piknik ke pantai. Di sana ia ketemu Jacob, anak yang berasal dan bersekolah di pemukiman Indian. Jacob menceritakan bahwa Edward dan keluarganya tidak di terima di daerah pemukiman tersebut, merujuk pada suatu perjanjian yang dibuat oleh nenek moyangnya Jacob. Diceritakan juga dongeng setempat, bahwa keluarga Cullen dipercaya oleh bangsa Indian daerah situ sebagai keluarga vampir. Karena itulah ditetapkan batas-batas daerah.

Penasaran dengan sikap Edward yang jahat padanya, dan cerita yang baru didengarnya dari Jacob, Bella melakukan riset di internet mengenai vampir. Ada beberapa ciri yang menunjukkan bahwa Edward memang vampir, walaupun banyak juga yang tidak cocok.

Bella yang mudah sekali mengalami kecelakaan, beberapa kali diselamatkan Edward. Termasuk menjadikan dirinya sebagai tameng antara Bella dan mobil yang melaju kencang dan slip di jalanan bersalju. Aneka peristiwa heroik itu yang akhirnya membuat Edward dan Bella dekat. Pada suatu kesempatan, dengan takut-takut Bella mengkonfrontasi Edward kesimpulan dia mengenai siapa Edward sebenarnya. Terbukalah kenyataan bahwa Edward dan keluarganya memang keluarga vampir. Dengan tegas Edward mengatakan kepada Bella, bahwa sebaiknya mereka tidak terlalu dekat, karena bisa membahayakan nyawanya, walaupun Edward dan anggota keluarga Cullen lainnya sudah memilih gaya hidup “vegetarian” alias tidak menghisap darah manusia. Mereka mengenyangkan diri dengan menghisap darah binatang. Kesukaan Edward adalah darah singa gunung.

Tapi apa dikata, Bella sudah terlanjur mencintai Edward.

Ada tiga hal yang kuyakini kebenarannya. Pertama, Edward adalah vampir. Kedua, ada sebagian dirinya—dan aku tak tahu seberapa kuat bagian itu—yang haus akan darahku. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya, tanpa syarat, selamanya. (Bella; halaman 209)

Konflik yang disebabkan karena cinta Bella-Edward pun bermunculan. Termasuk bagaimana menjembatani segala kekurangan Bella yang manusia biasa dengan semua kelebihan Edward karena ia vampir. Namun hal tersebut sama sekali tidak mengurangi kadar cinta mereka. Cinta yang begitu kuat sehingga kita yang membaca pun ikut terobsesi.

Tidak diperhitungkan juga oleh mereka, konflik yang datang dari kawanan vampir lain. Tidak semua vampir sebaik keluarga Cullen. James dan Victoria, misalnya, yang secara kebetulan bertemu Bella ketika ia sedang bersama dengan keluarga Cullen. Insting pemburu James sangat kuat, sehingga ia mengacuhkan penjelasan Edward bahwa Bella tidak boleh dimangsa. Timbulah pertentangan antara kedua kawanan itu, disertai dengan kejar-kejaran dan usaha penyelamatan Bella.

Apakah Edward berhasil menyelamatkan Bella? Apakah cinta mereka cukup kuat menghadapi perbedaan besar mereka?

(disebarkan oleh Michelle, Oktober 2008)

Tuesday, October 14, 2008

Paulo Coelho di Frankfurt Book Fair 2008

Pada zaman serbamodern ini, Internet telah menjadi sarana informasi, berbagi gagasan, dan berpromosi yang luar biasa. Penulis Brazil, Paulo Coelho, juga tidak ketinggalan menggunakan Internet sebagai sarana untuk merangkul lebih banyak pembaca di seluruh dunia. Berikut ini pidatonya dalam pembukaan Frankfurt Book Fair 2008 mengenai peran Internet dalam industri-industri budaya. Bacalah, sebab sungguh menyenangkan mengetahui bahwa Coelho, yang sudah berumur 61 tahun, bisa menguasai dan tidak asing dengan MySpace, blogging, dan Internet. Jadi, tidak ada alasan bagi generasi yang lebih muda untuk tidak mencobanya juga.

PENULIS SEBAGAI BINTANG POP

Beberapa bulan yang lalu saya menonton film Giordano Bruno, kisah seorang “heretic” yang dikutuk Vatican dan dihukum mati dengan dibakar pada tahun 1600 karena keyakinan-keyakinannya. Ada alasannya mengapa saya menyebutkan hal ini: di dalam film tersebut ada bagian di mana Giordano Bruno mengatakan dia baru saja mengunjungi Frankfurt Book Fair untuk bertemu dengan beberapa penerbit karyanya. Dan sekarang, empat abad kemudian, kita semua berada di sini, bukan hanya untuk bertemu para penerbit, tetapi juga untuk membahas tentang berbagai kecenderungan baru.

Antara kunjungan Giordano Bruno pada masa itu dan pagi ini, berbagai media baru untuk berbagi gagasan telah banyak bermunculan. Frankfurt Book Fair yang pertama, misalnya, merupakan hasil dari suatu penemuan baru, yakni mesin cetak jenis movable. Ketika Gutenberg menciptakan mesin ini di Mainz, hanya beberapa kilometer dari sini, para penjual buku setempat terinspirasi untuk menyelenggarakan pameran buku ini. Kita semua tahu, penemuan Gutenberg merupakan langkah besar---barangkali yang paling penting---menuju terciptanya gerakan Renaisans, di mana berbagai gagasan bisa disebarluaskan secara lebih bebas. Berkat proses pencetakan baru ini, berbagai gagasan dapat dibagi dan dunia dapat dibentuk kembali menurut gagasan-gagasan ini.

Berlawanan dengan media-media lainnya, misalnya tarian, atau lukisan, atau teater, di mana si penciptanya perlu hadir secara fisik, buku---dan kelak, media cetak---dengan segera mulai mendominasi cara-cara lain yang sudah ada untuk berbagi gagasan, sebab buku bisa diproduksi dalam skala industri. Buku, sebagai sarana penyampai gagasan, dianggap ideal selama beberapa abad, sampai kemudian monopoli buku mulai tersingkir oleh media lainnya, misalnya radio, bioskop, dan televisi.

Maka, inti bahasan ini adalah tentang berbagi gagasan. Contoh-contoh tadi semuanya menunjuk ke satu hal: bahwa teknologi-teknologi yang bisa berhasil adalah teknologi yang memungkinkan gagasan disebarluaskan dan menyentuh sebanyak mungkin audiensi. Dan selanjutnya, hukum-hukum akan beradaptasi dengan konteks baru ini (bukan sebaliknya!)---konsep hukum copyright berkembang sejalan dengan zaman industri baru ini, di mana biaya-biaya produksi dan distribusi relatif tinggi.

Tetapi selama 10 tahun belakangan ini kita telah melihat kemunculan dan perkembangan Internet, mesin menakjubkan yang menawarkan cara baru untuk berbagi gagasan dan menantang model-model ekonomi lama. Sebagaimana dikatakan Kevin Kelly, editor Wired Magazine, dalam pidato TED-nya pada bulan Desember 2007, mesin baru ini mengumpulkan data yang bisa disetarakan dengan isi Library of Congress setiap dua detiknya.

Tetapi ada perbedaan dengan media-media lain yang datang sebelumnya: Internet tidak melibatkan biaya-biaya produksi dan distribusi. Karena itu, kita melihat terjadinya pergeseran paradigma. Mulai saat ini dan ke depannya nanti, demokratisasi gagasan, yang mula-mulanya dimungkinkan berkat mesin temuan Gutenberg, mulai menyentuh skala yang sama sekali baru. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai memahami bahwa a) mereka bisa menerbitkan apa saja dan memuatnya di Internet untuk dilihat semua orang, dan b) mereka menjadi penyiar diri mereka sendiri, yaitu mereka mempunyai saluran televisi sendiri---misalnya YouTube---atau acara radio mereka sendiri---misalnya BlogTalkRadio. Dengan cara ini, mereka bukan lagi sekadar pennton-penonton pasif atas berbagai transformasi yang terjadi di masyarakat. Mereka ikut ambil bagian dalam prosesnya secara kolektif. Maka, asalkan Anda memiliki sambungan Internet, si makhluk sekarang menjadi si pencipta. Si pengguna menjadi orang yang bukan hanya punya sesuatu untuk diceritakan, tetapi juga bisa berbagi hal-hal yang disukai dan tidak disukainya.

Ada satu elemen penting yang oleh sebagian besar orang tidak disadari: orang-orang saling berbagi apa yang mereka anggap penting secara gratis, dan mereka mengharapkan hal yang sama bisa diterapkan dalam semua sistem komunikasi massa.

Jalur-jalur komunikasi massa yang biasanya, merasa sulit memahami hal ini: “korban” pertama adalah industri musik. Bukannya memahami pentingnya cara baru untuk berbagi, para eksekutif industri musik multinasional justru lebih suka menyewa para pengacara, bukannya menurunkan harga musik. Mereka berhasil menutup Napster pada tahun 2001, serta situs-situs web musik lainnya. Mereka memenangkan pertempurannya, tetapi bukan perangnya. Malahan gerakan ini tidak berhasil mencegah munculnya situs-situs web peer-to-peer yang meneruskan api kebebasan berbagi content. Sekarang coba bayangkan, seandainya mereka tidak mengirim pengacara, melainkan menerapkan gagasan brilian ini: memungut biaya 0.05 sen per lagu? Pada tahun 2000 itu tidak bakal ada yang keberatan, apalagi karena harga tersebut akan jauh lebih murah daripada harga CD biasa. Napster, inovator hebat itu, ditutup pada tahun 2001 dan kelak diambil alih oleh Bertelsmann---tetapi tindakan ini sudah terlambat. Sejak saat itu, situs-situs peer-to-peer bermunculan dan, sampai hari ini, remaja mana pun bisa mengunduh dengan gratis lagu yang mereka inginkan dari situs torrent mana pun yang mereka pilih.

Baru sekarang kita melihat bahwa industri musik mulai belajar dari kesalahan-kesalahannya, dan mulai memperbaiki cara-cara mereka. iTunes, misalnya, sudah memahami keadaan sekarang ini dan mengizinkan para pengguna mengunduh lagu dengan biaya 0.90 sen. Karenanya, iTunes menjadi distributor musik online pertama di dunia. Konsekuensi logis lainnya dari perubahan zaman adalah baru beberapa bulan yang lalu komunitas sosial MySpace menandatangani kerja sama independen dengan Universal Music, Sony BMG, dan Warner Music Group. Mereka menciptakan situs di mana para pengunjung bisa mendengarkan musik streaming dengan gratis, yang dibayar melalui iklan, dan berbagi play list masing-masing dengan teman-teman mereka.

“Korban” Internet yang kedua, tentu saja, adalah industri film---film-film dan serial-serial televisi. Dengan adanya komputer-komputer yang lebih canggih dan bandwidth lebih besar, film-film bisa diunduh, dengan kualitas sangat bagus, ke komputer mana pun dalam beberapa jam saja.

Tetapi industri film juga mulai menemukan cara-cara baru untuk menangani masalah ini. Para produser mengizinkan para pengguna menonton serial-serial televisi di portal-portal bersponsor (misalnya Southpark di situs web Comedy Central). Taktik-taktik lainnya misalkan mengadopsi cara-cara baru mempromosikan film melalui sistem viral marketing (misalnya King Kong atau film Brazil Tropa de Elite) dan menciptakan komunitas-komunitas seputar acara-acara tertentu (misalkan, acara televisi Oprah Winfrey juga mempunyai komunitas di web).

Sebagaimana bisa kita lihat, mulai menghilangnya bentuk-bentuk tradisional musik, serta film (CD, DVD), ditambah lagi dengan sharing instan, memaksa para produser dalam industri-industri ini untuk mencari cara-cara alternatif dalam menciptakan, menjual, dan mempromosikan content mereka.

Selama para produser menolak memberikan tempat bagi golongan yang mereka anggap konsumen pasif---mereka akan kehilangan audiensi.

Lalu bagaimana dengan bisnis penerbitan? Kelihatannya bisnis penerbitan lebih “terlindung” dari kecenderungan-kecenderungan web ini, dibandingkan bisnis musik atau film. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, bisnis penerbitan masih aman sampai sekarang karena, dibandingkan dengan media lainnya, bisnis penerbitan memiliki keuntungan-keuntungan lebih banyak di dalam lingkungan teknologi yang baru ini.

Pertama-tama: biaya-biaya produksi jauh lebih rendah daripada dalam bisnis film atau musik. Kedua, Internet adalah medium yang sangat bergantung pada membaca dan menulis, dan sejak tahun 1990-an kita telah melihat bisnis penerbitan meroket berkat minat yang timbul kembali di masyarakat terhadap bentuk tulisan. Bukan hanya itu, si penulis kembali menjadi katalis terhadap momentum tersebut. Si penulis menjadi bintang pop, sebagaimana halnya para musisi pada tahun 1960-an.

Dan yang lebih penting lagi---kita masih belum melihat buku kehilangan pamornya sebagai sarana penyalur gagasan.

Selama lima belas abad, buku, sebagai suatu bentuk media, telah terbukti belum tertandingi. Memang, e-book perlahan-lahan mulai merebut perhatian, dan mungkin saja suatu saat nanti buku digital akan lebih popular daripada kertas. Tetapi ini masih perlu waktu beberapa tahun lagi, dan memberi kita---para penerbit, penjual buku, dan penulis---momen berharga sebelum dunia Web mulai bergerak.

Tetapi apa yang telah saya lihat sebagai penulis, oleh industri penerbitan ditanggapi dengan terkejut serta kurangnya pemahaman tentang Internet. Bukannya melihat kesempatan untuk menciptakan cara-cara berpromosi yang baru dalam media baru ini, para penerbit justru berfokus pada menciptakan situs-situs mikro yang benar-benar sudah ketinggalan zaman, dan beberapa penerbit mengeluhkan “ketidakberuntungan” industri-industri budaya lainnya, dan menganggap Internet sebagai “musuh”. Barangkali seperti inilah sikap para rahib penyalin terhadap buku-buku cetakan pada abad ke-16.

Namun, berhubung buku sebagai media masih digunakan secara luas, mengapa tidak berbagi keseluruhan isi buku-buku ini secara gratis dalam bentuk digital? Sebab, berlawanan dengan apa yang dikatakan akal sehat kita---dan akal sehat tidak selalu merupakan penasihat yang baik, sebab kalau demikian halnya para penerbit, penjual buku, dan penulis barangkali akan memilih profesi lain yang lebih menguntungkan---semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita menerima.

Saya cukup beruntung karena hal ini terjadi pada buku-buku saya di Rusia, pada tahun 1999.
Waktu itu saya mengalami awal yang sangat sulit di sana. Mengingat jarak yang sangat jauh, buku-buku saya tidak bisa didistribusikan dengan baik dan penjualannya sangat rendah. Akan tetapi, dengan munculnya versi bajakan The Alchemist dalam bentuk digital---yang kelak saya masukkan juga di situs web resmi saya---penjualannya langsung meroket secara luar biasa. Pada tahun pertama, penjualan melonjak dari angka 1.000 ke 10.000. Pada tahun kedua menjadi 100.000, dan pada tahun sesudahnya saya berhasil menjual sejuta buku. Sampai hari ini, angka penjualan telah melewati 10 juta buku di teritori ini.

Pengalaman di Rusia ini mendorong saya untuk menciptakan situs The Pirate Coelho. Menurut Wikipedia, ensiklopedia online gratis, kata “pirate” dalam bahasa Inggris asalnya dari kata pirata dalam bahasa Latin, dan akarnya dari kata peira dalam bahasa Yunani, yang berarti “berusaha, mengalami”, secara implisit “menemukan keberuntungan di laut”. Tentu saja kelak arti asal ini mengalami modifikasi oleh berbagai fakta, tetapi kita semua tahu bahwa setidaknya salah satu kekaisaran terbesar di Bumi patut mengucapkan terima kasih kepada para bajak laut mereka---yang kelak mendapatkan gelar “Sir” dan “Knight”.

The Pirate Coelho bertahan di sana selama tiga tahun, diisi oleh para pembaca dari seluruh dunia, dan tak seorang pun di dunia penerbitan memperhatikannya---karena penjualan buku-buku saya terus meningkat. Tetapi, sejak saat saya mengumumkan hal tersebut pada Konferensi Teknologi di awal tahun ini, saya mulai mendengar beberapa komplain. Tapi pada akhirnya penerbit saya di Amerika Serikat, Harper Collins, misalnya, sepenuhnya memahami kemungkinan-kemungkinan yang ada. Jadi, sebulan sekali, selama tahun 2008, saya memuat salah satu buku saya, seutuhnya, untuk dibaca secara online. Dan dengan gembira saya menyatakan bahwa, bukannya penjualan jadi menurun, The Alchemist, salah satu buku pertama yang bisa dibaca online, pada bulan September sudah setahun penuh masuk dalam daftar buku terlaris NY Times.

Ini menjadi bukti nyata tentang momentum bagi industri kita: gunakan Internet untuk berpromosi, dan akan Anda lihat hasilnya dalam dunia nyata. Setidaknya inilah gagasan di balik situs web Pirate Coelho saya. Saya sekadar mengonversi torrent links semua buku saya untuk diunduh. Khalayak bisa memutuskan sendiri, apakah nanti mereka berminat membeli buku fisiknya. Sejauh ini, cara tersebut bukan saja memungkinkan saya berinteraksi lebih langsung dengan para pembaca saya, tetapi juga telah menstimulasi perkembangan beberapa proyek bersama, misalnya The Experimental Witch.

Dalam Proyek The Experimental Witch, saya mengundang para pembaca untuk mengadaptasi buku saya, The Witch of Portobello, ke dalam bentuk film. Pengalaman ini, diluncurkan tahun lalu atas sponsor HP, MySpace, dan Media Groups (Bertelsmann, Burda, Prisma Presse, O Globo), memperoleh umpan balik yang luar biasa. Para pembuat film dari berbagai penjuru dunia mengunggah kreasi-kreasi mereka di MySpaceTV dan ketika para pemenangnya diumumkan bulan Agustus yang lalu… ada 14 film pendek yang dibuat secara profesional dengan kualitas sangat bagus. Selain itu, buku ini menjadi ramai dibicarakan di Internet, sehingga The Witch of Portobello masuk ke daftar buku terlaris NY Times begitu edisi paperback-nya diterbitkan di Amerika Serikat.

Ini menunjukkan bahwa, bahkan di wilayah yang tidak ramah, misalnya film, di mana biaya-biaya produksi sangatlah tinggi, usaha semacam ini masih dimungkinkan. Ini juga menunjukkan pergeseran besar dalam produksi dan distribusi budaya: interaktivitas. Pembaca bukan lagi sekadar pihak yang menerima secara pasif. Mereka memiliki kesempatan untuk berperan lebih aktif---dan memahami bahwa mereka bisa membuat perbedaan.

Tetapi apakah semuanya hanya sampai di sini? Penting juga dipikirkan tentang masa depan buku, tanpa menjadikannya produk material. Dan saya percaya apa yang muncul pada tahap ini adalah suatu elemen penting lainnya---para pembaca harus dilibatkan. Kita semua mempunyai cerita, kita semua saling berbagi gagasan, para penerbit dan penulis selalu menstimulasi perdebatan berbagai gagasan. Jadi, mengapa tidak melakukannya juga di Internet?

Saya meluncurkan blog di mana saya mengirimkan isi berupa multimedia, dan setiap minggunya saya mengundang para pembaca untuk memberikan pendapat dan menyuarakan kisah-kisah mereka. Saya bahkan mengundang mereka untuk hadir di sini, dalam semangat, bersama-sama kita. Misalnya, saya telah meminta mereka mengirimkan foto-foto diri sambil memegang buku karangan saya yang menjadi favorit mereka, supaya bisa saya pamerkan di pesta saya besok. Pada akhir bulan September sudah lebih dari 600 foto saya terima. Berkat Internet, para pembaca dan penulis bisa menjadi lebih dekat lagi.

Akan tetapi masih ada dua masalah yang perlu ditangani: copyright dan bagaimana industri penerbitan bisa terus bertahan. Saya tidak punya solusinya, tapi saat ini kita dihadapkan pada era baru, jadi kita harus beradaptasi, atau mati. Saya di sini bukan untuk berbagi solusi, melainkan untuk berbagi pengalaman saya sebagai penulis. Memang benar, saya mendapatkan penghasilan dari copyright-copyright buku-buku saya, tetapi saat ini bukan itu yang terutama saya pikirkan. Saya harus beradaptasi. Bukan hanya dengan menjalin hubungan lebih langsung dengan para pembaca saya---hal ini tidak terbayang beberapa tahun yang lalu---tetapi juga dengan mengembangkan bahasa baru, berbasis Internet, yang akan menjadi bahasa masa depan: langsung, sederhana, tanpa membuatnya dangkal. Dengan berjalannya waktu, saya akan belajar bagaimana memperoleh kembali uang yang saya investasikan sendirian di dalam komunitas-komunitas sosial saya. Tetapi saat ini saya berinvestasi dalam sesuatu yang akan membuat setiap penulis di dunia ini merasa bersyukur: membuat tulisan-tulisannya dibaca oleh sebanyak mungkin orang.

Internet telah mengajarkan ini pada saya: jangan takut berbagi gagasan. Jangan takut mengajak orang-orang lain menyuarakan gagasan-gagasan mereka. Dan yang lebih penting lagi, jangan menentukan siapa yang pencipta dan siapa yang bukan---sebab kita semua pencipta.

Sebagai ilustrasi atas apa yang disampaikan dalam pidato ini, saya akan memuat keseluruhan teks ini di dalam blog saya---begitu saya selesai berpidato. Webmaster saya tinggal ditelepon saja untuk menerima lampu hijaunya. Pers tradisional tidak dapat meliput selengkapnya apa yang berlangsung di sini, sementara Internet menyediakan kemungkinan untuk berbagi gagasan dengan sesungguhnya, tanpa terikat agenda-agenda dari luar.

Namun ada yang ironis di balik semua ini: Giordano Bruno dijatuhi hukuman karena menyuarakan gagasan-gagasannya. Dalam dunia masa kini: Anda justru akan dihukum kalau tidak menyuarakan gagasan-gagasan Anda.

Terima kasih.

(disebarkan oleh Tanti. Oktober 2008)

Dongeng Ketiga Belas - Diane Setterfield



Kalau ada satu buku yang menggugah saya belakangan ini, itu adalah The Thirteenth Tale karya Diane Setterfield. Buku ini terbit tahun 2006, dan langsung melejit ke puncak tangga New York Times Bestseller tanggal 1 Oktober 2006, berkat pujian-pujian dari advanced proof-nya. Amazon memilihnya sebagai Editor’s Pick tahun 2006, dan para pelanggan Amazon menobatkannya sebagai Best Book of 2006.

Tapi sebenarnya apa bagusnya buku ini?

Oke. Bayangkan kisah ini: Dongeng di dalam dongeng, rahasia, kebenaran yang setengah-setengah, dusta (banyak sekali dusta), yang melibatkan sebuah rumah besar yang bobrok, lapuk, dan nyaris ambruk, anak gadis yang cantik dan keras kepala, kakak lelakinya yang sakit jiwa, pengurus rumah yang rabun dan nyaris tuli, tukang kebun, pengasuh anak, dan anak perempuan kembar yang liar dan hidup dalam dunia mereka sendiri. Dan, semua itu dipadu dalam jalinan prosa indah yang dituturkan oleh Vida Winter, penulis Inggris paling laris, yang kerap memberikan dongeng menawan tentang kehidupannya, hanya saja tak ada satu pun yang benar. Namun, karena merasa dirinya telah menjelang ajal, Miss Winter mengundang Margaret Lea, si kutu buku penulis biografi—yang juga memiliki hantunya sendiri—untuk menuliskan cerita yang sesungguhnya.

Tentu saja proses mengurai fakta-fakta tidaklah menyenangkan, bagi kedua wanita itu. Fakta, kebenaran, memang sering kali tidak nyaman. Terkadang, kita lebih memilih dusta, dongeng, apa pun yang memberikan rasa aman dan tenteram. Seperti kutipan indah di bawah ini, yang saya ambil dari bab pertama:

“My gripe is not with lovers of the truth but with truth herself. What succor, what consolation is there in truth, compared to a story? What good is truth, at midnight, in the dark, when the wind is roaring like a bear in the chimney? When the lightning strikes shadows on the bedroom wall and the rain taps at the window with its long fingernails? No. When fear and cold make a statue of you in your bed, don’t expect hard-boned and fleshless truth to come running to your aid. What you need are the plump comforts of a story. The soothing, rocking safety of a lie.”

“Kebencianku bukan terhadap pencinta kebenaran, melainkan pada kebenaran itu sendiri. Bantuan apa, penghiburan macam apa yang terkandung dalam kebenaran, jika dibandingkan dengan dongeng? Apa gunanya kebenaran, pada tengah malam, dalam kegelapan, ketika angin meraung seperti beruang dalam cerobong asap? Ketika kilat menerakan bayang-bayang di dinding kamar tidur dan hujan mengetuk-ngetuk jendela dengan kuku-kukunya yang panjang? Tidak. Ketika perasaan takut dan dingin membekukanmu menjadi patung di tempat tidur, jangan berharap kebenaran dengan tulangnya yang keras berbungkus kulit akan datang menolongmu. Karena yang kaubutuhkan adalah kenyamanan sebuah dongeng. Dusta yang memberikan perasaan aman yang membuai dan menenangkan.”


Dan pada akhirnya, setelah fakta-fakta akhirnya terungkap tanpa dapat dibendung lagi, Vida dan Margaret mau tak mau harus menguatkan diri menghadapi hantu-hantu yang selama hidup membayangi langkah mereka—meski terkadang disisihkan ke tempat yang paling jauh, tapi selalu ada: geming, sabar, menanti.

Hm.

Bagi pencinta buku, penyuka literatur, takkan sulit mengidentifikasi diri dengan para tokohnya. Vida Winter yang penulis novel, yang selama dua tahun memberikan 19 versi kisah hidupnya kepada wartawan yang mewawancarainya, dan ketika dikonfrontasi hanya mengatakan, “Itu memang profesiku. Aku ini pendongeng.” Kemudian ada Margaret Lea, si kutu buku yang sejak kecil hidup di antara buku-buku antik milik ayahnya, mengatakan, “Tentu saja aku lebih menyukai buku daripada manusia.”

Pada akhirnya, kecintaan pada buku dan literaturlah yang membuat buku ini berbeda. Dan meskipun fakta, kebenaran, kenyataan sering kali menyakitkan kala terungkap, ingatlah bahwa selalu ada kenikmatan dan kepuasan ketika kita mengetahuinya.

Buku ini akan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Dongeng Ketiga Belas. Hak pembuatan filmnya telah dibeli Heyday Films, yang memproduksi film-film Harry Potter.

(disebarkan oleh Siska, Oktober 2008)

Pesta Paulo Coelho di Frankfurt Book Fair

Memperingati 100 juta kopi penjualan buku-buku Paulo Coelho di seluruh dunia, penulis dari Brazil Paulo Coelho mengadakan pesta di perhelatan Frankfurt Book Fair pada tanggal 15 Oktober di Kelab King Kamehameha di Frankfurt. Pesta tersebut akan dihadiri para jurnalis, penerbit, dan sahabat-sahabat dari berbagai latar belakang budaya dan industri penerbitan buku, termasuk penyanyi Brazil Gilberto Gil dan Menteri Kebudayaan Brazil, João Luiz Silva Ferreira.

Dalam pesta tersebut, Paulo Coelho akan dianugerahi penghargaan dari Guinness World Record sebagai penulis dengan satu karya yang sama yang paling banyak diterjemahkan (The Alchemist, 67 bahasa) dan sang penulis akan membacakan cuplikan dari novel terbarunya The Winner Stands Alone. Foto-foto para pembacanya yang telah dikirim ke http://paolocoelhoblog.com/virtual-exhibition/ akan dipertunjukkan sepanjang pesta berlangsung, disponsori oleh Mercedes-Benz.

Paulo Coelho juga akan menjadi pembicara tamu dalam konferensi pers saat pembukaan Frankfurt Book Fair. Konferensi pers tersebut akan berlangsung di tempat pameran pada hari Selasa, 14 Oktober mulai jam 11.00-12.00 dengan dihadiri 300-400 jurnalis dari seluruh penjuru dunia.

Selama berlangsungnya konferensi pers, Paulo Coelho akan berbagi pengalamannya sebagai penulis dalam kaitannya dengan Internet dan Media Sosial, proyek audiovisualnya Experimental Witch, dan bagaimana Internet telah membawa perubahan pada peran tradisional penulis, penerbit, penjual buku, pembaca, kritikus, agen, maupun pustakawan.

(disebarkan oleh Dharma, 2008)

Tips n' Trik Jadi Penulis Best-Seller

Pada saat ini banyak sekali orang tertarik untuk menjadi penulis. Bagi kami, pihak penerbit, itu terlihat dari jumlah naskah yang masuk ke sekretariat redaksi setiap bulannya. Memang, kalau seseorang berhasil menuangkan pemikirannya, dan itu menjadi sesuatu yang dibaca banyak orang, apalagi jika berguna bagi orang lain, tentu nilainya bukan hanya masalah finansial, tetapi juga kepuasan batin, karena kita jadi terkenal dan jadi kebanggaan keluarga.

Keuntungan lain yang diperoleh mereka yang berhasil sebagai penulis bukan hanya karya mereka dinantikan banyak orang, tapi juga terbukanya pintu ke profesi lain yang tentunya juga berhubungan dengan tulis-menulis. Banyak penulis fiksi yang karyanya dibeli production house untuk dituangkan dalam bentuk cerita sinetron ataupun film layar lebar. Bahkan kemungkinan besar si pengarang tersebut pun akan ditawari menjadi penulis skenario. Mula-mula mungkin mereka diminta membuat skenario untuk karya-karya mereka sendiri, tapi biasanya akan berlanjut diminta menulis skenario untuk karya-karya orang lain atau menulis skenario pesanan.

Penulis-penulis GPU yang juga berprofesi sebagai penulis skenario di antaranya yaitu:

  • Hilman,
  • Boim,
  • Gola Gong,
  • Adra P. Daniel,
  • Gustin Suraji,
  • Zara Zettira,
  • Agnes Jesicca, Serena Luna (Alexandra Leirissa, Donna Rosamayna, dan Julia Stevanny), serta
  • Alberthiene Endah.

Seperti banyak penerbit lain, Gramedia Pustaka Utama juga kebanjiran naskah masuk setiap harinya. Jika dijumlah, lebih dari 60 naskah setiap bulan. Kalau musim libur, naskah yang masuk semakin banyak. Naskah-naskah yang masuk akan mengalami dua seleksi.

1. Seleksi penerbit --> dilakukan oleh editor.

2. Seleksi pasar --> dilakukan oleh pembaca
Buku yang sudah terjual akan mengalami seleksi pasar. Kalau pasar suka, buku itu laku. Begitu juga sebaliknya. Kalau pasar tidak suka, penjualan bisa macet.


SELEKSI PENERBIT

Tugas editor:
1. Menyeleksi naskah masuk: menilai dan mempertimbangkan
2. Mengedit: membuat naskah menjadi enak dibaca secara teknis (copyediting EYD & KBBI) dan secara isi keseluruhan (kalimat, paragraf, logika, fakta dan kesinambungan isi).
3. Proof reader. Setelah selesai diedit, naskah disetting sesuai format buku. Lalu dibaca lagi, masih adakah hal-hal yang terlewati? Proof reader merupakan saringan terakhir redaksi sebelum naskah turun cetak.
4. Berkonsultasi dengan pengarang masalah judul---jika judul kurang sesuai---dan sinopsis.
5. Memesan cover (yang sesuai dengan isi cerita dan gaya ilustrator).


Ada 3 jenis naskah yang bisa lolos seleksi editor:

1. Naskah yang memang sudah bagus/baik luar dan dalam.

Artinya, judulnya bagus, pengarangnya sudah terkenal, isinya juga sudah rapi, bahasanya bagus, tidak memerlukan banyak copyediting & editing; gaya berceritanya enak, tidak lamban atau bertele-tele, tidak membosankan. Biasanya naskah-naskah yang langsung diterima seperti ini adalah naskah-naskah pengarang senior. Jam terbang sebagai penulis menjadi salah satu sebab.

2. Naskah yang isinya bagus, tapi masih memerlukan copyediting.

Banyak juga naskah-naskah dari pengarang senior yang memerlukan copyediting walaupun jam terbang mereka sudah tinggi.

3. Naskah yang isinya lumayan, tapi banyak editing maupun copyediting.

Bisanya ini naskah pengarang pemula. Ada dua jenis naskah pemula. Naskah yang hanya dibaca satu editor dan editor yang bertugas mengatakan naskah ini bagus, hanya perlu editing dan copyediting. Kedua, naskah yang dibaca oleh lebih dari satu editor. Ini disebabkan editor yang pertama tidak yakin, naskah ini lolos seleksi atau tidak. Jadi perlu pendapat dari editor lain. Biasanya naskah cukup menarik, tapi kami ragu-ragu, menarik sekali atau tidak ya. Bisanya yang lolos second opinion akan mendapat kesempatan diterbitkan. Nah, sebagian besar naskah golongan ketiga ini akan mengalami banyak editing isi (fakta yang tidak menyambung) dan copyediting.


Apa yang menjadi pertimbangan para editor ketika memilih naskah?

1. Judul.
Judul harus menarik. Biasanya judul sesuai dengan jenis tulisan/naskah, atau ada pengarang yang judul-judulnya khas.

* Cerita remaja atau teenlit:
Cerita remaja biasanya judulnya lucu, gaul, terkesan lincah, khas remaja. Bisa berupa
kalimat: Rasanya Mau Mati Aja!; atau parodi: Gone with the Gossip, The Lost Boy: Salah Culik;
intisari cerita: Peluang Kedua. Bisa juga berupa alias dari tokoh: De Buron.

* Roman:
Novel roman biasanya judulnya romantis: Bila Hatimu Terluka; Ketika Cinta Harus Memilih; Piano di Kotak Kaca.

* Metropop:
Metropop adalah novel yang mengisahkan kehidupan masa kini di kota besar/metropolitan. Seperti teenlit, biasanya judulnya juga gaul. Contohnya: Zona@Tsunami; Soulmate.com; Cinta Paket Hemat; Tarothalia; Say No to Love.

* Fiksi Islami
Judul-judul dalam fiksi Islami juga khas, yaitu kata-kata yang menyejukkan batin. Contohnya: Ayat-Ayat Cinta; Ketika Cinta Bertasbih..

* Fiksi anak-anak
Biasanya judulnya sesuai dengan kehidupan anak-anak SD. Misalnya: Sunatan Massal; Duit Lebaran; Petualangan Buana dan Ema: Gara-gara si Munyuk.

* Roman misteri
Judulnya mengisyaratkan isi cerita tersebut. Misalnya: Ketika Maut Ikut Bercinta; Misteri Gaun Merah, Apartemen Lantai 7.


2. Gaya bercerita.
Lancar, menarik, tidak lamban dan bertele-tele, tidak monoton, tidak datar.

Gaya bercerita harus membuat seseorang ingin terus membaca. Pada waktu menilai naskah, para editor menempatkan diri sebagai konsumen awal. Judul, oke. Gaya bercerita? Wah, baru 10 halaman sudah ingin berhenti, itu berarti buku atau naskah tersebut tidak menarik. Karena itu biasanya Bab 1 adalah bab yang menggugah minat pembaca. Pengenalan tokoh utama. Jangan konvesional. Misalnya tokoh bangun tidur, lalu beres-beres tempat tidur, mandi, setelah itu sarapan, lalu beres-beres buku, lalu pamit dan lari ke sekolah. Sebagian besar pembaca tidak suka adegan seperti itu. Lebih menarik adegan: tokoh utama menerobos masuk ke kelas dengan heboh karena sudah terlambat. Karena tadi buru-buru, dia nggak sadar kaus kakinya belang-belang. Lalu flashback sedikit ke belakang saat terlambat bangun di rumah. Atau bab tersebut sudah dimulai dengan konflik ringan yang menggelitik.

3. Tema.
Tema harus menarik. Tema satu buku dan buku lain bisa saja sama---paling banyak tentang cinta. Tapi walaupun sudah banyak tema cinta, jika diceritakan dengan gaya dan sudut pandang yang berbeda, ya tidak apa-apa. Lebih baik lagi kalau memilih tema yang baru, yang jarang atau belum pernah dibuat orang. Calon pengarang atau pengarang harus banyak membaca berbagai jenis tulisan supaya tahu tema apa saja yang belum digarap, bisa juga mendapat inspirasi dari film tertentu, tapi diceritakan dengan sudut pandang yang berbeda. Itu sah-sah saja.


4. Isi
Isi tidak vulgar, tidak menyinggung SARA, ada manfaat atau pesan moral yang bisa dipetik pembaca dari karya tersebut. Misalnya: mendidik, mengajarkan kebaikan, kebijakan, kepantasan, kejujuran, cinta kasih, rela berkorban, optimisme, rasa kemanusiaan.

5. Panjang naskah
Naskah jangan terlalu panjang juga jangan terlalu pendek. Untuk novel pemula panjangnya 200-250 halaman 1,5 spasi. Untuk cerita remaja berkisar antara 150-200.


2. SELEKSI PASAR

Setelah lulus seleksi editor dan diproses hingga terbit, naskah akan mengalami lagi seleksi kedua yang lebih berat, yaitu seleksi pasar.

Pada saat ini ada begitu banyak penerbit, ada begitu benyak buku diterbitkan, sementara daya serap pasar sangat rendah. Hasil analisis penjualan GPU tiap bulan memperlihatkan bahwa 80% pembeli ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Paling besar di Jakarta. Oleh sebab itu buku-buku yang terbit akan mengalami persaingan hebat di pasar.

Berbagai kemungkinan "nasib" buku-buku yang dilempar ke konsumen melalui toko buku adalah:
1. Bestseller/fast moving books: mengalami cepat cetak ulang, pengarang langsung terkenal, karya berikutnya selalu dinantikan.
2. Disukai/fast moving books: cetak ulang tidak terlalu cepat, namun jika si penulis pengirim naskah lagi ke penerbit, tim redaksi akan mempertimbangkan untuk menerbitkannya.
3. Slow moving books: penerbit tidak akan mencetak ulang naskah tersebut, tapi kalau pengarang mengirim naskahnya kembali akan dibaca dan dipertimbangkan. Jika lebih bagus dari yang pertama, akan diterbitkan. Jika kurang atau bahkan tidak laku di pasar, biasanya pihak penerbit tidak akan menerbitkan lagi, karena buku-bukunya akan menumpuk di gudang, dan itu merugikan penerbit karena penerbit harus membayar sewa gudang untuk penyimpanan buku-buku tersebut. Akhirnya, biasanya penerbit akan mengobral buku-buku yang tidak laku tersebut.

Persaingan ini menjadi sangat berat, karena hampir setiap minggu muncul buku baru, sehingga buku yang terbit minggu sebelumnya dan kebetulan kurang diminati pasar akan tersisihkan.


Sekarang, bagaimana trik-trik agar naskah tidak ditolak?

1. Usahakan membuat novel yang baik, yaitu novel yang bagus, menghibur, lucu, mengandung manfaat, mengandung pesan moral, yang membuat penasaran atau menimbulkan misteri dari bab awal sampai akhir, dan ditulis dengan kaidah Bahasa Indoensia yang baik (untuk novel remaja, memakai bahasa gaul sah-sah saja, asal bukan bahasa yang kasar, vulgar), diceritakan dengan gaya bahasa yang enak dibaca, tidak membosankan, dengan karakter-karakter dan cerita yang dibuat sebaik mungkin.

2. Banyak membaca berbagai jenis tulisan atau terbitan agar tahu berbagai karekter jenis terbitan. Dengan demikian kita juga tahu jenis apa yang kita tulis, tema apa saja yang sudah banyak di pasaran, dari sisi mana kita mau membeberkan kisah kita walaupun tema tersebut sudah ada. Kita harus tahu apa kekhasan roman biasa, roman misteri, fiksi Islami, teenlit, metropop.

3. Selain harus suka baca, penulis juga harus terus latihan. Misalnya satu karya kita ditolak, jangan putus asa. Biasanya editor GPU---jika diminta---memberikan alasan kenapa karya tersebut ditolak, agar calon pengarang juga tahu di mana kekurangannya. Kami katakan "jika diminta", karena kami tak mungkin menulis satu demi satu alasan untuk sekian banyak naskah yang belum memenuhi syarat atau belum lolos seleksi. Ada begitu banyak pekerjaan editor, sehingga tidak bisa semuanya kami beri komentar.

Seperti pemain piano, atau ilustrator, mereka harus terus berlatih agar supaya tidak kaku, pegitu pula penulis. Ada penulis yang baru menulis satu novel, diterbitkan, tapi lalu berhenti atau lama tidak menulis, padahal dia berbakat. Biasanya karya keduanya, yang mungkin lama baru dia tulis lagi, tidak sebagus karya yang pertama. Jadi di sini, bakat dan latihan juga menentukan. Ada pengarang kami yang menyediakan waktu dua jam dalam sehari untuk menulis. Apa saja, katanya. Jadi karya-karyanya juga terus meningkat kualitasnya.


Bagaimana sebuah karya bisa menjadi bestseller?

1. Karyanya memang bagus dan sangat disukai. Bagian mengenai disukai sudah saya uraikan di atas: judul, tema, gaya bercerita, isi cerita.

2. Kedua, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri: faktor karunia Tuhan, yaitu keberuntungan. Keberuntungan ini bisa berbentuk: karya dengan tema tertentu datang di saat dan tempat yang tepat. Misalnya: Hilman, Esti Kinasih, Dian Nuranindya, yang mengisi kekosongan jenis cerita remaja saat itu.

3. Promosi yang bagus.Pengarang-pengarang sekarang cenderung melakukan promosi diri, membangun fans, melalui blog, friendster.


HONOR DAN ROYALTI

Ketika naskah sudah diputuskan untuk diterbitkan, dan pengarang sudah diberitahu naskahnya diterima melalui telepon, surat, ataupun e-mail, maka kami mengirim kontrak ketika naskah sudah hendak diedit. GPU memberikan 10% royalti dari oplah buku, dikalikan harga buku, dipotong pajak. Pada waktu penandatanganan kontrak, pengarang akan mendapat 25% dari royalti sebagai uang muka. Sisanya akan dibayarkan per enam bulan, sesuai eksemplar buku yang terjual.


JIKA NOVEL DIBELI PRODUCTION HOUSE

Jika karya-karya seorang pengarang termasuk best-seller ataupun disukai, biasanya ada pihak PH yang menghubungi. Mereka mau membeli novel tersebut untuk difilmkan, dibuat sinetron, atau FTV. Bahkan, selain dibeli, biasanya pengarang tersebut juga diminta menuliskan skenarionya sekaligus. Atau malah diminta membuat skenario untuk naskah-naskah lain di luar karyanya.

Hanya, yang perlu saya ingatkan di sini, biasanya sebagian besar dari mereka yang lalu menjadi penulis skenario tidak bisa lagi menulis novel, kecuali mereka melakukan kedua hal tersebut bersamaan: aktif menulis novel dan juga skenario. Berbeda dengan novel, skenario adalah rencana lakon sandiwara/sinetron/film berupa adegan-adegan yang tertulis secara terperinci sebagai panduan akting bagi para pemeran. Jadi tidak ada jiwanya, karena emosi dalam cerita akan divisualisasikan oleh si pemeran. Sedang novel adalah cerita tentang kehidupan yang sarat dengan emosi, ungkapan batin tokoh-tokohnya.


(disebarkan oleh Agnes Jessica, Eka Pujawati, dan Novera Kresnawati)

Selamat Datang

Selamat datang di Virus Baca!

Blog ini terdiri atas sekawanan orang yang memiliki hasrat dan cinta berlebih terhadap buku. Hasrat dan cinta terhadap buku ini menjangkiti kami, menggerogoti kami bak virus yang tak mau enyah dari dalam diri. Hasrat dan cinta ini pula yang membuat para penyebar virus di sini memilih bekerja di perusahaan penerbitan.

Melewati rupa-rupa waktu dan tempat, keinginan berbagi dan menyebarkan virus baca pun semakin besar. Untunglah ada media blog sehingga makin mudah bagi kita untuk saling menulari. Menyebarkan virus baca mulai dari layar monitor, perpustakaan, bangku kafe, tempat tidur, ruang tunggu, pesawat terbang, bahkan di toilet.

Medium penyebaran virus di sini adalah cinta. Virus yang menyebar melalui kecintaan kita terhadap buku. Suatu hari sang virus akan meledak, mewabah, dan merajalela dalam bangsa ini. Dan inilah awalnya.

Sekali lagi, selamat datang dan terima kasih sudah mampir kemari. Dengan kepala tertunduk dalam-dalam, kami ucapkan, selamat membaca!

Salam,
Hetih Rusli